Konflik
Agraria dan Krisis Pedesaan
Henry Saragih ; Ketua Umum Serikat
Petani Indonesia,
Koordinator Umum La
Via Campesina
|
MEDIA
INDONESIA, 25 September 2012
ENAM tahun yang lalu, tepatnya pada 28 September 2006, pemerintah
melalui Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) mengumumkan program pembaruan agraria untuk mengentaskan rakyat
dari kemiskinan dan pengangguran. Pemerintah akan mendistribusikan tanah seluas
8,15 juta hektare (ha) yang berasal dari lahan hutan produksi konversi kepada
rakyat miskin. Pernyataan tersebut dikeluarkan empat hari setelah kita turun ke
jalan untuk memperingati Hari Tani. Pernyataan tersebut kembali ditegaskan secara
resmi oleh pidato kenegaraan SBY pada 31 Januari 2007.
Sejak awal saya sudah menduga janji-janji SBY untuk melaksanakan
pembaruan agraria hanya untuk membuai petani, yang semakin tertekan di tengah
konflik agraria berkepanjangan. Hal itu dibuktikan dari kebijakan ekonomi
sepanjang pemerintahan SBY yang justru bertolak belakang dengan amanat
pembaruan agraria yang tertuang dalam UU No 5 Tahun 1960. Pertumbuhan luas
lahan perkebunan kelapa sawit milik swasta meningkat dari 3,3 juta ha pada 2006
menjadi 3,8 juta ha pada 2010. Menurut catatan BPN, lahan HGU (hak guna usaha)
seluas 3,3 juta ha hanya dikuasai 1.887 pengusaha. Luas lahan perkebunan sawit
yang dikuasai d perusahaan asing tur meningkat pesat. Hingga rut 2011, luas
areal yang dikuasai perusahaan perkebunan milik asing mencapai 1.002.335 ha (Kompas, 27 Mei 2011).
Hingga menjelang berakhirnya kekuasaan SBY, tidak ada kebijakan
yang dikeluarkan untuk menuntaskan berbagai konflik agraria. Dalam catatan
Serikat Petani Indonesia, setiap tahun selalu muncul ledakan konflik yang
disertai bentrokan hingga menimbulkan korban jiwa. Interval bentrokan dari tiap
konflik berbeda-beda. Ada yang hanya sekali, ada pula yang terus-menerus dan
berulang kali terjadi bentrokan serta kekerasan.
Sepanjang 2011 saja telah terjadi 120 bentrokan dalam konflik
agraria yang menelan 18 nyawa, 35 petani dikriminalisasi dan menjadi korban
kekerasan, serta 273.888 KK tergusur dari tanah mereka. Peristiwa terakhir
ialah tewasnya Angga, bocah berumur 12 tahun, akibat tertembak dalam bentrokan
di lahan konflik antara PTPN VII dan petani Sri Bandung, Ogan Ilir.
Daftar korban konflik agraria yang semakin panjang seharusnya
menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Jumlah dan intensitas ledakan konflik
agraria semakin meningkat dalam 10 tahun terakhir. Jumlah tersebut akan terus
bertambah jika pemerintah tidak segera menuntaskan konflik agraria dengan
melaksanakan land reform. Di tengah
ketimpangan agraria dan kondisi ekonomi yang semakin berat, rakyat akan
bergerak secara spontan untuk melakukan aksi pendudukan lahan.
Ketimpangan penguasaan lahan di perdesaan mendorong petani ke
dalam perangkap kemiskinan yang lebih dalam. Data BPS menunjukkan angka
kemiskinan lebih besar di perdesaan daripada di perkotaan. Pada 2010 terdapat
31,2 juta penduduk miskin, 19,93 juta di antaranya berada di desa dan sebesar
11,1 juta berada di perkotaan. Persentase penduduk miskin yang tinggal di
perdesaan meningkat dari 63,35% pada 2009 menjadi 64,23% pada 2010. Dalam satu
dekade terakhir, krisis di perdesaan menyebabkan petani terpaksa ataupun
dipaksa meninggalkan lahan pertanian karena kehilangan lahan.
Generasi muda petani terpaksa harus pergi mengadu nasib ke kota,
yang belum tentu menjanjikan lapangan kerja. Sebagian lagi memilih untuk
bekerja sebagai buruh migran di luar negeri setelah menjual tanah atau ternak
untuk biaya berangkat. Menurut BNP2TKI, jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI)
saat ini mencapai 6 juta orang, yang berada di 52 negara.
Gejala krisis di perdesaan makin diperkuat pernyataan Badan
Ketahanan Pangan yang mengeluarkan laporan tentang peta rawan pangan pada 2005.
Dari jumlah total 349 kabupaten di Indonesia, terjadi rawan pangan pada 100
kabupaten. Di antara 100 kabupaten tersebut, 30 kabupaten dinyatakan kronis dan
60 cukup rawan. Lebih ironis lagi, kasus-kasus busung lapar justru terjadi di
perdesaan.
Berangkat dari realitas ekonomi-politik nasional, pembaruan
agraria menjadi agenda penting yang harus terus diusung berbagai kalangan. Itu
tidak cukup sekadar ungkapan simpatik atau prihatin atas derita yang dipikul
kaum tani. Namun, peran utama untuk memperjuangkan pembaruan agraria tetap
berada di tangan petani sendiri. Kegagalan pemerintah melaksanakan pembaruan
agraria menegaskan satusatunya tumpuan harapan untuk mewujudkan pembaruan
agraria ada di pundak gerakan petani. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar