Memutus Mata
Rantai Tawuran
Satrio Wahono ; Budayawan
|
SUARA
KARYA, 28 September 2012
Lagi-lagi, wajah dunia pendidikan kita
tercoreng! Betapa tidak, hanya dalam waktu dua hari tragedi tawuran yang
menelan korban jiwa kembali terjadi di Ibu Kota Jakarta. Pertama, terjadi
tawuran Senin (24/9/2012) antara pelajar SMAN 6 dan SMAN 70 di bilangan Blok M,
mengakibatkan seorang siswa tewas terkena bacokan senjata tajam. Tawuran kedua
terjadi di Manggarai, Jaksel, antara SMK Yayasan Karya 66 dan SMA Kartikaa Zeni
yang juga menimbulkan korban jiwa seorang pelajar pada Rabu (26/9/2012).
Parahnya, FR, tersangka kasus pembacokan di Blok M, Jaksel, tampak tak
menunjukkan penyesalan sama sekali atas tindakannya itu.
Tak pelak, deretan kasus ini laksana tamparan
serius bagi para stakeholders
(pemangku kepentingan) dunia pendidikan. Sungguh, tawuran sudah menjadi
fenomena yang meluas. Artinya, institusi pendidikan tampaknya gagal mendidik
siswa-siswa mereka menjadi pribadi yang diharapkan muncul dari pendidikan.
Yaitu, mengutip Anita Lie dalam Cooperative
Learning (2005), siswa menjadi manusia yang mandiri sekaligus mampu hidup
berdampingan dan menunjang kelangsungan hidup sesamanya.
Sejatinya, ada dua mata rantai yang bisa
teramati dari peristiwa tawuran di atas. Pertama, tawuran sebagai institusi
atau pranata. Maksudnya, sebagai suatu nilai yang sudah demikian melembaga
serta dihayati betul oleh para anggota suatu kelompok.
Dalam kerangka antropologi, tawuran adalah
semacam perekat identitas khas kelompok dan berperan sebagai ritus akil baliq
atau inisiasi (rites of passage) bagi
para anggota baru kelompok.
Dalam masyarakat tradisional, ritus itu bisa
berupa tugas perburuan hewan. Namun, dalam konteks sekolah yang memiliki budaya
tawuran, ritusnya adalah tawuran itu sendiri.
Jadi, seorang pelajar baru, tidak akan dianggap
sah menjadi bagian dari kelompok pelajar yang lebih besar jika dia tidak
melewati ritus akil baliq berupa tawuran. Sekaligus, ritus tawuran akan
menegaskan identitas kelelakian sempurna atau kedewasaan seorang pelajar,
sebuah prestasi yang kemudian bisa dibangga-banggakan kepada khalayak lebih
luas. "Filosofi" ritus tawuran jadinya adalah upaya menunjukkan
kekuatan fisik khas laki-laki yang militan atas orang lain yang menciptakan
budaya militerisme.
Tanpa melakoni ritus tawuran, seorang pelajar
akan diberikan stigma sebagai "warga kelas dua" atau warga belum
dewasa yang tidak memiliki martabat dan hak penuh sebagaimana mereka, yang
sudah melewati tawuran. Stigma inferior itu juga tercermin dari istilah-istilah
ejekan yang dilekatkan kepada siswa anti-tawuran.
Kedua, aspek hilangnya keteladanan dan anutan (role model) bagi pelajar untuk mencontoh
perilaku positif. Cakupan panutan, yang biasanya berusia lebih tua itu, mulai
dari orangtua, guru, kepala sekolah, hingga para penguasa. Inilah buah dari
praktik-praktik tak patut para "orangtua" kita yang menghiasi media
dan layar kaca setiap hari. Yakni, praktik seperti korupsi, konflik antarkelompok,
kebohongan publik, dan lain-lain.
Solusi Konkret
Beranjak dari dua hal di atas, sebetulnya kita
bisa merumuskan sejumlah solusi konkret demi memutus mata rantai tawuran yang
sudah demikian melembaga. Pertama, mengalihkan rites of passage tawuran yang berbau militerisme ke arah budaya
militer yang genuine (sungguhan).
Maksudnya, para murid SMA bisa diberikan latihan kemiliteran selama, misalnya,
satu bulan, sebagai ganti program masa orientasi siswa (MOS).
Tujuannya, supaya siswa mendapatkan nilai-nilai
militer sejati yang positif seperti patriotisme, jiwa ksatria, kehormatan,
etika, dan lain sebagainya. Dengan begitu, budaya militerisme berubah menjadi
budaya militer yang lebih konstruktif. Pemberian latihan militer ini, sebagai
contoh, juga sudah dicoba di sejumlah politeknik dan terbukti berhasil meredam
potensi kekerasan di antara mahasiswa.
Kedua, kita seyogianya mulai memberikan tingkah
laku penuh teladan kepada para generasi di bawah kita supaya tercipta rasa
hormat siswa terhadap mereka yang lebih tua. Terutama lagi, yang perlu
memberikan teladan adalah orangtua, keluarga dekat, dan guru. Sebab, merekalah
yang pada hakikatnya bersentuhan langsung dan dari waktu ke waktu dengan siswa.
Terakhir, perlu diberikan suatu pelajaran
etika, atau filsafat moral dalam bahasa Kees Bertens (Etika, 1995), dalam
kurikulum SMA. Khususnya lagi, etika kepedulian (ethics of care). Kurikulum etika kepedulian itu seyogianya
memasukkan ke delapan ciri kepedulian yang diberikan MC Raugust (1992). Satu,
etika kepedulian mengutamakan hubungan saling peduli terhadap orang lain. Dua,
orang dalam situasi khasnya masing-masing dapat menerima dan memberikan
kepedulian itu.
Tiga, menjunjung tinggi individualitas, bukan
individualisme. Maksudnya, masing-masing individu, sesama pelajar, wartawan,
atau siapa pun, wajib diterima sebagai pribadi yang unik, membuat mereka saling
membutuhkan. Konsekuensinya, manusia harus mengutamakan saling memberi dan
menerima ketimbang menerima saja kebaikan orang lain.
Empat, etika ini berfokus pada pribadi yang
konkret, bukan pada sosok yang tak berwajah atau anonim. Lima, keputusan diambil berdasarkan konteks dan
kekhususan kasus, bukan berdasarkan universalitas situasi dan kondisi. Enam,
hubungan antarmanusia dipandang sebagai proses jangka-panjang, bukan
jangka-pendek.
Tujuh, kebajikan (virtue) lebih diutamakan daripada kewajiban berlaku adil (justice). Delapan, perasaan peduli
haruslah diikuti dengan aksi yang mensyaratkan kompetensi atau kemampuan untuk
melaksanakan aksi tersebut.
Semoga kita tidak lagi
menyaksikan babakan kelam dunia pendidikan, tawuran antar-pelajar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar