HAM Indonesia
di Mata Dunia
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur
Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina |
SINDO,
26 September 2012
Indonesia kembali terpilih menjadi salah satu anggota Dewan Hak
Asasi Manusia (Human Rights Council)
di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kali ini untuk periode 2011-2014.
Artinya, sudah tiga kali berturut-turut Indonesia menjabat sebagai
anggota Dewan HAM PBB. Lebih hebat lagi, Indonesia termasuk salah satu pendiri
Dewan HAM tersebut. Dewan HAM adalah lembaga antarpemerintah di PBB yang
bertanggung jawab memperkuat pemahaman dan perlindungan HAM di seluruh dunia,
menanggapi situasi-situasi pelanggaran HAM dan mengeluarkan rekomendasi solusi.
Dewan ini terdiri dari 47 negara anggota yang dipilih melalui mekanisme kesepakatan seluruh negara anggota Majelis Umum PBB. Dasar pembentukannya disahkan pada 15 Maret 2006 melalui Resolusi 60/251.Cara kerjanya dengan melakukan rangkaian diskusi kelompok (working groups) oleh perwakilan negara yang hasilnya dibawa ke negara masing-masing, dibahas ulang,dan dikembalikan lagi dalam pembahasan kelompok sebelum menghasilkan suatu laporan berkala yang dilengkapi rekomendasi.
Tahun ini laporan berkala dari Dewan HAM di bulan Mei 2012 secara khusus menyoroti praktik perlindungan HAM di Indonesia. Penilaiannya kurang menggembirakan. Disebutkan di sana, meski Indonesia punya komitmen dan instrumen-instrumen untuk mendorong dan melindungi HAM,mekanisme untuk pelaksanaannya tidak memadai.Kepolisian masih dituding melakukan pelanggaran HAM karena melakukan penyiksaan atau tindakan kekerasan yang berlebihan.
Aktivitas politik yang damai seperti demonstrasi, termasuk oleh pendukung HAM dan peliputan berita oleh jurnalis, justru mengalami kriminalisasi, intimidasi, serangan fisik. Di sisi lain, mereka juga mencatat bahwa masih ada hambatan pelaksanaan hak-hak seksual dan reproduktif bagi perempuan. Yang tentu saja menghebohkan adalah catatan mereka tentang lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas keagamaan.
Mereka mencatat kejadian penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, perusakan dan penutupan gereja secara paksa, bahkan penolakan Wali Kota Bogor untuk mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi agar membuka kembali Gereja Kristen Taman Yasmin. Saran mereka: Pemerintah Indonesia perlu melakukan amandemen atau mencabut aturan-aturan perundang-undangan yang membatasi kebebasan beragama, termasuk UU Penodaan Agama 1965,Keputusan bersama dua menteri tentang pembangunan tempat ibadah tahun 2006 dan keputusan bersama menteri tentang Ahmadiyah 2008.
Jawabannya, tentu saja bisa dibayangkan, Indonesia menolak rekomendasi tersebut. Dasar penolakannya terutama karena soal kedaulatan. Selain itu, Indonesia merasa sudah menerjemahkan prinsip-prinsip HAM dalam aturan-aturan tersebut. Apalagi karena Mahkamah Konstitusi pernah mengeluarkan keputusan pada 2010 bahwa UU Penodaan Agama tidak melanggar konstitusi. Apa makna semua ini? Pertama, PBB memang merupakan lembaga internasional tempat negara-negara untuk saling mengingatkan satu sama lain.
Setelah rekomendasi dari Dewan HAM atau dewan-dewan anakan PBB yang lain, negara yang diberi catatan khusus wajib menjawab. Format penyampaiannya ditentukan. Selebihnya terserah negara tersebut. Idealnya ada kerja sama di antara negara tersebut dan Dewan di PBB untuk mengatur langkah memperbaiki situasi domestiknya; tetapi kalaupun negara tersebut memutuskan untuk menyelesaikan dengan caranya sendiri, maka PBB hanya bisa memantau dan melakukan protes lanjutan bila hasilnya dianggap belum sesuai atau memburuk.
Kedua, pembahasan soal HAM memang membuat pusing kepala banyak pihak. Tidak hanya Indonesia yang dibikin pusing, negara-negara lain pun demikian. Pasalnya, sejumlah prinsip HAM memang memerlukan turunan yang lebih konkret dalam wujud kebijakan, padahal pemaknaan filosofis dan manajemen dari suatu prinsip bisa berbeda-beda di tiap negara. Misalnya saja di Indonesia.
Ketika bicara soal penodaan agama atau pendirian tempat ibadah, masih lekat di benak rata-rata pengambil keputusan bahwa jika tidak hati-hati maka Indonesia akan chaos, akan kacau balau, kehilangan ketertiban umum. Ada asumsi bahwa masyarakat cenderung tidak bertanggung jawab sehingga harus dibendung dan dicegah sejak dini. Soal hak selalu dikaitkan dengan tanggung jawab.Entah mengapa justru rasa percaya akan kemampuan warga Indonesia menjaga toleransi tidak dipupuk, padahal kedewasaan dalam bernegara tidak muncul dalam semalam.
Justru biasanya karena proses belajar masyarakat akan menciptakan mekanisme damai yang langgeng. Sebagian kebiasaan ”atur mengatur” ini memang merupakan peninggalan Orde Baru. Padahal dalam prinsip penegakan HAM, belum tentu semakin banyak aturan justru semakin baik. Aturan yang mengekang kebebasan individu justru dianggap melanggar HAM. Jadi, usulan Presiden SBY agar PBB mengeluarkan protokol tentang anti-penistaan agama sebagai pegangan negara-negara dunia ketika mengatur tentang tindakan anti-penistaan agama adalah turunan penegakan HAM yang belum tentu dimaknai positif.
Bagi negara lain, hal ini belum tentu bisa diterima dengan baik. Agama tidak selalu dianggap merupakan wilayah hukum yang perlu diatur oleh negara. Bahkan di Eropa, misalnya, politisi yang mengangkat soal agama atau ketuhanan dalam politik justru akan kehilangan dukungan pemilih. Lagipula, apakah definisi dari agama itu sendiri? Apa bedanya dengan keyakinan (faith)? Biasanya interpretasi ajaran agama merupakan domain lembaga-lembaga agama dalam satu agama; bukannya domain negara.
Ketiga, Pemerintah Indonesia sudah memilih ”merek” tertentu dalam pergaulan internasional dan secara tidak langsung itu berarti mengikat diri untuk punya kredibilitas dalam janji-janji yang diusung dalam ”merk” tersebut. Istilahnya dalam dunia internasional: postur. Postur yang dipilih Indonesia adalah sebagai ”negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia”, ”negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia” dan ”penegak HAM”, serta ”jembatan dan pencari solusi”. Artinya bahwa praktik-praktik yang dilakukan di balik terali kedaulatan negara Indonesia pun (atau dilakukan di dalam negeri) harus rela dipantau oleh negara-negara lain.
Mereka punya rasa ingin tahu yang besar dan itu hak mereka untuk menilai kita.Jadi,ketika ada warga Indonesia mengeluh tentang praktik perlindungan HAM di dalam negeri, suaranya pasti terdengar juga di luar sana. Problemnya, di Indonesia saat ini hampir semua harus dipolitisasi. Akibatnya terjadi ketidakpastian yang berkepanjangan dalam penyelesaian hal-hal yang sebenarnya bisa dibuat lebih sederhana dengan aturan dan mekanisme hukum yang jelas. Komnas HAM, misalnya, atau komisikomisi lain penegak HAM, belum bisa sepenuhnya beroperasi karena wibawa politiknya lemah.
Mereka masih bergantung pada dukungan segelintir elite politik. Aturan-aturan birokrasi yang ada pun tak disadari telah mengurangi kemampuan Komnas untuk bergerak lebih lincah dan percaya diri. Rekomendasi mereka juga kerap dianggap angin lalu belaka. Lambat laun Indonesia memang harus lebih sigap berbenah diri di dalam negeri. Penyelesaian kasus-kasus HAM dan pelanggaran hak kelompok- kelompok minoritas atau yang selama ini termarginalkan adalah suatu kewajiban. Tak mungkin kita pasang merek penegak HAM kalau di dalam negeri sendiri mentalitasnya belum sejalan dengan logika penegakan prinsip- prinsip HAM. ●
Dewan ini terdiri dari 47 negara anggota yang dipilih melalui mekanisme kesepakatan seluruh negara anggota Majelis Umum PBB. Dasar pembentukannya disahkan pada 15 Maret 2006 melalui Resolusi 60/251.Cara kerjanya dengan melakukan rangkaian diskusi kelompok (working groups) oleh perwakilan negara yang hasilnya dibawa ke negara masing-masing, dibahas ulang,dan dikembalikan lagi dalam pembahasan kelompok sebelum menghasilkan suatu laporan berkala yang dilengkapi rekomendasi.
Tahun ini laporan berkala dari Dewan HAM di bulan Mei 2012 secara khusus menyoroti praktik perlindungan HAM di Indonesia. Penilaiannya kurang menggembirakan. Disebutkan di sana, meski Indonesia punya komitmen dan instrumen-instrumen untuk mendorong dan melindungi HAM,mekanisme untuk pelaksanaannya tidak memadai.Kepolisian masih dituding melakukan pelanggaran HAM karena melakukan penyiksaan atau tindakan kekerasan yang berlebihan.
Aktivitas politik yang damai seperti demonstrasi, termasuk oleh pendukung HAM dan peliputan berita oleh jurnalis, justru mengalami kriminalisasi, intimidasi, serangan fisik. Di sisi lain, mereka juga mencatat bahwa masih ada hambatan pelaksanaan hak-hak seksual dan reproduktif bagi perempuan. Yang tentu saja menghebohkan adalah catatan mereka tentang lemahnya perlindungan terhadap kelompok minoritas keagamaan.
Mereka mencatat kejadian penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, perusakan dan penutupan gereja secara paksa, bahkan penolakan Wali Kota Bogor untuk mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi agar membuka kembali Gereja Kristen Taman Yasmin. Saran mereka: Pemerintah Indonesia perlu melakukan amandemen atau mencabut aturan-aturan perundang-undangan yang membatasi kebebasan beragama, termasuk UU Penodaan Agama 1965,Keputusan bersama dua menteri tentang pembangunan tempat ibadah tahun 2006 dan keputusan bersama menteri tentang Ahmadiyah 2008.
Jawabannya, tentu saja bisa dibayangkan, Indonesia menolak rekomendasi tersebut. Dasar penolakannya terutama karena soal kedaulatan. Selain itu, Indonesia merasa sudah menerjemahkan prinsip-prinsip HAM dalam aturan-aturan tersebut. Apalagi karena Mahkamah Konstitusi pernah mengeluarkan keputusan pada 2010 bahwa UU Penodaan Agama tidak melanggar konstitusi. Apa makna semua ini? Pertama, PBB memang merupakan lembaga internasional tempat negara-negara untuk saling mengingatkan satu sama lain.
Setelah rekomendasi dari Dewan HAM atau dewan-dewan anakan PBB yang lain, negara yang diberi catatan khusus wajib menjawab. Format penyampaiannya ditentukan. Selebihnya terserah negara tersebut. Idealnya ada kerja sama di antara negara tersebut dan Dewan di PBB untuk mengatur langkah memperbaiki situasi domestiknya; tetapi kalaupun negara tersebut memutuskan untuk menyelesaikan dengan caranya sendiri, maka PBB hanya bisa memantau dan melakukan protes lanjutan bila hasilnya dianggap belum sesuai atau memburuk.
Kedua, pembahasan soal HAM memang membuat pusing kepala banyak pihak. Tidak hanya Indonesia yang dibikin pusing, negara-negara lain pun demikian. Pasalnya, sejumlah prinsip HAM memang memerlukan turunan yang lebih konkret dalam wujud kebijakan, padahal pemaknaan filosofis dan manajemen dari suatu prinsip bisa berbeda-beda di tiap negara. Misalnya saja di Indonesia.
Ketika bicara soal penodaan agama atau pendirian tempat ibadah, masih lekat di benak rata-rata pengambil keputusan bahwa jika tidak hati-hati maka Indonesia akan chaos, akan kacau balau, kehilangan ketertiban umum. Ada asumsi bahwa masyarakat cenderung tidak bertanggung jawab sehingga harus dibendung dan dicegah sejak dini. Soal hak selalu dikaitkan dengan tanggung jawab.Entah mengapa justru rasa percaya akan kemampuan warga Indonesia menjaga toleransi tidak dipupuk, padahal kedewasaan dalam bernegara tidak muncul dalam semalam.
Justru biasanya karena proses belajar masyarakat akan menciptakan mekanisme damai yang langgeng. Sebagian kebiasaan ”atur mengatur” ini memang merupakan peninggalan Orde Baru. Padahal dalam prinsip penegakan HAM, belum tentu semakin banyak aturan justru semakin baik. Aturan yang mengekang kebebasan individu justru dianggap melanggar HAM. Jadi, usulan Presiden SBY agar PBB mengeluarkan protokol tentang anti-penistaan agama sebagai pegangan negara-negara dunia ketika mengatur tentang tindakan anti-penistaan agama adalah turunan penegakan HAM yang belum tentu dimaknai positif.
Bagi negara lain, hal ini belum tentu bisa diterima dengan baik. Agama tidak selalu dianggap merupakan wilayah hukum yang perlu diatur oleh negara. Bahkan di Eropa, misalnya, politisi yang mengangkat soal agama atau ketuhanan dalam politik justru akan kehilangan dukungan pemilih. Lagipula, apakah definisi dari agama itu sendiri? Apa bedanya dengan keyakinan (faith)? Biasanya interpretasi ajaran agama merupakan domain lembaga-lembaga agama dalam satu agama; bukannya domain negara.
Ketiga, Pemerintah Indonesia sudah memilih ”merek” tertentu dalam pergaulan internasional dan secara tidak langsung itu berarti mengikat diri untuk punya kredibilitas dalam janji-janji yang diusung dalam ”merk” tersebut. Istilahnya dalam dunia internasional: postur. Postur yang dipilih Indonesia adalah sebagai ”negara demokrasi terbesar nomor tiga di dunia”, ”negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia” dan ”penegak HAM”, serta ”jembatan dan pencari solusi”. Artinya bahwa praktik-praktik yang dilakukan di balik terali kedaulatan negara Indonesia pun (atau dilakukan di dalam negeri) harus rela dipantau oleh negara-negara lain.
Mereka punya rasa ingin tahu yang besar dan itu hak mereka untuk menilai kita.Jadi,ketika ada warga Indonesia mengeluh tentang praktik perlindungan HAM di dalam negeri, suaranya pasti terdengar juga di luar sana. Problemnya, di Indonesia saat ini hampir semua harus dipolitisasi. Akibatnya terjadi ketidakpastian yang berkepanjangan dalam penyelesaian hal-hal yang sebenarnya bisa dibuat lebih sederhana dengan aturan dan mekanisme hukum yang jelas. Komnas HAM, misalnya, atau komisikomisi lain penegak HAM, belum bisa sepenuhnya beroperasi karena wibawa politiknya lemah.
Mereka masih bergantung pada dukungan segelintir elite politik. Aturan-aturan birokrasi yang ada pun tak disadari telah mengurangi kemampuan Komnas untuk bergerak lebih lincah dan percaya diri. Rekomendasi mereka juga kerap dianggap angin lalu belaka. Lambat laun Indonesia memang harus lebih sigap berbenah diri di dalam negeri. Penyelesaian kasus-kasus HAM dan pelanggaran hak kelompok- kelompok minoritas atau yang selama ini termarginalkan adalah suatu kewajiban. Tak mungkin kita pasang merek penegak HAM kalau di dalam negeri sendiri mentalitasnya belum sejalan dengan logika penegakan prinsip- prinsip HAM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar