Kamis, 27 September 2012

Innocence of Muslims = Politik AS


Innocence of Muslims = Politik AS
Kentos Artoko ; Wartawan Suara Karya
SUARA KARYA, 26 September 2012


September bagi sebagian negara merupakan bulan suka cita. Termasuk di Indonesia, bagi kaum muda bulan ini kerap di analogikan dengan sikap semringah dan ceria. Tak heran kalau kemudian para muda-mudi menyebutnya dengan September Ceria.

Namun tidak demikian dengan di belahan lain, keceriaan berubah seketika menjadi bulan yang penuh dengan murka, dendam dan dengki. Beberapa tahun lalu, tepatnya 9 Sepember 2001-menurut literatur negara-negara barat-19 pembajak dari kelompok militan yang dikenal dengan Al-Qaida, membajak empat pesawat jet penumpang.

Para pembajak sengaja menabrakkan dua pesawat ke Menara Kembar World Trade Center di New York City, kedua menara runtuh dalam kurun dua jam. Pembajak juga menabrakkan pesawat ketiga ke Pentagon di Arlington, Virginia. Ketika penumpang berusaha mengambil alih pesawat keempat, United Airlines Penerbangan 93, pesawat ini jatuh di lapangan dekat Shanksville, Pennsylvania dan gagal mencapai target aslinya di Washington, D.C. Menurut laporan tim investigasi 911, sekitar 3.000 jiwa tewas dalam serangan ini. Semenjak itu, AS dan sekutu-sekutunya menyatakan perang terhadap terorisme di dunia dan menyatakan duka mendalam pada bulan September.

Pada bulan ini pula satu film amatir, Innocence of Muslims diputar untuk pertama kalinya di Amerika Serikat yang kemudian mengundang sejumlah kontroversi. Film itu bercerita tentang Nabi Muhammad SAW yang dinilai menderita kelainan psikologis (paedophilia) karena mengawini Siti Aisyah ketika berusia 8 tahun dan homoseksual.

Mulanya film ini bisa diunggah dan disaksikan langsung melalui situs Youtube, tapi karena alasan keamanan pihak Youtube menutupnya. Sebagai sebuah piranti dari kemajuan teknologi, film tersebut sempat disaksikan oleh jutaan pemeluk muslim di seluruh dunia dan langsung mengundang protes keras.

Adalah Dubes Amerika Serikat untuk Libia Christopher Stevens yang menjadi korban. Dia tewas ditembak dengan menggunakan roket sesaat akan keluar dari tempat kerjanya. Bukan hanya Stevens, empat staf Kedubes AS yang menyertai sang Duta Besar pun ikut tewas seketika.

Bagai efek domino, berbagai belahan dunia yang memiliki umat muslim pun mengikuti protes keras yang dilakukan oleh Libia. Jutaan umat muslim melakukan protes masif dan berkelanjutkan di hampir seluruh Kedutaan Besar AS di berbagai belahan dunia.

Presiden AS Barack Obama pun didesak untuk menyampaikan permintaan maaf terhadap umat muslim di seluruh dunia, akibat penayangan film tersebut. Di lain pihak, Obama yang sedang dalam masa kampanye untuk memertahankan posisinya sebagai presiden negeri Paman Sam menghadapi kenyataan pahit. Dunia muslim kini memusuhinya. Padahal, pada masa awal pemerintahannya, Obama menjanjikan untuk menjalin hubungan yang jauh lebih erat dengan negara-negara pemeluk muslim. 

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah ini merupakan satu trik politik khusus yang diciptakan oleh tim Obama dengan maksud mengambil simpati negara lain, bila pada saatnya Obama berhasil mengatasi kerikil tajam ini. Atau, hal ini merupakan tindak balas dendam dari penganut agama lain terhadap tindakan para teroris yang dengan tega menghabisi nyawa ribuan orang, ketika merontokkan gedung WTC itu?

Dari sisi politik internasional, bila asumsi trik politik yang diambil, Obama telah setengah jalan dan berhasil untuk mencabik-cabik emosi umat muslim dunia dan kita tinggal menunggu ungkapan politis Obama untuk menentramkan hati umat muslim. Dengan langkah ini, Obama berhasil menaklukan dunia dan mengundang simpati yang pada akhirnya bakal kembali mendongkrak popularitasnya dalam percaturan politik domestik November nanti.

Bila ini merupakan tindak balas dendam dari penganut agama lain, maka siapa yang menungganginya? Bodoh sekali aktor di belakang pembuatan film tersebut. Sebab, film itu telah berhasil menyatukan umat muslim di seluruh dunia dalam satu komando untuk membenci Amerika Serikat. Bukankah hal ini lebih mahal dan lebih berisiko?

Asumsi penulis, pada awalnya film ini dibuat, memang untuk tujuan hiburan dan sinematografi belaka, mengingat sangat jarang film mengenai sejarah Nabi Muhammad, setelah The Message (periode 1970-an) yang fenomenal.

Nakoula Basseley pembuat film Innocence of Muslims pasti sedikit banyak telah belajar mengenai sejarah Islam. Tidak mungkin sang sutradara mampu merangkai berbagai kejadian tanpa belajar sejarah. Persoalan yang kemudian diungkap bahwa dialog dalam film tersebut diubah dan tidak sesuai dengan skenario hanya merupakan alibi saja.

Yang pasti, film ini berkaitan erat dengan percaturan politik di Amerika Serikat yang akan segera mencapai titik klimaksnya pada November mendatang. Sebab sebagai satu negara adidaya, AS adalah barometer dalam bidang politik dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi, misalnya, kebijakan apapun yang ditempuh oleh pemerintah dan bank sentral (The Federal Reserve) akan sangat berpengaruh pada sistem dan roda perekonomian internasional, terutama yang menjadikan dolar sebagai mata uang patokan.

Begitu pula dalam bidang politik, saat ini Obama menunggu satu momentum yang pas untuk mampu keluar sebagai pemenang atas saingan utamanya Mitt Romney yang berasal dari Partai Republik. Jika sebelumnya, kebijakan domestik akan berpengaruh dalam policy global, yang dimainkan oleh Obama saat ini adalah, sebaliknya.

Dengan kata lain, kemampuan Obama untuk menyelesaikan berbagai tuntutan dan desakan internasional akan digunakan sebagai kartu truf terakhir dan tampaknya presiden kulit hitam pertama yang pernah tinggal di Indonesia ini mengerti benar menggunakan momentum tersebut. Apakah Obama mampu untuk merangkul rakyat AS melalui masalah ini, kita tunggu saja! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar