Innocence of
Muslims = Politik AS
Kentos Artoko ; Wartawan Suara Karya
|
SUARA
KARYA, 26 September 2012
September bagi sebagian negara merupakan bulan
suka cita. Termasuk di Indonesia, bagi kaum muda bulan ini kerap di analogikan
dengan sikap semringah dan ceria. Tak heran kalau kemudian para muda-mudi
menyebutnya dengan September Ceria.
Namun tidak demikian dengan di belahan lain,
keceriaan berubah seketika menjadi bulan yang penuh dengan murka, dendam dan
dengki. Beberapa tahun lalu, tepatnya 9 Sepember 2001-menurut literatur
negara-negara barat-19 pembajak dari kelompok militan yang dikenal dengan
Al-Qaida, membajak empat pesawat jet penumpang.
Para pembajak sengaja menabrakkan dua pesawat
ke Menara Kembar World Trade Center
di New York City, kedua menara runtuh dalam kurun dua jam. Pembajak juga
menabrakkan pesawat ketiga ke Pentagon di Arlington, Virginia. Ketika penumpang
berusaha mengambil alih pesawat keempat, United Airlines Penerbangan 93,
pesawat ini jatuh di lapangan dekat Shanksville, Pennsylvania dan gagal
mencapai target aslinya di Washington, D.C. Menurut laporan tim investigasi
911, sekitar 3.000 jiwa tewas dalam serangan ini. Semenjak itu, AS dan sekutu-sekutunya
menyatakan perang terhadap terorisme di dunia dan menyatakan duka mendalam pada
bulan September.
Pada bulan ini pula satu film amatir, Innocence of Muslims diputar untuk
pertama kalinya di Amerika Serikat yang kemudian mengundang sejumlah kontroversi.
Film itu bercerita tentang Nabi Muhammad SAW yang dinilai menderita kelainan
psikologis (paedophilia) karena
mengawini Siti Aisyah ketika berusia 8 tahun dan homoseksual.
Mulanya film ini bisa diunggah dan disaksikan
langsung melalui situs Youtube, tapi
karena alasan keamanan pihak Youtube
menutupnya. Sebagai sebuah piranti dari kemajuan teknologi, film tersebut
sempat disaksikan oleh jutaan pemeluk muslim di seluruh dunia dan langsung
mengundang protes keras.
Adalah Dubes Amerika Serikat untuk Libia
Christopher Stevens yang menjadi korban. Dia tewas ditembak dengan menggunakan
roket sesaat akan keluar dari tempat kerjanya. Bukan hanya Stevens, empat staf
Kedubes AS yang menyertai sang Duta Besar pun ikut tewas seketika.
Bagai efek domino, berbagai belahan dunia yang
memiliki umat muslim pun mengikuti protes keras yang dilakukan oleh Libia.
Jutaan umat muslim melakukan protes masif dan berkelanjutkan di hampir seluruh
Kedutaan Besar AS di berbagai belahan dunia.
Presiden AS Barack Obama pun didesak untuk
menyampaikan permintaan maaf terhadap umat muslim di seluruh dunia, akibat
penayangan film tersebut. Di lain pihak, Obama yang sedang dalam masa kampanye
untuk memertahankan posisinya sebagai presiden negeri Paman Sam menghadapi
kenyataan pahit. Dunia muslim kini memusuhinya. Padahal, pada masa awal
pemerintahannya, Obama menjanjikan untuk menjalin hubungan yang jauh lebih erat
dengan negara-negara pemeluk muslim.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah,
apakah ini merupakan satu trik politik khusus yang diciptakan oleh tim Obama
dengan maksud mengambil simpati negara lain, bila pada saatnya Obama berhasil
mengatasi kerikil tajam ini. Atau, hal ini merupakan tindak balas dendam dari
penganut agama lain terhadap tindakan para teroris yang dengan tega menghabisi
nyawa ribuan orang, ketika merontokkan gedung WTC itu?
Dari sisi politik internasional, bila asumsi
trik politik yang diambil, Obama telah setengah jalan dan berhasil untuk
mencabik-cabik emosi umat muslim dunia dan kita tinggal menunggu ungkapan
politis Obama untuk menentramkan hati umat muslim. Dengan langkah ini, Obama
berhasil menaklukan dunia dan mengundang simpati yang pada akhirnya bakal
kembali mendongkrak popularitasnya dalam percaturan politik domestik November
nanti.
Bila ini merupakan tindak balas dendam dari
penganut agama lain, maka siapa yang menungganginya? Bodoh sekali aktor di
belakang pembuatan film tersebut. Sebab, film itu telah berhasil menyatukan
umat muslim di seluruh dunia dalam satu komando untuk membenci Amerika Serikat.
Bukankah hal ini lebih mahal dan lebih berisiko?
Asumsi penulis, pada awalnya film ini dibuat,
memang untuk tujuan hiburan dan sinematografi belaka, mengingat sangat jarang
film mengenai sejarah Nabi Muhammad, setelah The Message (periode 1970-an) yang fenomenal.
Nakoula Basseley pembuat film Innocence of Muslims pasti sedikit
banyak telah belajar mengenai sejarah Islam. Tidak mungkin sang sutradara mampu
merangkai berbagai kejadian tanpa belajar sejarah. Persoalan yang kemudian
diungkap bahwa dialog dalam film tersebut diubah dan tidak sesuai dengan
skenario hanya merupakan alibi saja.
Yang pasti, film ini berkaitan erat dengan
percaturan politik di Amerika Serikat yang akan segera mencapai titik
klimaksnya pada November mendatang. Sebab sebagai satu negara adidaya, AS
adalah barometer dalam bidang politik dan ekonomi. Dalam bidang ekonomi,
misalnya, kebijakan apapun yang ditempuh oleh pemerintah dan bank sentral (The Federal Reserve) akan sangat
berpengaruh pada sistem dan roda perekonomian internasional, terutama yang
menjadikan dolar sebagai mata uang patokan.
Begitu pula dalam bidang politik, saat ini
Obama menunggu satu momentum yang pas untuk mampu keluar sebagai pemenang atas
saingan utamanya Mitt Romney yang berasal dari Partai Republik. Jika sebelumnya,
kebijakan domestik akan berpengaruh dalam policy
global, yang dimainkan oleh Obama saat ini adalah, sebaliknya.
Dengan kata lain,
kemampuan Obama untuk menyelesaikan berbagai tuntutan dan desakan internasional
akan digunakan sebagai kartu truf terakhir dan tampaknya presiden kulit hitam
pertama yang pernah tinggal di Indonesia ini mengerti benar menggunakan
momentum tersebut. Apakah Obama mampu untuk merangkul rakyat AS melalui masalah
ini, kita tunggu saja! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar