Kegagalan
Sistem Sekularisme Barat
Banu Prasetyo ; Pemerhati Masalah Budaya dan Agama,
Alumnus
Fakultas Filsafat UGM
|
SUARA
MERDEKA, 26 September 2012
"Tiap agama terjebak dalam persoalan siapa lebih unggul eksistensi
wahyunya ketika dihadapkan pada agama lain"
PENGARUH agama, terutama
sosiologis, dalam kehidupan manusia sangatlah besar. Tak jarang interaksi
sosiologis antarumat beragama berujung pada friksi. Hal itu terjadi karena
persoalan sekitar eksistensi kebenaran yang dangkal. Fenomena itulah yang
terjadi ketika film ''Innocence of
Muslims'' menuai kecaman.
Bukan kali pertama penghujatan
agama dalam bentuk visual terjadi. Dulu ada kartun yang dinilai menghina umat
Islam, ada pula film ''Da Vinci Code''
yang dianggap melecehkan umat Kristiani, menambah daftar panjang kontroversi
seputar agama. Semenjak kemunculan agama samawi (Islam, Kristen, dan Katolik)
kontroversi antaragama justru sering terjadi. Penyebabnya jelas, persoalan
wahyu karena tiap agama mengklaim ketuhanan dan kebenaran adalah paling benar.
Klaim kebenaran itu bersifat
absolut, tidak dapat dipertanyakan apalagi digunjingkan karena inilah fondasi
dasar dalam agama samawi. Bila persoalan wahyu diangkat ke publik hasilnya
sudah dapat ditebak: friksi. Wahyu melibatkan masalah seputar eksistensi tiap
komponen agama, baik Tuhan, pembawa firman, maupun firman itu sendiri. Inilah
persoalannya, tiap agama sering terjebak dalam persoalan siapa yang lebih
unggul eksistensi wahyunya ketika dihadapkan pada agama lain.
Ketika itu terjadi maka
bermunculan olok-olok antaragama; penghinaan agama, dengan media apa pun,
termasuk visual; dari yang tersurat hingga tersirat. Semua itu dilakukan hanya
untuk mendapat pengakuan bahwa eksistensi agamanya lebih bermartabat dari agama
yang lain.
Tak perlu menyebut contoh karena
sudah ratusan atau bahkan ribuan peristiwa semacam itu. Rangkaian persoalan ini
menunjukkan ada disorientasi pemeluk agama. Hukum kasih dalam Kristiani atau
konsep hablum minallah dan hablum minannas dalam Islam seolah-olah
dilupakan. Agama menjadi sekat-sekat pemisah. Yang tidak seiman dianggap lagi
bukan sesamanya. Klaim kafir pun enteng meluncur dari setiap mulut yang merasa
dirinya paling benar.
Manifestasi liberalisme adalah
sekularisme. Sekularisme berpendirian memisahkan agama dan pemerintahan.
Tujuannya pun toleransi antarumat beragama. Logikanya, ketiadaan campur tangan
pemerintah diharapkan tidak menimbulkan keterpihakan pada salah satu agama.
Namun toleransi tidak hadir semudah diharapkan.
Sekularisme melupakan hukum alam,
hukum tentang mayoritas dan minoritas. Ketika ada mayoritas, minoritas pun
terdesak. Akibatnya bukan toleransi namun intoleransi. Konflik akibat film ''Innocence of Muslims'', contohnya. Kebebasan
berekspresi tidak dibarengi dengan sikap pemahaman antarindividu.
Padahal, spirit sekularisme yang
diadopsi dari eksistensialisme mengajarkan bahwa batas kebebasan individu
adalah individu lain. Artinya, tiap individu bebas berbuat asal tidak merugikan
individu lain.
Fenomena ini menunjukkan
kegagalan sistem sekularisme Barat. Pendekatan dengan mengedepankan kebebasan
gagal karena ketiadaan otoritas. Kehidupan beragama berjalan tanpa rel sehingga
gesekan antarumat beragama tak dapat dihindari. Karena itu, dibutuhkan konsep
yang mengatasi perbedaaan agama. Konsep ini bukan untuk menyatukan agama atau
menghakimi kebenaran satu agama dengan yang lain.
Kesamaan Substansi
Yang pertama mesti dipahami bahwa
semua agama memiliki identitas khas, baik dari tata cara beribadah, bahasa,
hingga sisi dogmatis. Akibatnya, agama secara empiris saling menentang,
terkesan tidak memberi ruang dialogis.
Jika persoalan bentuk itu
terus-menerus diangkat maka toleransi menjadi tidak mungkin. Dalam hal ini, perennial memberikan pemahaman baru.
Agama meski dipahami dalam dua bentuk: substansi (esoteris) dan bentuk
(eksoteris). ● (..??)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar