Anak Lelaki
“Lapar” Ayah
Andrew Abdi Setiawan ; Konselor
Oasis Counseling Center Surakarta
|
JAWA
POS, 27 September 2012
TAWURAN pelajar SMA 6 dan SMA 70 di Jakarta berujung pada tewasnya seorang
pelajar. Entah sudah berapa banyak tawuran mengerikan semacam itu. Tawuran
adalah sebuah bukti nyata tentang lemahnya kecerdasan emosi remaja laki-laki.
Tawuran kebanyakan memang terjadi di antara kelompok pelajar atau orang
laki-laki. Tandanya adalah mereka mudah tersinggung fan, kalau tersulut
emosinya, mereka sulit mengendalikan. Yang lebih dikedepankan adalah tindakan
reaktif ketimbang proaktif.
Berbicara tentang kecerdasan emosi remaja putra, tidak bisa tidak, kita harus kembali melihat bagaimana peran ayah dalam kehidupan mereka. Banyak riset membuktikan keterkaitan erat antara peran ayah dan perilaku anak laki-lakinya di kemudian hari. Tidak heran bila psikolog terkenal John Gottman mengingatkan kita bahwa anak-anak, yang ayahnya tidak terlibat dalam kehidupan mereka, akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk menemukan keseimbangan antara ketegasan laki-laki dan pengendalian diri. Mereka mengalami kesulitan mempelajari pengelolaan emosi, penundaan keinginan, dan keterampilan-keterampilan hidup lain yang dibutuhkan anak laki-laki untuk mencapai persahabatan yang erat, kesuksesan akademik, dan pencapaian karirnya. Dampak-dampak negatif itulah yang sangat mungkin dialami oleh anak laki-laki yang ''lapar'' akan figur ayah.
Fenomena ''lapar'' ayah dapat dibagi dua golongan. Yang pertama adalah ketidakhadiran sang ayah secara fisik. Yang masuk golongan itu adalah para ayah yang tidak berada dalam keluarga karena bercerai atau meninggal dunia. Golongan kedua adalah ayah yang hadir, tetapi tidak banyak terlibat. Itu adalah ayah yang tinggal di rumah bersama dengan anak-anak, namun dia tidak memiliki banyak waktu untuk bergaul akrab dengan mereka. Dia hadir secara fisik, namun tidak tersedia secara emosinya. Entahlah, hal itu mungkin terjadi karena tuntutan pekerjaan yang menguras emosinya atau malah tidak memiliki bayangan tentang bagaimana melibatkan diri dalam kehidupan sang anak.
Tecermin ke Remaja Bermasalah
Apakah anak laki-laki kita sedang mengalami ''lapar'' ayah? Berbeda halnya dengan golongan pertama, fenomena ''lapar'' ayah pada golongan kedua masih sangat mungkin dijawab oleh para ayah zaman ini. Bagaimana caranya? Pertama, jadilah ayah yang berinisiatif. Tidak jarang fenomena ''lapar'' ayah disebabkan ayah-ayah yang pasif. Mereka baru merespons ketika datang keadaan negatif. Misalnya, si anak menangis, tidak naik kelas, mengganggu teman di sekolah, atau terlibat tawuran.
Berbeda halnya dengan ayah-ayah yang berinisiatif. Mereka akan mencari cara untuk terlibat dalam kehidupan anak laki-lakinya. Mereka berinisiatif untuk mengajak anak laki-lakinya bermain game yang umumnya disukai para lelaki, seperti sepak bola, basket, futsal, dan sebagainya. Mereka berinisiatif untuk menanyakan perkembangan studi di sekolahnya, mengajak anak laki-lakinya untuk makan bersama, mengadakan pembicaraan seputar masalah lelaki. Dan, masih banyak bentuk inisiatif yang lain.
Kedua, jadilah ayah yang bermain. Cukup banyak ayah yang dibesarkan dalam budaya Timur berusaha menjaga kewibawaannya sampai-sampai dia enggan bermain dengan anak laki-lakinya. Figur diri sebagai ayah yang kaku dan jauh dari anak kerap diperlihatkan di dalam keluarga. Nilai hidup yang ditularkan berbunyi demikian: Bekerja hanya untuk orang dewasa, bermain hanya untuk anak-anak. Padahal, dalam kenyataannya, bermain dengan anak adalah sarana paling baik untuk para ayah masuk ke dunia mereka. Dengan bermain bersamanya, para ayah akan melihat kelebihan-kelebihan tersembunyi anak laki-lakinya yang dapat dikembangkan di kemudian hari. Selain itu, para ayah dapat melihat apakah si anak sering memakai cara fair atau licik untuk mendapat kemenangan dan sekaligus melihat seberapa jauh dia mampu menerima kekalahan. Tentu hal itu semua akan berguna untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak.
Ketiga, jadilah ayah yang mengasihi tanpa syarat. Tidak tertutup kemungkinan bila sebagian remaja yang terlibat tawuran adalah anak-anak yang sebetulnya haus kasih sayang orang tuanya yang tanpa syarat. Sebagian orang tua baru mengasihi si anak bila dia mendapat nilai bagus, berprestasi dalam bidang olahraga, tidak merepotkan orang tua, dan sebagainya. Sesungguhnya yang mereka rindukan adalah para orang tua yang mengasihi karena dia adalah anaknya. Tidak kurang dan tidak lebih! Meski si anak mendapat nilai buruk dalam dunia akademiknya, membuat onar di kelas, tidak berprestasi dalam dunia olahraga, si ayah tetap mengasihi sebagai seorang anaknya. Dengan mengasihi, dia bisa meluruskan penyimpangan itu. Itulah jeritan hati sang anak.
Diana Loomans dan Julia Godoy, penulis dan pemerhati pola asuh anak, mengatakan, ''Anak yang dicintai dengan baik akan menyebarkan cinta kepada dunia dengan kekuatan sepuluh kali lipat. Anak yang dicintai dengan baik akan menyumbangkan bakat, waktu, dan layanan kepada dunia, berkeinginan membuat dunia sebagai tempat yang lebih baik.'' Ini berarti kasih tanpa syarat dari orang tua akan memperkecil peluang si anak untuk terlibat dalam tawuran dan tindakan destruktif yang lain.
Ketua Asosiasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Indonesia Dwidjo Saputro pernah menyebutkan hasil penelitian dalam Konferensi Keluarga Indonesia: ''Remaja yang bermasalah kebanyakan berasal dari keluarga tanpa ayah. Di antaranya, 85 persen remaja yang masuk penjara, 63 persen remaja bunuh diri, 80 persen pemerkosa yang dilatarbelakangi kemarahan, serta 85 persen penyimpangan tingkah laku.''
Jangan pernah meremehkan masalah ''kelaparan'' figur ayah dalam dunia anak laki-laki. Jumlah kasus tawuran remaja, saya yakin, akan berkurang secara signifikan bila sang ayah rela terlibat dalam kehidupan anak laki-lakinya. Wahai ayah, jangan enggan memeluk dan tertawa bersama putramu.... ●
Berbicara tentang kecerdasan emosi remaja putra, tidak bisa tidak, kita harus kembali melihat bagaimana peran ayah dalam kehidupan mereka. Banyak riset membuktikan keterkaitan erat antara peran ayah dan perilaku anak laki-lakinya di kemudian hari. Tidak heran bila psikolog terkenal John Gottman mengingatkan kita bahwa anak-anak, yang ayahnya tidak terlibat dalam kehidupan mereka, akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk menemukan keseimbangan antara ketegasan laki-laki dan pengendalian diri. Mereka mengalami kesulitan mempelajari pengelolaan emosi, penundaan keinginan, dan keterampilan-keterampilan hidup lain yang dibutuhkan anak laki-laki untuk mencapai persahabatan yang erat, kesuksesan akademik, dan pencapaian karirnya. Dampak-dampak negatif itulah yang sangat mungkin dialami oleh anak laki-laki yang ''lapar'' akan figur ayah.
Fenomena ''lapar'' ayah dapat dibagi dua golongan. Yang pertama adalah ketidakhadiran sang ayah secara fisik. Yang masuk golongan itu adalah para ayah yang tidak berada dalam keluarga karena bercerai atau meninggal dunia. Golongan kedua adalah ayah yang hadir, tetapi tidak banyak terlibat. Itu adalah ayah yang tinggal di rumah bersama dengan anak-anak, namun dia tidak memiliki banyak waktu untuk bergaul akrab dengan mereka. Dia hadir secara fisik, namun tidak tersedia secara emosinya. Entahlah, hal itu mungkin terjadi karena tuntutan pekerjaan yang menguras emosinya atau malah tidak memiliki bayangan tentang bagaimana melibatkan diri dalam kehidupan sang anak.
Tecermin ke Remaja Bermasalah
Apakah anak laki-laki kita sedang mengalami ''lapar'' ayah? Berbeda halnya dengan golongan pertama, fenomena ''lapar'' ayah pada golongan kedua masih sangat mungkin dijawab oleh para ayah zaman ini. Bagaimana caranya? Pertama, jadilah ayah yang berinisiatif. Tidak jarang fenomena ''lapar'' ayah disebabkan ayah-ayah yang pasif. Mereka baru merespons ketika datang keadaan negatif. Misalnya, si anak menangis, tidak naik kelas, mengganggu teman di sekolah, atau terlibat tawuran.
Berbeda halnya dengan ayah-ayah yang berinisiatif. Mereka akan mencari cara untuk terlibat dalam kehidupan anak laki-lakinya. Mereka berinisiatif untuk mengajak anak laki-lakinya bermain game yang umumnya disukai para lelaki, seperti sepak bola, basket, futsal, dan sebagainya. Mereka berinisiatif untuk menanyakan perkembangan studi di sekolahnya, mengajak anak laki-lakinya untuk makan bersama, mengadakan pembicaraan seputar masalah lelaki. Dan, masih banyak bentuk inisiatif yang lain.
Kedua, jadilah ayah yang bermain. Cukup banyak ayah yang dibesarkan dalam budaya Timur berusaha menjaga kewibawaannya sampai-sampai dia enggan bermain dengan anak laki-lakinya. Figur diri sebagai ayah yang kaku dan jauh dari anak kerap diperlihatkan di dalam keluarga. Nilai hidup yang ditularkan berbunyi demikian: Bekerja hanya untuk orang dewasa, bermain hanya untuk anak-anak. Padahal, dalam kenyataannya, bermain dengan anak adalah sarana paling baik untuk para ayah masuk ke dunia mereka. Dengan bermain bersamanya, para ayah akan melihat kelebihan-kelebihan tersembunyi anak laki-lakinya yang dapat dikembangkan di kemudian hari. Selain itu, para ayah dapat melihat apakah si anak sering memakai cara fair atau licik untuk mendapat kemenangan dan sekaligus melihat seberapa jauh dia mampu menerima kekalahan. Tentu hal itu semua akan berguna untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak.
Ketiga, jadilah ayah yang mengasihi tanpa syarat. Tidak tertutup kemungkinan bila sebagian remaja yang terlibat tawuran adalah anak-anak yang sebetulnya haus kasih sayang orang tuanya yang tanpa syarat. Sebagian orang tua baru mengasihi si anak bila dia mendapat nilai bagus, berprestasi dalam bidang olahraga, tidak merepotkan orang tua, dan sebagainya. Sesungguhnya yang mereka rindukan adalah para orang tua yang mengasihi karena dia adalah anaknya. Tidak kurang dan tidak lebih! Meski si anak mendapat nilai buruk dalam dunia akademiknya, membuat onar di kelas, tidak berprestasi dalam dunia olahraga, si ayah tetap mengasihi sebagai seorang anaknya. Dengan mengasihi, dia bisa meluruskan penyimpangan itu. Itulah jeritan hati sang anak.
Diana Loomans dan Julia Godoy, penulis dan pemerhati pola asuh anak, mengatakan, ''Anak yang dicintai dengan baik akan menyebarkan cinta kepada dunia dengan kekuatan sepuluh kali lipat. Anak yang dicintai dengan baik akan menyumbangkan bakat, waktu, dan layanan kepada dunia, berkeinginan membuat dunia sebagai tempat yang lebih baik.'' Ini berarti kasih tanpa syarat dari orang tua akan memperkecil peluang si anak untuk terlibat dalam tawuran dan tindakan destruktif yang lain.
Ketua Asosiasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Indonesia Dwidjo Saputro pernah menyebutkan hasil penelitian dalam Konferensi Keluarga Indonesia: ''Remaja yang bermasalah kebanyakan berasal dari keluarga tanpa ayah. Di antaranya, 85 persen remaja yang masuk penjara, 63 persen remaja bunuh diri, 80 persen pemerkosa yang dilatarbelakangi kemarahan, serta 85 persen penyimpangan tingkah laku.''
Jangan pernah meremehkan masalah ''kelaparan'' figur ayah dalam dunia anak laki-laki. Jumlah kasus tawuran remaja, saya yakin, akan berkurang secara signifikan bila sang ayah rela terlibat dalam kehidupan anak laki-lakinya. Wahai ayah, jangan enggan memeluk dan tertawa bersama putramu.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar