Reformasi Tata
Kelola
Adrianus Meilala ; Kriminolog
FISIP UI;
Komisioner
pada Komisi Kepolisian Nasional
|
KOMPAS
, 04 September 2012
Berita ”rebutan perkara”
yang kita lihat baru-baru ini menyangkut Polri dan KPK bukanlah suatu pelajaran
yang baik menyangkut supremasi hukum. Kedua pihak bersikukuh memiliki dalil
hukum sendiri disertai dukungan UU yang berbeda atau pasal yang berbeda meski
dari UU yang sama.
Bila sudah berbenturan
begitu, biasanya ada dua jalur yang ditempuh. Pertama, jalur hukum: ke Mahkamah
Konstitusi terkait sengketa kewenangan antarlembaga. Kedua, jalur politik: ke
presiden guna memerintahkan salah satu pihak (aparat negara) mundur.
Kalangan awam kemudian bisa
bertanya-tanya tentang hakikat supremasi jika hukum yang sama bisa melahirkan
interpretasi yang begitu berbeda. Jika hukum diletakkan sebagai solusi akhir
masalah kita yang tak kunjung terselesaikan, nyatanya bisa saja tak kunjung
membuahkan penyelesaian. Belum lagi apabila dikaitkan dengan administrasi hukum
yang terbiasa lamban, lama, mahal, dan tidak pasti.
Memang bila kita masih mau
berkutat dalam ranah hukum, maka sejelek-jeleknya digunakan, hukum tidak akan
membuat kita tumpah ruah dalam berbagai kegiatan fisik: main hakim sendiri, adu
jotos, tawuran, terorisme, hingga berperang dengan pihak lain. Setidak-tidaknya
yang berkonflik dalam hukum hanyalah kata-kata saja. Dalam era demokrasi,
konflik dianggap lebih beradab ketimbang konflik fisik yang bisa tereskalasi ke
mana-mana. Masalahnya, dewasa ini ada tawaran lain bagi kita selaku masyarakat
mengganti supremasi hukum itu. Alternatif itu adalah supremasi tata kelola.
Tata Kelola yang Baik
Sebenarnya perspektif tata
kelola, atau kita kenal dengan sebutan tata kelola yang baik, sudah mulai
menampakkan kiprahnya di Indonesia sejak 1990-an. Bahkan, untuk tingkat negara,
perspektif ini sudah sepenuhnya mewarnai saat negara kini melakukan Program
Reformasi Birokrasi. Demikian pula ketika diadakan aneka program pemercepatan
pembangunan melalui pengguliran serangkaian rencana aksi menyangkut
pemberantasan narkoba dan korupsi. Juga saat muncul berbagai parameter baru
dalam menilai kinerja aparat negara ketika elemen tata kelola yang baik kini
mulai mengambil alih perspektif birokrasi yang terlalu menekankan proses
formal.
Boleh dibilang, perspektif
tata kelola ini adalah kritik terhadap pendekatan birokratis yang lebih
mengutamakan struktur daripada fungsi, mementingkan formalitas ketika
sesungguhnya tak ada nilai tambah apa pun. Saat birokrasi semakin sibuk dengan
diri- nya sendiri dan juga semakin sulit dimengerti banyak orang, maka perspektif
tata kelola pun dilirik sebagai alternatif murah dan memenuhi harapan.
Apa itu elemen tata kelola?
Kita bisa berdiskusi panjang. Yang pasti, terdapat 11 elemen yang biasa
disebut: akuntabilitas, transparansi, efisiensi, keefektifan, representasi,
antidiskriminasi, antikorupsi, penghargaan terhadap hak asasi manusia,
imparsialitas, integritas, dan demokrasi. Bisa dibayangkan, makin banyak elemen
yang kita anggap sebagai bagian dari suatu tata kelola yang baik, niscaya akan
kian baik dan benar pula proses yang dilalui dalam rangka menghasilkan output, outcome, dan dampak yang juga baik
dan besar.
Benarkah proses yang telah
dirasuki oleh elemen tata kelola yang baik itu pasti cepat dan murah? Memang
belum tentu sebab ada keharusan pelaku tata kelola memproses apa yang menjadi
tugas dan tanggung jawabnya dengan cara: tak menerima gratifikasi, tak mau
menyuap, mencapai titik efisiensi setinggi mungkin, membuat manajemen keuangan
yang terbuka, serta melakukan kegiatan tanpa mendiskriminasi orang, dan
seterusnya.
Dalam masyarakat seperti Indonesia,
yang cenderung berposisi lunak terkait gratifikasi dan korupsi, mendorong tata
kelola secara membabi buta bisa bikin masalah baru. Pihak yang condong pada
perspektif legal-normatif juga bisa mengkritik terkait ketakpastian yang bisa
diciptakan oleh perspektif tata kelola ini.
Berpotensi Menggeser
Dengan segala kelemahannya,
perspektif tata kelola ini berpotensi menggeser supremasi hukum dalam menilai
suatu masalah dan mencari solusi atas masalah tingkat makro. Jika supremasi
hukum sering terlihat sebagai ”apa kata hukum adalah yang terbaik”, supremasi
tata kelola lebih menekankan pada ”apa yang terbaik secara akuntabilitas,
transparansi, dan seterusnya”.
Karena elemen tata kelola
ini lebih merupakan prinsip kerja atau semangat kerja, locus atau sentral
perspektif ini adalah pada penyelenggara atau pengelola itu sendiri. Perspektif
ini kemungkinan bisa berhasil bila setiap penyelenggaranya memiliki terlebih
dulu kesediaan dan kemampuan jadi orang yang berintegritas. Dalam hal ini,
berintegritas berarti tetap pada aturan meski dalam kondisi tak diketahui orang
lain atau minim pengawasan. Dewasa ini, secara konstelasi sosial-politik,
lembaga hukum sudah tak lagi memiliki nilai tawar yang tinggi terkait pemilihan
hukum sebagai cara utama dan satu-satunya jika kita memiliki masalah.
Ihwal inefisien dan inefektif
serta ketiadaan akuntabilitas maupun transparansi merupakan soal yang parah dan
tak kunjung terpecahkan. Ajakan menyelesaikan masalah secara hukum lebih
dilihat sebagai ajakan bagi kita memasuki labirin yang jelas pintu masuk tetapi
tak jelas pintu keluar. Yang terjadi kini malah kecenderungan menjauhi hukum
melalui apa yang dikenal dengan pengaktifan diskresi serta pengemukaan cara
berpikir keadilan restoratif. Di pihak lain, lembaga negara yang mengusung
elemen tata kelola yang baik dewasa ini kian marak saja: Ombudsman RI, Komisi
Informasi Publik, Komisi Penyiaran, atau Komnas HAM. Ada kecenderungan lembaga
yang bersifat tambahan itu lebih kuat mendorong perspektif tata kelola bagi
kinerja mereka.
Namun, jangan lupa, Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi hingga Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan telah menggunakan
elemen tata kelola yang baik dalam membuat parameter kinerja dan menilai
kinerja instansi pemerintah. Penulis berpendapat banyak masalah hukum dapat
diselesaikan dengan relatif mudah. Sebelum itu berlangsung, situasi transisi
yang terjadi: pihak yang hendak menyelesaikan masalah secara hukum berhadapan
dengan pihak lain yang hendak membawa masalah ke ranah tata kelola. Jelas saja tak
nyambung. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar