Selasa, 04 September 2012

Kunci Reformasi Pendidikan

Kunci Reformasi Pendidikan
Agus Suwignyo ;  Pedagog Cum Sejarawan Pendidikan FIB UGM
KOMPAS , 04 September 2012


Lewat artikel ”Pendidikan Kunci Pembangunan” (Kompas, 27/8/2012), Wapres Boediono mengulas tentang hilangnya ”apa” yang seharusnya diajarkan di sekolah ”untuk menyiapkan manusia-manusia Indonesia yang mampu berkontribusi maksimal bagi bangsa”.

Tulisan berisi pemikiran yang tampaknya dimaksudkan sebagai referensi bagi penyusunan kebijakan strategis arah reformasi pendidikan nasional. Sayang sekali, harus dikatakan, gagasan-gagasan yang diuraikan Wapres bersifat umum, satu sisi (one- sided), dan abai terhadap pemikiran pendidikan dalam sejarah bangsa Indonesia. Wapres menyatakan sampai saat ini belum ada ”konsepsi yang jelas mengenai substansi pendidikan”.

Benarkah? Mengapa di usia ke-67 Republik Indonesia memiliki seorang wapres yang lebih memilih mengadopsi pemikiran rektor Universitas Harvard daripada gagasan-gagasan pendidikan kerakyatan dari para pemikir negeri sendiri? Apakah gagasan dan praktik pendidikan Ki Hadjar Dewantara, KH Ahmad Dahlan, Mohammad Sjafei, RA Kartini, Rohana Kudus, Dwijo Sewojo, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Ki Mangunsarkoro, Muhammad Yamin, Daoed Joesoef, YB Mangunwijaya, atau Butet Manurung sudah tidak relevan?

Perspektif bahwa pendidikan kunci pembangunan hanya satu dari dua sisi hubungan pendidikan dengan masyarakat, yakni pendidikan sebagai daya dorong perubahan sosial. Pada sisi lain, pendidikan merupakan obyek kekuasaan politik, yang tak bebas dari aneka kepentingan yang mengebiri potensinya sebagai daya dorong perubahan sosial. Ini berarti, implementasi semua gagasan dan program pengembangan pendidikan sangat bergantung pada kemauan politik dan komitmen para pemegang kuasa.

Sebagai obyek kekuasaan, ranah pendidikan adalah bagian dari skema pembangunan masyarakat. Ia bagian hilir yang menjabarkan konsepsi hulu di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. Ketiga bidang bermuara pada apa yang oleh para pemikir politik dirumuskan sebagai visi kebangsaan dan kenegaraan serta oleh para budayawan diidentifikasi sebagai gambaran manusia Indonesia. Dalam konteks ini, problem utama pendidikan kita saat ini bukan hilangnya atau tiadanya ”apa” yang harus diajarkan, melainkan absennya arah pembangunan sebagai kunci reformasi pendidikan nasional. Perumusan visi, misi, dan kebijakan pendidikan tak mungkin didasarkan pada ruang hampa. Harus ada dasar pijakan solid yang memberikan gambaran historis dan kontekstual tentang hubungan pendidikan dan perubahan masyarakat.

Di mana posisi dan ke mana sebenarnya arah pembangunan manusia dan negara Indonesia saat ini? Apakah yang pernah dicanangkan sebagai Visi 2030 dijadikan dasar pembuatan kebijakan? Mengapa persoalan strategis pendidikan kita hingga kini masih serupa kenyataan 1950-an ketika kedaulatan Indonesia baru saja diakui dunia?

Ulasan Wapres sebenarnya mencerminkan keterbatasan perspektif pemerintah dalam merancang pembangunan nasional dan pembangunan pendidikan nasional. Dengan anggaran pendidikan Rp 331 triliun dalam RAPBN 2013 dan pujian masyarakat internasional atas pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil, pemerintah punya kebutuhan menyeimbangkan penilaian publik dalam negeri atas kinerja dan keberpihakannya pada kesejahteraan rakyat Indonesia. Sayangnya, kebutuhan itu tak diimbangi perspektif yang secara proporsional melibatkan dan mengapresiasi masa lalu bangsa.

Sifat, Bentuk, Isi, Irama

Salah satu butir penting pemikiran Wapres sebagaimana tertuang dalam tulisannya adalah pendidikan memiliki sasaran umum berupa pembentukan ”sikap dan kompetensi dasar yang perlu dimiliki setiap warga negara di mana pun mereka berkarya”. Dicontohkan, untuk pendidikan tinggi tingkat sarjana (S-1), ada delapan kemampuan dasar yang harus diajarkan. Yaitu kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, dimensi moral, menjadi warga negara efektif, mengerti dan toleran terhadap perbedaan, kemampuan hidup dalam masyarakat yang mengglobal, minat luas atas kehidupan, dan kesiapan bekerja.

Kedelapan butir kemampuan dasar ini dikenal juga sebagai modern liberal arts atau kompetensi pokok dalam misi pendidikan yang memerdekakan. Kendati teramat penting, kedelapan kemampuan dasar ini berlaku di belahan mana pun di dunia saat ini. Artinya, jika delapan butir itu dijadikan patokan perumusan muatan pendidikan, akan dihasilkan generasi dengan profil kompetensi dasar yang umum dalam arti tidak menampakkan kekhasan identitas kulturalnya. Negara seperti Brasil mengadopsi kedelapan butir kemampuan dasar dengan mengontekstualkannya pada pengalaman dan kebutuhan bangsa Brasil.

Jika hendak mengadopsi kedelapan butir kemampuan dasar itu, Indonesia rasanya juga perlu menyesuaikannya dengan sejarah dan kebutuhan bangsa kita agar kekhasan identitas manusia Indonesia tecermin dalam profil kompetensi dasar generasi Indonesia. Untuk itu, tak ada pilihan kecuali melihat kembali pemikiran pendidikan para pemikir yang (pernah) kita miliki. Sebagai patokan dalam upaya pengadopsian itu, rumus yang diajukan Ki Hadjar Dewantara masih relevan dan mungkin bisa diterapkan. Yaitu sifat, bentuk, isi, dan irama, di mana sifat itu tetap dan tidak berubah, sedangkan bentuk, isi, dan irama berubah sesuai konteks waktu, tempat, dan kebutuhan. Sifat dari visi, isi, strategi, dan kebijakan pendidikan harus tetap berpijak dan berpihak pada jati diri bangsa. Bentuk, isi, dan irama dari aspek-aspek pendidikan selalu dinamis, fleksibel, dan selalu disesuaikan kondisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar