Selasa, 04 September 2012

Politik Tuna

Politik Tuna
Arif Satria ;  Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB; Anggota Komisi Tuna Indonesia
KOMPAS , 04 September 2012


Pada 28-30 Agustus 2012 ada pertemuan ASEAN Tuna Working Group yang membahas masalah ikan tuna di ASEAN.

Tuna adalah spesies yang bermigrasi lintas negara dan telah menjadi konsumsi global. ASEAN memiliki posisi strategis karena menyuplai 26 persen tuna dunia. Namun, negara-negara ASEAN menghadapi masalah karena kena tarif masuk 24 persen ke Uni Eropa, mungkin demi melindungi produk lokal.

Isu Pokok

Selain isu tarif, ada tiga isu pokok lain. Pertama, krisis sumber daya tuna. Berdasarkan data Seafdec, tuna sirip kuning (yellowfin tuna) tergolong dieksploitasi penuh (fully exploited) di Samudra India, Atlantik, serta Pasifik timur. Berarti, produksi tak bisa naik lagi. Tuna sirip biru (bluefin tuna) tergolong rusak (depleted) di Atlantik barat dan timur serta tangkap penuh di Pasifik.

Penurunan sumber daya dapat dilihat dari menurunnya kuota penangkapan. Data status sumber daya tuna di ASEAN memang masih minim. Di Indonesia, tolok ukurnya adalah hook-rate yang menurun dari 0,05 menjadi 0,03. Artinya, dari 100 pancing hanya tertangkap 3 tuna.

Perubahan dari alat tangkap long-line ke purse-seine di satu sisi akan meningkatkan produksi, tetapi di sisi lain bisa merusak sumber daya karena tuna ukuran kecil berpeluang tertangkap.

Kedua, isu keberlanjutan. Negara-negara yang penangkapannya tak mengindahkan pelestarian akan dihambat dalam perdagangan. Keikutsertaan dalam Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs), seperti Indian Ocean Tuna Commission serta Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna, penting karena di dalamnya diatur kuota penangkapan.

Bila kita menangkap tuna di perairan internasional tetapi tidak menjadi anggota RFMOs, maka akan dianggap ilegal. Berdasarkan aturan EU 1005/2008, ikan ilegal akan ditolak. Begitu pula kalau menjadi anggota lalu tangkapan kita melebihi kuota maksimum, akan dikenai sanksi.

Ke depan, selektivitas alat tangkap juga dipersoalkan, seperti jika kita menangkap tuna tetapi penyu ikut tertangkap (by catch) atau menangkap tuna yang masih kecil. Bahkan, Western and Central Pacific Fisheries Commission sudah mulai mempersoalkan kasus ini untuk tuna sirip kuning.

Salah satu instrumen yang dibahas pada pertemuan ASEAN Tuna Working Group yang lalu adalah ekolabel atau label ramah lingkungan (ecolabelling). Pihak ketiga seperti Marine Stewardship Council (MSC) sudah mengembangkan ekolabel ini.

Berdasarkan penilaian MSC melalui perusahaan asesor Moody Marine Ltd, perikanan tuna Indonesia baru mendapat skor di bawah 60 atau belum lulus (Martosubroto, 2012). Sertifikasi ekolabel oleh pihak ketiga berarti ada tambahan biaya. Maka, sedang dipikirkan pengembangan sistem sertifikasi yang murah.

Ketiga, isu keamanan pangan dan penolakan produk perikanan kita. Untuk Uni Eropa, kasus penolakan menurun dari 63 menjadi 7 sepanjang 2004-2011. Namun, untuk pasar Amerika Serikat (AS), berdasarkan data yang diolah dari FDA, pada 2004- 2011 meningkat dari 12 menjadi 181. Dari 181 kasus itu, 89 di antaranya adalah kasus tuna.

Penolakan juga terjadi untuk produk tuna negara-negara ASEAN lain meski tidak sebesar kita. Thailand, yang volume ekspor tunanya ke AS 6,5 kali lebih besar daripada ekspor tuna kita ke AS, hanya mengalami 11 kasus. Lainnya Filipina (5), Vietnam (22), dan Malaysia (2) sehingga total penolakan tuna ASEAN pada 2011 sebesar 129 kasus.

Penolakan pada 59,6 persen tuna ASEAN ternyata disebabkan kandungan bakteri salmonela. Bahkan, untuk Indonesia mencapai 74 persen. Artinya, ada masalah di hulu, yakni penanganan pascatangkap. Umumnya nelayan menggunakan armada kecil dengan sanitasi kapal kurang memadai sehingga rentan terhadap salmonela.

Tantangan yang harus segera diatasi: mengubah pola pikir nelayan agar paham standar keamanan pangan konsumen dunia yang makin tinggi. Dulu bahan baku untuk industri pengolahan tuna Thailand bersumber dari Indonesia. Namun, dengan alasan keamanan pangan, kini lebih banyak mengimpor dari negara-negara Pasifik.

Di sinilah pembenahan sistem penyuluhan perikanan harus dilakukan, diikuti fasilitas pemerintah terhadap upaya modifikasi armada nelayan. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan punya tugas berat mengantisipasi ini.

Langkah

Peta tuna di atas perlu diurai lagi satu per satu sehingga menghasilkan solusi yang detail, baik teknis maupun nonteknis, untuk lokal, nasional, dan internasional. Forum ASEAN harus dimanfaatkan untuk membangun kekuatan bersama, terutama untuk menghadapi ketidakadilan perdagangan global, regulasi pengelolaan sumber daya, dan penguatan teknis keamanan pangan.

Bagi kita, prinsip kelestarian sumber daya dan langkah proaktif meningkatkan mutu harus kuat. Namun, lebih penting lagi komitmen untuk membela perikanan rakyat agar mereka tidak menjadi korban politik tuna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar