Selasa, 04 September 2012

Tikar Telah Digelar


Tikar Telah Digelar
Sukardi Rinakit ;  Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS , 04 September 2012


Hormat saya kepada Megawati Soekarnoputri, GKR Hemas, Puan Maharani, Rustriningsih, Eva Kusuma Sundari, Rieke Diah Pitaloka, Nurul Arifin, dan Yenny Wahid, untuk menyebut beberapa nama. Mereka adalah para perempuan dari ranah politik yang membuat demokrasi tumbuh subur di republik ini.

Pikiran itu menyergap begitu saja ketika bus yang saya tumpangi melintas di Kebumen, Jawa Tengah, minggu lalu. Ingatan saya otomatis terseret pada tahun-tahun awal dekade 1990-an ketika seorang gadis muda, Rustriningsih, kini menjadi Wakil Gubernur Jawa Tengah, tanpa kenal takut menegakkan nilai-nilai demokrasi di daerah ini. Dia memperjuangkan tegaknya kedirian partai yang sekarang kita kenal sebagai PDI-P di telatah Kedu dan Banyumas.

Langkah politik berani seperti itu mungkin kini telah dilupakan banyak orang. Bahkan, keteguhan Megawati Soekarnoputri memanggul PDI-P di tengah terjangan kekuasaan Orde Baru pun sudah dilupakan banyak orang. Kita memang bangsa berkarakter melodramatik, yang salah satu cirinya memang mudah lupa.

Ingat dan Waspada

Mencermati perkembangan politik saat ini, ibarat tempat tinggal, rumah tersebut sebenarnya sekarang sudah kosong. Legitimasi pemerintah kini merosot tajam. Ini bisa dilihat dari hasil beberapa lembaga survei yang menunjukkan separuh lebih rakyat tidak puas dengan kinerja pemerintah.

Fakta itu banyak memupus pesona Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada tahun 2009 terkenal dengan yel kampanyenya ”Luar Biasa, Dahsyat, Yes Yes Yes!”. Yel itu kini kehilangan daya magisnya. Meskipun indikator ekonomi makro sangat baik, kenyataannya masyarakat belum tahu benar apa yang telah dilakukan pemerintah dalam pembangunan nasional.

Jika itu pembangunan infrastruktur, misalnya, banyak jalan masih rusak dan irigasi tak terurus. Jika itu pembangunan pertanian, kita baru saja gagap dengan urusan kedelai. Jika itu keamanan dan penegakan keadilan, masih terjadi kekerasan atas nama agama dan penguasaan lahan di sudut-sudut Tanah Air. Selain itu, ada juga beberapa elite Partai Demokrat yang kini berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, Partai Demokrat adalah partai berkuasa.

Akibatnya, yel kampanye yang dulunya seperti lempengan emas murni tersebut di mata kaum kritis kini tak lebih seperti kue wingko babat, jika tidak boleh disebut pecahan genteng.

Realitas itu bermakna tunggal, yakni rakyat kehilangan pemandu. Sejauh ini, Presiden Yudhoyono belum mentransformasi dirinya menjadi pemandu dan sandaran bagi rasa aman rakyat. Meskipun Presiden beberapa kali menyatakan akan memimpin sendiri upaya pemberantasan korupsi, sejatinya tidak ada keyakinan di hati rakyat bahwa suara Presiden adalah suara pemerdekaan. Akibatnya, optimisme publik juga sulit bangkit.

Dalam konstruksi situasi politik seperti itu, berlaku adagium sak bejo-bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspada (seuntung-untungnya orang yang lupa, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada). Apabila politik bergerak linier, PDI-P mempunyai peluang tertinggi untuk memenangi pertempuran dan merebut kekuasaan pada pemilu nanti. Ini disebabkan soliditas PDI-P sejauh ini relatif terjaga, sementara Partai Demokrat terbelah dan Partai Golkar sedang dalam keadaan gamang.

Sebagai sebuah kesempatan, realitas politik saat ini ibarat tikar yang sudah tergelar bagi PDI-P. Tinggal menduduki saja. Namun, apabila PDI-P terlambat melakukan konsolidasi internal dan lupa memahami sejarah kampung atau, meminjam istilah Moeslim Abdurrahman, struktur basis, partai lain yang akan duduk di bagian terbesar tikar tersebut.

Mengingat sejarah politik Indonesia adalah sejarah tokoh, bukan institusi, maka figur yang eling dan waspada, yang bisa menyatukan mimpi bersama seluruh lingkaran sosial dan memanfaatkan kekuatan media, adalah figur yang bisa merebut bagian dari tikar yang tergelar tersebut.

Kini mood publik sedang mencari figur yang tegas, tidak korup, dan berkarakter pinandita (pandai dan bijak). Untuk sementara, dari survei beberapa lembaga, muncul nama-nama, sesuai abjad, Dahlan Iskan, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Megawati Soekarnoputri, dan Prabowo Subianto. Siapa pun yang cocok dengan alam bawah sadar publik tersebut, terlebih jika itu tokoh baru dan belum pernah nyapres, ia yang akan mendapatkan dukungan masif.

Sehubungan dengan hal itu, partai-partai yang dalam persepsi publik berasosiasi dengan tokoh-tokoh tersebut, terutama Gerindra dan Nasdem, secara hipotesis akan memperoleh suara signifikan dilihat dari titik pijak awal mereka. Suara itu secara umum berasal dari pendukung Partai Demokrat yang mencoba mencari mimpi baru.

Betul bahwa pesona Presiden Yudhoyono semakin turun karena kegagalannya mentransformasi diri menjadi pemandu rakyat. Namun, jangan dilupakan, ia tetap mempunyai pengaruh dan sumber daya politik yang besar. Menurut saya, ia akan menjadi endorser yang menentukan. Peran itu tidak boleh diabaikan oleh siapa pun yang berkehendak melakukan kontestasi politik pada 2014.

Kini tikar telah tergelar. Terserah Anda merebutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar