Pilkada DKI
dan Kartelisasi Parpol
Ibrahim Ajie ; Wakil Ketua Forum Editor Indonesia
|
SUARA
KARYA, 18 September 2012
Kekompakan antarsahabat yang tulus memang disarankan. Tapi, kalau kompak
ada maunya, nanti dulu. Inilah yang terlihat ketika semua kekuatan partai
politik yang tergabung dalam koalisi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) kompak mendukung pasangan inkumben Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli pada putaran
kedua Pilkada DKI Jakarta, 20 September mendatang.
Setelah PKS masuk dalam barisan pendukung Foke-Nara, kekuatan
parpol koalisi: Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PKB, PPP dan PKS kini
berhadapan dengan kutub kekuatan oposisi, PDIP-Partai Gerindra, pendukung Joko
Widodo-Basuki Tjahja Purnama plus kekuatan pro perubahan yang bersimpati
terhadap figur dan gaya kepemimpinan Jokowi.
Partai-partai koalisi pendukung pemerintahan
SBY yang kompak merapat ke kubu Foke-Nara, sulit dinilai karena kesamaan platform, apalagi ideologi. Orang awam
pun akan mudah menilai bahwa di sana hanya ada alasan taktis-pragmatis semata.
Sebab, publik sudah melihat di banyak pilkada, politisi dan birokrat telah
menunjukkan wajah bertopeng mereka: rasional-pragmatis. Bahkan, tidak mustahil
kapitalis. Watak bajing loncat ini menunjukkan bahwa "politik cepat
saji" tengah jadi idaman. Fenomena politik cepat saji sekarang ini
tampaknya mengulang pelaksanaan Pilkada DKI 2007, ketika pasangan Adang
Darajatun-Dani Anwar yang diusung PKS dianggap sebagai "common enemy" oleh 20 partai
pengusung pasangan Fauzi Bowo-Prijanto. Partai-partai politik bergabung dengan
pola interaksi yang seragam, bahkan hingga sekarang. Modus penggembosan kubu
lawan melalui attacking camping terus
dimaksimalkan. Dalam konteks ini, yang dipakai adalah teknik name calling, yakni memberi label buruk
kepada lawan.
Pada Pilkada DKI 2007, bahkan hingga putaran pertama Pilkada DKI
2012, kubu Foke membuat isu di masjid-masjid, jika PKS menang dan memimpin DKI
maka tradisi-tradisi yang dianggap Islami oleh warga Islam Jakarta akan
dihilangkan. Di sini isu sektarian seperti SARA akan selalu optimal digunakan
kandidat yang kebelet ingin menang.
Selain agama, juga isu etnis akan terus kencang dilakukan.
Sekarang yang jadi target pasangan Jokowi-Ahok. Setelah dihantam isu SARA,
terungkap intimidasi inkumben terhadap korban kebakaran di Karet Tengsin, Tanah
Abang, Jakarta Pusat untuk pulang saja membangun rumah di Solo, jika tetap
memilih Jokowi-Ahok.
Terjerumus
Menarik sekali, dan sangat mudah dipahami
kenapa parpol-parpol besar seperti PPP, Golkar dan terakhir PKS menyatakan dukungannya
kepada Foke-Nara yang notabene keduanya berasal dari Partai Demokrat. Ibarat
pepatah "ada gula, ada semut", posisi Fauzi Bowo tentu lebih
menguntungkan untuk dijadikan "mitra" ketimbang Jokowi yang bergaya
proletar.
Istilahnya, "tak ada makan siang
gratis", parpol tentu tak ingin diabaikan apabila telah memberi dukungan.
Harga setiap dukungan beragam dan cukup besar. Hal ini mengakibatkan parpol
tidak hanya menjerumuskan diri mereka sendiri, namun akan berujung pada proses
pembodohan dan melanggengkan praktik money
politic yang mengarah pada kartelisasi politik, mafia pengaturan proyek dan
anggaran, dan pada akhirnya rekayasa kebijakan yang sama sekali tidak berpihak
pada publik.
Tak heran, yang terjadi kemudian mantan kepala daerah dan kepala
daerah aktif banyak terjerat kasus korupsi dari waktu ke waktu. Menteri Dalam
Negeri Gamawan Fauzi pada Rapat Kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), awal Januari 2011 lalu memaparkan ada 155 kepala daerah yang tersangkut
masalah korupsi dan 17 orang di antaranya adalah gubernur. Setiap pekan, ada
kepala daerah yang diproses dalam kasus korupsi.
Jumlah yang disampaikan Gamawan tidak jauh berbeda dengan data
KPK. Hingga Maret 2011, sudah 175 kepala daerah yang terdiri-dari 17 gubernur
dan 158 bupati dan walikota menjalani pemeriksaan di lembaga antikorupsi ini.
Jumlah keseluruhan bisa jadi lebih besar jika ditambah dengan kasus korupsi
kepala daerah yang ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Belajar dari
pengalaman seperti itu, orientasi masyarakat dalam memilih pemimpinnya
tampaknya akan diarahkan berdasarkan kenegarawanan atau ketokohan sang calon.
Buat apa memilih sosok yang tak diyakini bakal memajukan rakyat, terlebih
apabila hanya berdasarkan asas transaksional? Kita sudah belajar dari Pilpres
2004 dan Pilpres 2009 yang saat ini telah kita tuai hasilnya.
Korupsi yang terjadi di
semua lini dan melibatkan sejumlah petinggi partai politik dalam dua tahun
terakhir ini, mestinya menyadarkan bangsa. Jangan tertipu dengan isu-isu
sektarian karena itu merupakan wujud ketakutan untuk kalah. Sebab, dengan
kekalahan maka akan menghilangkan kenikmatan yang selama ini telah direguk.
Lebih jauh lagi, pemenang yang prokerakyatan pasti akan membuka file-file terdahulu yang beraroma
menyimpang. Yang paling penting, partai politik akan sadar bahwa rakyat sudah
tidak bergantung lagi pada partai karena kecewa setelah melihat perjalanan
bangsa dalam 14 tahun terakhir ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar