Pendidikan
Bangsa dan Intoleransi Beragama
Azhari Aziz Samudra ; Direktur Pascasarjana
Universitas Ngurah Rai,
Dosen FISIP UI
|
MEDIA
INDONESIA, 18 September 2012
DALAM
suatu pertemuan, teman saya seorang prosesor dari UNJ bercerita tentang dasar
sebuah pendidikan. Kata dia, pendidikan itu pada dasarnya ada dua sisi, yaitu reward (penghargaan) dan punishment (sanksi). Dua kata itu cukup
bagi saya untuk melihat perilaku bangsa ini. Saya merenung ke zaman dulu,
ketika anak-anak TK dulu dididik dengan penghargaan dan sanksi. Mereka kemudian
di masa depan menjadi generasi yang tidak cengeng, tidak mudah menyerah, dan
tidak mencari sesuatu dengan serbainstan. Semua memerlukan proses, proses yang
amat panjang sehingga menjadikan jiwa mereka tangguh dengan pengalaman yang
berbekas (internalized).
Proses
pendidikan bangsa sangat bergantung kepada pemimpin. Sejarah panjang bangsa ini
merupakan bangsa yang taat pada pemimpinnya. Kultur patron-client yang diwujudkan
dalam perilaku taat kepada pemimpin--sejak zaman Majapahit sampai era HM
Soeharto--mewarnai kepatuhan rakyat kepada pemimpinnya. Masuknya Islam yang
mengajarkan ketaatan umat kepada nabinya (pemimpin) menjadikan bangsa ini
selalu becermin pada pemimpinnya. Karena itu bila pemimpin kuat, rakyatnya ikut
kuat. Bila pemimpin lemah, lemah pula rakyatnya.
Pada
teori peniruan (teori model/imitation),
suatu teori kognitif yang dikemukakan Albert Bandura (1925), karakter itu
terlihat jelas; bagaimana seharusnya seorang pemimpin dapat dinilai dalam
memimpin bangsa ini. Itu tidak mudah, tapi sesungguhnya juga tidaklah sulit. Tidak
sulit karena masyarakat punya modal dasar taat pada pimpinan, mau diatur dengan
baik. Tidak mudah ketika pemahaman pemimpin terhadap toleransi tidak sepenuhnya
dimengerti. Saya ingat sebuah cerita di zaman Rasulullah.
Dalam
suatu kisah, di sudut pasar Madinah Al-Munawarah duduk seorang pengemis Yahudi
buta. Hari demi hari, apabila ada orang yang mendekatinya, ia selalu berkata,
“Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong,
dia itu tukang sihir. Apabila kalian mendekatinya, kalian akan dipengaruhinya.”
Setiap pagi Rasulullah mendatanginya dengan membawa makanan dan tanpa berkata
sepatah kata pun Rasulullah menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis
itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang
bernama Muhammad. Rasulullah melakukannya hingga menjelang beliau wafat.
Setelah Rasulullah wafat, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap
pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.
Suatu
hari Abubakar berkunjung ke rumah Aisyah. Beliau bertanya kepada Aisyah,
“Anakku, adakah sunah kekasihku (Muhammad) yang belum aku kerjakan.” Aisyah menjawab
pertanyaan ayahnya, “Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunah. Hampir tidak
ada satu sunah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunah saja.” “Apa itu?”
tanya Abubakar. “Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan
makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah.
Keesokan
harinya Abubakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya
kepada pengemis itu. Abubakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan
itu kepadanya. Ketika Abubakar mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil
berteriak, “Siapakah kamu?” Abubakar menjawab, “Aku orang yang biasa.” “Bukan!
Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” jawab si pengemis buta itu. “Apabila
ia datang kepadaku, tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini
mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih
dahulu dihaluskannya makanan tersebut dengan mulutnya. Setelah itu ia berikan
padaku dengan mulutnya sendiri,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.
Abubakar
tidak dapat menahan air matanya. Ia menangis sambil berkata kepada pengemis
itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku salah seorang dari
sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah. ”
Setelah pengemis itu mendengar cerita Abubakar, dia pun menangis dan kemudian
berkata, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya.
Ia tidak pernah memarahiku sedikit pun. Ia mendatangiku dengan membawa makanan
setiap pagi. Ternyata ia begitu mulia....” Pengemis Yahudi buta tersebut
akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar.
Mari
kita amati sifat pendidikan melalui jiwa pemaaf dari kisah itu. Perilaku pemaaf
menjadi toleransi dalam beragama. Dalam konteks tersebut, sifat pemaaf telah
ditanamkan pada jiwa seorang pemimpin sebelum sesuatu kejadian datang. Dia
tegas dan juga welas asih, tidak ada dendam pada dirinya, apalagi sakit hati,
marah, dengki, dan iri hati. Nabi mengajarkan itu kepada penerusnya dan umatnya
di kemudian hari. Para pemimpin di Indonesia hendaknya mengajarkan yang terbaik
pada bangsa, rakyat, atau umat. Dalam hukum Islam dijelaskan, memasuki halaman
orang saja atau melompati pagar orang lain atau memasuki rumah orang lain harus
meminta izin, apalagi mengusir orang lain dari kampungnya atau menyerang
kelompok lain karena tak kuasa hidup berdampingan. Sejauh umat manusia tidak
mampu hidup berdampingan, tidak toleransi seperti kisah Nabi Muhammad tadi,
tetap memiliki sifat dengki, iri, ria, dendam, dan mengikuti hawa nafsu, tidak
akan ada kedamaian di muka bumi. Teror lahir dari perilaku buruk, perilaku itu
tidaklah diajarkan agama mana pun.
Mereka
yang ingin menegakkan dan mengklaim damai--padahal memaksakan agar sama dengan
mereka-berarti mereka tidak punya alasan berdasar yang jelas. Menurut Alquran,
mereka telah menipu diri sendiri. Mengapa demikian? Sebab damai tersebut
berkaitan erat dengan jiwa pemaaf. Bila kita sungguh-sungguh mempelajari dan
memahami Alquran, makna damai harus diletakkan pada awal tindakan. Artinya,
jiwa pemaafnya mendahului, padahal peristiwa belum terjadi. Kuncinya ada pada
pemimpin. Bila kita seorang pemimpin yang benar, mulailah dengan jiwa pemaaf
dan tegakkan pemaaf. Belajarlah tegas, kuat, dan cepat mengambil keputusan
untuk memberikan reward atau punishment karena bangsa ini memerlukan
pemimpin--yaitu pemimpin yang mendidik anak bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar