Peraturan
Menteri tentang Penyiaran Digital
Diani Citra ; Penerima
Beasiswa Fulbright,
Kandidat PhD Columbia University Journalism School
|
KORAN
TEMPO, 17 September 2012
Sebagai bangsa yang masih sangat
muda dalam kehidupan berdemokrasi, pengaturan terhadap industri komunikasi
adalah bagian penting dalam membentuk wajah demokrasi bangsa. Belum selesai kontroversi
Peraturan Menteri Nomor 22 dan 23 tentang penyelenggaraan penyiaran digital,
Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah mengeluarkan berita baru yang
tidak kalah kontroversial: daftar pemenang tender penyelenggaraan mux (multipleksing).
Pada 30 Juli 2012, Kementerian Komunikasi mengeluarkan Siaran Pers Nomor
65/PIH/KOMINFO/7/2012 tentang Pengumuman Seleksi Lembaga Penyiaran
Penyelenggara Penyiaran Multipleksing. Ketika peraturan-peraturan ini masih
menuai kritik dan keabsahannya masih dipertanyakan, pemerintah kita sudah
membagi-bagikan kaveling mux.
Mux adalah bagian integral dan
sangat krusial dalam digitalisasi. Mux adalah sebuah alat yang akan memecah
sebuah frekuensi siaran menjadi beberapa saluran. Sebuah frekuensi yang semula
hanya bisa digunakan oleh sebuah stasiun penyiaran, dengan adanya mux, dapat
dipecah menjadi beberapa saluran, sehingga bisa digunakan oleh lebih banyak
stasiun penyiaran. Sebegitu besar dan penting peranan teknologi ini, mux akan
menjadi bagian krusial industri penyiaran dan akan menjadi entitas bisnis
tersendiri. Para pengelola mux ini nantinya akan memiliki pengaruh untuk
menyeleksi siapa yang dapat menyewa jasanya dan siapa yang tidak.
Kemenangan
Sebenarnya perusahaan-perusahan
pemenang tender mux ini seharusnya khawatir, karena mungkin saja kemenangan
mereka tidak berlangsung lama. Terlalu banyak perkembangan kebijakan yang akan
terjadi di masa depan yang dapat mengancam keabsahan peraturan-peraturan ini,
begitu juga keputusan-keputusan pemerintah yang dilahirkan dengan berbasis pada
peraturan-peraturan tersebut, seperti halnya para pemenang tender.
Tanpa menunggu lahirnya
undang-undang baru pun peraturan-peraturan itu pada dasarnya inkonstitusional
karena menyalahi aturan induknya, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran. Dalam UU Penyiaran, frekuensi siaran dan lembaga penyelenggaraan
penyiaran yang menggunakannya adalah satu entitas yang tidak terpisahkan.
Sebaliknya, digitalisasi penyiaran bekerja dengan berasaskan pemecahan
frekuensi menjadi beberapa saluran dan pemisahan definisi antara pengelolaan
frekuensi dan penyelenggaraan siaran. Karena itu, frekuensi siaran dan stasiun
televisi yang bersiaran menggunakan sebagian frekuensi tersebut sudah tidak
bisa lagi dinyatakan sebagai satu entitas.
Dalam era digital, satu frekuensi
tidak lagi hanya digunakan oleh satu stasiun televisi, melainkan digunakan oleh
beberapa stasiun TV. Pengelolaan pemecahan frekuensi ini akan dilakukan oleh
penyelenggara mux. Sedangkan penyelenggaraan siaran akan dilakukan oleh
stasiun-stasiun penyiaran yang mendapat izin siaran, seperti layaknya penyelenggaraan
siaran saat ini.
Penyelenggaraan dan pengelolaan
mux ini memiliki pertanggungjawaban yang terpisah dan berbeda dari
pertanggungjawaban penyelenggaraan siaran biasa oleh stasiun televisi. Maka
dari itu, secara peraturan perundang-undangan, pemecahan pertanggungjawaban ini
sudah membuat Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2012 menjadi tidak layak secara
hukum, karena UU Penyiaran sama sekali belum mencantumkan ketentuan peralihan.
Kementerian Komunikasi berusaha
mengakali ketidaklayakan hukum ini dengan cara menetapkan bahwa izin
pengelolaan mux hanya akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang telah
memiliki izin penyelenggaraan siaran. Dengan demikian, Kementerian dapat
berargumen bahwa pengelola frekuensi adalah juga penyelenggara penyiaran. Namun
trik ini pun tetap cacat secara hukum jika kita mempertanyakan status
stasiun-stasiun penyiaran yang nantinya akan bersiaran dengan hanya menyewa
jasa mux tanpa ikut mengelolanya.
Kerancuan status ini dapat
berdampak buruk bagi pertanggungjawaban frekuensi karena, secara legal formal,
stasiun-stasiun penyewa ini tidak bertanggung jawab terhadap pengelolaan
frekuensi oleh mux. Secara hukum, yang dinyatakan sebagai ranah publik dan
harus digunakan secara bertanggung jawab demi kepentingan masyarakat dalam UU
Nomor 32 adalah frekuensi penyiaran. Jika, misalnya, salah satu stasiun yang
hanya menyewa jasa mux ini menampilkan tayangan yang dianggap meresahkan
masyarakat, KPI atau Kementerian Komunikasi akan kesulitan meminta
pertanggungjawaban atas siaran tersebut, tanpa adanya undang-undang
digitalisasi yang mengatur ketentuan peralihan dengan jelas.
Selama belum dilahirkan
undang-undang baru yang memberikan ketentuan peralihan dari UU No. 32 atau
lahirnya UU Penyiaran, peraturan apa pun mengenai digitalisasi yang dilahirkan
di bawahnya secara otomatis akan menjadi cacat hukum.
Kita juga harus mempertimbangkan
bahwa pembatasan pengelolaan mux semacam ini hanya akan semakin memperparah
monopoli yang sudah berakar kuat dalam sistem penyiaran analog. Asas diversity of ownership and content yang
menjadi pengusung utama digitalisasi menjadi sepenuhnya impoten dalam penerapan
peraturan menteri ini.
Selanjutnya, peraturan menteri
ini menjadi lebih bermasalah lagi jika KIDP (Koalisi Independen untuk
Demokratisasi Penyiaran) memenangi uji materi yang diajukan terhadap
pasal-pasal yang mengatur kepemilikan dalam UU Nomor 32. Beberapa bulan lalu,
KIDP mengajukan judicial review
terhadap UU Penyiaran yang pada dasarnya menuntut pemerintah membatasi
kepemilikan stasiun televisi demi menghentikan praktek monopoli pertelevisian
yang saat ini marak terjadi. Idealnya, sebuah perusahaan hanya boleh memiliki
stasiun televisi yang hanya boleh bersiaran di satu daerah. Permohonan KIDP
merupakan reaksi masyarakat terhadap pemetaan kepemilikan industri
pertelevisian yang hanya dikuasai oleh segelintir orang.
Kalau Mahkamah Konstitusi
memutuskan mengabulkan permohonan KIDP, Peraturan Menteri Nomor 22 akan harus
menghadapi satu lagi aspek kecacatan hukum. Dalam praktek kedua peraturan menteri
tersebut, Kementerian Komunikasi menjanjikan tiga kaveling saluran bagi
perusahaan pengelola mux. Ini jelas-jelas bertentangan dengan asas
anti-monopoli.
Kepastian Bisnis
Saat ini DPR pun tengah menggodok
UU Penyiaran baru. Kelahiran undang-undang penyiaran baru ini otomatis nantinya
juga akan mementahkan Peraturan Menteri Nomor 22. Kerumitan status hukum
penyiaran digital mensyaratkan agar proses migrasi digitalisasi dan
pengelolaannya tidak boleh diatur hanya dalam tataran peraturan yang dapat diganti
jika terjadi pergantian pemerintahan.
Dengan begitu banyaknya
ketidakpastian hukum yang meracuni napas Peraturan Menteri Nomor 22 ini,
pemerintah seperti berkukuh menciptakan situasi yang tidak kondusif dalam
kehidupan industri penyiaran Indonesia. Bagaimana industri penyiaran Indonesia
dapat berkembang maju dengan tenang jika investasi bisnis mereka dapat dicabut
legalitasnya sewaktu-waktu.
Lebih lanjut lagi, pengaturan
sebuah migrasi dengan skala menyeluruh dan semahal digitalisasi memerlukan
komitmen bangsa yang tidak bisa hanya diatur di tataran peraturan penteri.
Misalnya, ketika terjadi pergantian kabinet dan Menteri Komunikasi baru
memutuskan mengganti peraturan menteri, status-status pemenang tender ini dapat
dipertanyakan di mata hukum.
Sebagai bangsa yang masih sangat
muda dalam kehidupan berdemokrasi, pengaturan terhadap industri komunikasi
adalah bagian penting dalam membentuk wajah demokrasi bangsa. Migrasi digital
adalah bagian penting dari pembentukan tersebut dan, karena itu, harus diatur
di tataran undang-undang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar