Senin, 17 September 2012

Efek Jera Rutan Militer


Efek Jera Rutan Militer
Herie Purwanto ;  Dosen Kriminologi Fakultas Hukum
Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 17 September 2012


DI bawah kepemimpinan Abraham Samad, KPK Jilid III sepertinya ingin menunjukkan eksistensi sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi di negeri ini. Keberaniannya menangani kasus yang menyentuh ruang kekuasaan ataupun melibatkan sesama penegak hukum, menunjukkan eskalasi yang signifkan. 

Kasus penggeledahan kantor Korlantas Polri dengan menetapkan mantan direktur korps itu (yang pada waktu pengeledahan menjabat Gubernur Akpol) Irjen Djoko Susilo menjadi contoh aktual. Sebelumnya, KPK telah mengambil sikap nonkompromi, dengan mewajibkan tahanan di komisi itu mengenakan baju seragam tahanan KPK.  Meskipun sejumlah pendapat menentang pengenaan seragam tahanan tersebut, komisi antisuap itu bersikukuh dengan pendapatnya. Sepertinya komisi antisuap tersebut ingin memunculkan efek jera dengan lebih nyata sekaligus memberikan beban psikologis bagi tahanan KPK. Efektifkah langkah itu?

Belum teruji secara ilmiah dampak yang ingin dimunculkan KPK ini, namun lagi-lagi komisi tersebut membuat terobosan baru yaitu membuat kesepakatan dengan TNI untuk meminjam rumah tahanan (rutan) militer Guntur milik Kodam Jaya. Kelak ada koruptor ditahan di tempat tersebut. Mengapa muncul ide meminjam rutan milik Kodam Jaya yang terletak di daerah Pasar Rumput, tak jauh dari kantor KPK? 

Setidak-tidaknya ada tiga alasan mendasari keputusan tersebut. Pertama; belajar dari kasus Gayus Tambunan, Artalyta Suryani, atau tahanan lain yang bisa ’’bermain-main’’ dengan rumah tahanan Mako Brimob maupun rutan yang lain. KPK sangat berharap, ruang tahanan bagi koruptor benar-benar menjalankan masa penahanan dengan segala keterbatasan atau standar hidup tahanan, bukan sekadar pindah ruang aktivitas. Selama ini, sebagaimana terungkap di ruang publik, di mana pun ruang tahanan itu, ada sejumlah koruptor masih bisa menikmati fasilitas lebih, seperti pendingin ruangan, kulkas, kasur empuk, sampai pada acara ’’weekend’’, yang bisa dinikmati sewaktu-waktu. Termasuk mereka yang masih bisa menjalankan bisnis dari ruang tahanan.

Kedua; rumah tahanan di Kodam Jaya yang merupakan tahanan militer, siapa pun akan mendapat kesan sebagai tempat penahanan yang penuh dengan aturan disiplin, ketat pengawasan dan baku dalam penerapan aturan penahanan. Kesan ’’angker’’ inilah yang mungkin menurut KPK lebih memberikan efek psikologis tidak mengenakkan dan akan memunculkan efek jera. 

KPK tidak ingin tahanan dengan bebas bisa menerima tamu, berkomunikasi dengan pihak luar semaunya sendiri, dan bentuk-bentuk kebebasan lainnya yang seharusnya tidak boleh dilakukan atau dinikmati oleh seseorang yang menyandang status hukum sebagai tahanan.

Ketiga; dengan memandang skala disiplin yang ketat tadi maka penahanan terhadap koruptor yang dikategorikan ìorang kuatî akan lebih efektif, dibandingkan bila ditempatkan di  tahanan di lembaga lain, termasuk di rutan milik KPK. Komisi antisuap itu tidak ingin ribet dengan memberikan ekstrapengawasan, cukup dengan menahan di Kodam Jaya, diasumsikan tujuan-tujuan yang hendak diharap KPK lebih efektif bisa tercapai.

Belum lagi wacana penitipan tahanan KPK di rutan militer Kodam Jaya terlaksana, sudah muncul penentangan dan pendapat yang kontra. Pendapat ini mendasari bahwa penahanan warga sipil di rumah tahanan militer bertentangan dengan hukum acara di Indonesia. Benarkah demikian?

Landasan Yuridis

Penjelasan Pasal 22 KUHAP menyebutkan bahwa selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, lembaga permasyarakatan, rumah sakit dan dalam ’’keadaan yang memaksa’’ boleh ditahan di tempat lain.
Dengan pemahaman ini, langkah KPK yang hendak menitipkan tahanan di rutan militer Kodam Jaya sejatinya bisa dipahami sebagai langkah progresif. KPK memosisikan bahwa kasus korupsi di Indonesia yang sudah begitu parah dan masuk dalam extraordinary crime maka penanganan terhadap pelakunya pun perlu dengan cara-cara yang luar biasa. ’’Keadaan yang memaksa’’ itu menjadi pembenar langkah yuridis KPK.

Sepatutnya, kita mendukung langkah-langkah KPK dalam memberikan efek jera bagi koruptor. Jangan sampai koruptor mendapat fasilitas yang nyaman dan diistimewakan, meskipun ia adalah seorang pejabat, penguasa, ataupun tokoh yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan. Dengan menempatkannya pada standar hidup yang pas-pasan, sebagaimana tahanan dari kelas biasa bawah yang mencuri ayam atau mencuri pisang untuk menyambung hidup keluarga, maka akan muncul satu kesamaan, bahwa siapa pun orangnya ketika berstatus sebagai tahanan, tidak dibeda-bedakan sebagai bentuk perwujudan asas hukum equality before the law. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar