Status Quo
Sektor Migas
Effendi Siradjudin ; Ketua Asosiasi Perusahaan Migas (Aspermigas)
|
REPUBLIKA,
17 September 2012
Belum
genap dua bulan saya meluncurkan buku Nation
in Trap, ternyata ada elemen bangsa ini yang tak mau berubah sekalipun
ancaman itu sudah di depan dirinya. Dalam buku tersebut, saya mengantarkan
bahwa akan banyak bangsa di dunia ini hancur, salah satunya karena krisis
energi. Kelompok status quo ini ingin mempertahankan apa yang ada, sekali pun
itu jelas tak akan bisa menyelesaikan masalah.
Di
tengah produksi migas nasional yang terus terpuruk, mereka masih berjuang
mati-matian untuk mempertahankan UU Migas No 22 Tahun 2001. Meski tanpa mau
menyebut identitasnya, mereka berani secara terbuka memasang iklan di koran
nasional untuk meminta dukungan publik, mempertahankan undang-undang tersebut.
Untuk
mempertahankan UU ini, digunakan alasan UU No 22 Tahun 2001 itu menjamin
kedaulatan negara penuh atas kekayaan migas Indonesia sebagai mana tercantum
dalam Pasal 4 UU itu. Mereka seakan memakai kacamata kuda dan tak mau mendengar
aspirasi dari pihak lain.
Bukankah
UU No 22 Tahun 2001 telah berulang kali di-judicial
review oleh publik? Bahkan, yang terakhir dibawa ke Mahkamah Konsitusi agar
dibatalkan. Gugatan secara hukum itu menandakan, UU yang lahir karena tekanan
IMF itu memang penuh dengan borok yang perlu direvisi.
Persoalannya,
apakah bangsa ini masih berdaulat dan mandiri bila sebagian besar kebutuhan
minyak mentah dan BBM dilakukan melalui impor karena produksi migas nasional
tak mampu mengimbangi kenaikan konsumsi dalam negeri? Seharusnya, kita tak
perlu malu belajar dari kasus kedelai. Produksi nasional kedelai 778 ribu ton,
konsumsi dalam negeri mencapai 2,5 juta ton. Untuk menutupi kekurangan
tersebut, Indonesia harus impor kedelai 1,72 juta ton.
Impor
yang terlalu besar itu menjadi problem ketika di negara produsen kedelai lagi
menderita kekeringan. Produksinya turun hingga mengakibatkan naiknya harga kedelai
dunia. Kondisi ini berimbas pada naiknya harga kedelai domestik. Akhirnya, tukang
tahu dan tempe menghentikan produksi, ibu-ibu rumah tangga tak bisa menyajikan
menu tempe dan tahu, dan SBY serta sejumlah menterinya kalang kabut.
Kejadian
seperti tahu dan tempe itu bisa juga terjadi di bidang energi yang imbasnya
akan jauh lebih besar terhadap perekonomian nasional. Impor minyak mentah dan
BBM yang nyaris mencapai 70 persen bisa terganggu bila di negara produsen
minyak ada masalah. Kedaulatan bangsa dalam pengertian luas bisa goyang kalau
profil pemenuhan energi nasional masih bertumpu pada impor.
Tanda-tanda
ke arah itu sesungguhnya sudah mulai tampak pada awal 2005. Harga minyak dunia
melonjak dari 25 dolar AS per barel menjadi 60 dolar AS. Akibat kenaikan harga
minyak dunia tersebut, Indonesia sampai dua kali menaikkan harga BBM, yaitu
pada Maret dan Oktober.
Kondisi
ini terus berlangsung hingga kini yang memberikan beban terlalu berat terhadap
keuangan negara, mengingat BBM masih harus disubsidi. Beban ini semakin
meningkat karena ternyata BBM bersubsidi 2012 juga membutuhkan tambahan kuota,
mengingat kuota yang ada habis pada September.
Lantas,
tepatkah kita ngotot mempertahankan UU No 22 Tahun 2001 di tengah bangsa yang
tersandera kenaikan harga minyak dunia, hingga membuat beban subsidi BBM
terlalu besar dan kesempatan untuk melakukan realokasi anggaran untuk
pembangunan makin kecil? Bang sa ini harus melihat tren kenaikan harga minyak
dunia menjadi permanen sehingga kalau Indonesia selamanya bergantung pada impor
minyak mentah dan BBM, dipastikan bisa kolaps.
Produksi
minyak dunia dewasa ini sekitar 90 juta barel per hari. Sebanyak 50 juta barel
digunakan sendiri oleh negara-negara produsen karena konsumsi dalam negerinya
meningkat. Itu artinya, tinggal 40 juta barel minyak yang ada di pasaran. Dari
minyak yang ada di pasar itu, 12 juta barel diekspor ke AS dan tujuh juta barel
diekspor ke Cina. Dengan demikian, riilnya minyak yang ada di pasar itu tinggal
20 juta barel per hari. Sehingga, wajar kalau tren kenaikan harga minyak dunia
dewasa ini sifatnya permanen. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar