NU dan
Kepungan Pragmatisme
Muhammadun ; Wakil Ketua Lajnah
Ta'lif wan Nasyr PWNU Yogyakarta,
Analis Studi Politik
pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 18 September 2012
PADA 14-17 September 2012, Nahdlatul Ulama (NU) menggelar
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) di
Cirebon, Jawa Barat. Perhelatan munas dan konbes itu mengambil tema Kembali ke
khitah Indonesia 1945. Bagi NU, Indonesia selama ini telah dibajak segelintir
kelompok yang merusak citacita para pendiri bangsa pada 1945. Khitah Indonesia
1945 tidak lagi dijadikan pegangan dalam kehidupan kebangsaan sehingga krisis
yang berlangsung terus berlarut tanpa henti.
Dalam konteks itu, NU perlu melakukan inovasi gerakan dakwah agar
bisa menjawab tantangan sosial yang makin kompleks sekarang ini. Strategi masa
harus selalu diperbarui sehingga NU tidak terjebak dalam status quo yang lalai dengan tugas profetik mereka dalam menjaga
umat dan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tantangan besar yang dihadapi NU, dan juga bangsa Indonesia saat
ini, ialah makin meluasnya pragmatisme: baik dalam politik, ekonomi,
kebudayaan, agama, maupun pendidikan. Pragmatisme dalam politik terlihat dengan
makin rusaknya tata kelola perpolitikan Indonesia sekarang ini. Mereka bersuara
memberantas korupsi, tetapi ternyata dalam tubuh mereka sendiri ada uang
korupsi. Wakil rakyat yang mau diperiksa malah `lari' ke luar negeri. Kala
rakyat masih kelaparan, wakil rakyat juga senang pelesir untuk wisata di luar
negeri dengan dalih `studi banding'.
Dalam persoalan ekonomi, rakyat kecil masih berada di pinggir
peradaban. Teori ekonomi sepertinya sudah pertinya sudah habis dijelaskan untuk
memberdayakan orang miskin, tetapi mengapa sampai sekarang kemiskinan malah
terus bertambah. Tema kemiskinan selama ini hanya dijadikan sebagai bahan
seminar, diskusi, lokakarya, dan penelitian. Tidak ada yang mau seperti
Muhammad Yunus dari Bangladesh yang rela mengorbankan gelar doktoralnya untuk
berjuang melawan kemiskinan.
Dalam beragama, Indonesia malah dirundung nestapa. Isu mendirikan
`negara agama' bangkit lagi dengan hadirnya neo-NII yang merekrut banyak kaum
terpelajar. Radikalisme beragama juga semakin menguat sehingga lahir banyak
kasus terorisme yang meresahkan masyarakat. Itu diperparah makin merosotnya
karakter pribadi masyarakat Indonesia yang semakin jauh dari kebudayaan mereka
sendiri. Sementara itu, lembaga pendidikan yang diharapkan mampu mencetak manusia
berkarakter justru banyak menghasilkan kader pragma tis dan koruptif.
Tantangan-tantangan pragmatisme tersebut menghadang di depan NU
dan bangsa Indonesia. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang anggotanya besar
sekali di Indonesia, NU harus tampil di garda depan memberikan usul, gagasan,
dan tindakan nyata untuk memba ngun Indonesia. Kalau dulu para kiai NU bersatu
melawan penjajah untuk meraih dan menegakkan kemerdekaan, bagaimana dengan para
kiai NU hari ini di tengah kondisi pragmatisme yang semakin akut ini?
NU dan Restorasi
Indonesia
Di tengah kondisi yang akut ini, menarik kalau NU mengin tip
gagasan restorasi Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, restorasi
berarti pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula. Merestorasi berarti
mengembalikan atau memulihkan kepada keadaan semula. Restorasi Indonesia
dicapai dengan, pertama, restorasi negara-bangsa yang berupa upaya membangun
keteladanan kepemimpinan, membangun karakter gotong-royong sesuai dengan dasar negara,
dan membangun kepercayaan rakyat terhadap institusi negara; kedua, restorasi
kehidupan rakyat yang berupa upaya membangun gerakan arus bawah atas prakarsa
rakyat, yang membawa nilai-nilai kebajikan, spiritualitas ke bangsaan,
solidaritas sosial, kearifan budaya lokal, dan etos kerja yang produktif;
ketiga, restorasi kebijakan internasional yang berupa upaya membangun
keseimbangan baru dalam tata dunia yang lebih adil, damai dan menjaga
kelestarian alam semesta.
NasDem bergerak baru saja ‘kemarin’ , tetapi gerak langkah mereka
dalam melakukan restorasi Indonesia patut menjadi `catatan kaki' dalam proses
demokratisasi di Indonesia. NasDem turun ke bawah melakukan gerakan pencerahan
untuk membangun kekuatan sipil yang mengerti terhadap bangsanya sehingga
mempunyai inisiatif dan prakarsa dalam membangun Indonesia masa depan. Kaum
sipil di berbagai lapisan masyarakat bawah itulah yang `disadarkan' NasDem
untuk memiliki Indonesia seutuhnya. Rasa memiliki terhadap Indonesia seutuhnya
akan melahirkan nasionalisme dan patriotisme yang sangat dibutuhkan Indonesia
hari ini.
Dengan jaringan kultural yang sangat melimpah di Indonesia, NU
mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk ber sama-sama organisasi sosial
lainnya dalam upaya melakukan restorasi Indonesia. Gerak restorasi Indonesia
itu sangat krusial karena `jembatan emas' yang pernah dibangun Bung Karno dan
para pendiri bangsa sekarang ini hampir putus karena `emasnya' banyak diambil
kaum pragmatis yang seenaknya ingin merobohkan peradaban Indonesia.
Restorasi Indonesia merupakan kebutuhan mutlak bagi NU untuk mengembalikan
spirit perjuangan para pendiri sebagaimana yang diamanatkan dalam Muktamar
Ke-32 NU di Makassar, 2010.
Selain bekerja sama dengan organisasi sosial lain, NU bisa
menggunakan pesantren sebagai `jantung restorasi Indonesia'. Pesantren menyebar
luas di berbagai pelosok desa di Indonesia. Jaringan itu, kalau dimanfaatkan
NU, bisa melahirkan gelombang kekuatan rakyat yang sangat menentukan bagi
Indonesia. Model-model pragmatisme yang terjadi sekarang ini bisa dibendung
kekuatan rakyat sebagai pemilik kekuasaan sejati. Kekuatan rakyat arus bawah
bisa meruntuhkan praktik ketidakadilan dan ke sewenangan publik dalam berbagai
prak tik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Kehidupan masyarakat di Indonesia yang dikenal dengan budaya
gotong-royong dan musyawarah mufakat menjadi modal sosial bagi NU dan ormas
sosial dalam membangun kekuatan bersama menggapai solusi kebangsaan. Pemikiran Jhon Stuart Mill menarik dibaca,
bahwa demokrasi sebenarnya bukan seutuhnya mengabaikan konsep lokalitas,
melainkan sebenarnya bagaimana konsep lokal dikembangkan demi terwujudnya
kesejahteraan sosial. Artinya, jaringan sosial dari berbagai masyarakat
lokal Indonesia yang mempunyai spirit gotong-royong bisa dikembangkan untuk mewujudkan
tatanan publik yang membela kaum bawah, sehingga bisa lahir kesejahteraan dan
kemakmuran.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebenarnya pernah melakukan restorasi
Indonesia pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an sehingga warga NU di berbagai
pelosok desa bisa menikmati kemajuan. Kini, setelah Gus Dur wafat, NU harus
kembali berjuang bergandengan tangan dengan ormas lain untuk menegakkan
Indonesia dan mengupayakan keadilan bagi kaum marginal. Gerakan itulah yang
ditunggu bangsa Indonesia. Selamat
berjuang, NU! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar