Selasa, 18 September 2012

NU dan Kepungan Pragmatisme


NU dan Kepungan Pragmatisme
Muhammadun ;  Wakil Ketua Lajnah Ta'lif wan Nasyr PWNU Yogyakarta,
Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 18 September 2012


PADA 14-17 September 2012, Nahdlatul Ulama (NU) menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) di Cirebon, Jawa Barat. Perhelatan munas dan konbes itu mengambil tema Kembali ke khitah Indonesia 1945. Bagi NU, Indonesia selama ini telah dibajak segelintir kelompok yang merusak citacita para pendiri bangsa pada 1945. Khitah Indonesia 1945 tidak lagi dijadikan pegangan dalam kehidupan kebangsaan sehingga krisis yang berlangsung terus berlarut tanpa henti.

Dalam konteks itu, NU perlu melakukan inovasi gerakan dakwah agar bisa menjawab tantangan sosial yang makin kompleks sekarang ini. Strategi masa harus selalu diperbarui sehingga NU tidak terjebak dalam status quo yang lalai dengan tugas profetik mereka dalam menjaga umat dan menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tantangan besar yang dihadapi NU, dan juga bangsa Indonesia saat ini, ialah makin meluasnya pragmatisme: baik dalam politik, ekonomi, kebudayaan, agama, maupun pendidikan. Pragmatisme dalam politik terlihat dengan makin rusaknya tata kelola perpolitikan Indonesia sekarang ini. Mereka bersuara memberantas korupsi, tetapi ternyata dalam tubuh mereka sendiri ada uang korupsi. Wakil rakyat yang mau diperiksa malah `lari' ke luar negeri. Kala rakyat masih kelaparan, wakil rakyat juga senang pelesir untuk wisata di luar negeri dengan dalih `studi banding'.

Dalam persoalan ekonomi, rakyat kecil masih berada di pinggir peradaban. Teori ekonomi sepertinya sudah pertinya sudah habis dijelaskan untuk memberdayakan orang miskin, tetapi mengapa sampai sekarang kemiskinan malah terus bertambah. Tema kemiskinan selama ini hanya dijadikan sebagai bahan seminar, diskusi, lokakarya, dan penelitian. Tidak ada yang mau seperti Muhammad Yunus dari Bangladesh yang rela mengorbankan gelar doktoralnya untuk berjuang melawan kemiskinan.

Dalam beragama, Indonesia malah dirundung nestapa. Isu mendirikan `negara agama' bangkit lagi dengan hadirnya neo-NII yang merekrut banyak kaum terpelajar. Radikalisme beragama juga semakin menguat sehingga lahir banyak kasus terorisme yang meresahkan masyarakat. Itu diperparah makin merosotnya karakter pribadi masyarakat Indonesia yang semakin jauh dari kebudayaan mereka sendiri. Sementara itu, lembaga pendidikan yang diharapkan mampu mencetak manusia berkarakter justru banyak menghasilkan kader pragma tis dan koruptif.

Tantangan-tantangan pragmatisme tersebut menghadang di depan NU dan bangsa Indonesia. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang anggotanya besar sekali di Indonesia, NU harus tampil di garda depan memberikan usul, gagasan, dan tindakan nyata untuk memba ngun Indonesia. Kalau dulu para kiai NU bersatu melawan penjajah untuk meraih dan menegakkan kemerdekaan, bagaimana dengan para kiai NU hari ini di tengah kondisi pragmatisme yang semakin akut ini?

NU dan Restorasi Indonesia

Di tengah kondisi yang akut ini, menarik kalau NU mengin tip gagasan restorasi Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, restorasi berarti pengembalian atau pemulihan kepada keadaan semula. Merestorasi berarti mengembalikan atau memulihkan kepada keadaan semula. Restorasi Indonesia dicapai dengan, pertama, restorasi negara-bangsa yang berupa upaya membangun keteladanan kepemimpinan, membangun karakter gotong-royong sesuai dengan dasar negara, dan membangun kepercayaan rakyat terhadap institusi negara; kedua, restorasi kehidupan rakyat yang berupa upaya membangun gerakan arus bawah atas prakarsa rakyat, yang membawa nilai-nilai kebajikan, spiritualitas ke bangsaan, solidaritas sosial, kearifan budaya lokal, dan etos kerja yang produktif; ketiga, restorasi kebijakan internasional yang berupa upaya membangun keseimbangan baru dalam tata dunia yang lebih adil, damai dan menjaga kelestarian alam semesta.

NasDem bergerak baru saja ‘kemarin’ , tetapi gerak langkah mereka dalam melakukan restorasi Indonesia patut menjadi `catatan kaki' dalam proses demokratisasi di Indonesia. NasDem turun ke bawah melakukan gerakan pencerahan untuk membangun kekuatan sipil yang mengerti terhadap bangsanya sehingga mempunyai inisiatif dan prakarsa dalam membangun Indonesia masa depan. Kaum sipil di berbagai lapisan masyarakat bawah itulah yang `disadarkan' NasDem untuk memiliki Indonesia seutuhnya. Rasa memiliki terhadap Indonesia seutuhnya akan melahirkan nasionalisme dan patriotisme yang sangat dibutuhkan Indonesia hari ini.

Dengan jaringan kultural yang sangat melimpah di Indonesia, NU mempunyai kekuatan yang lebih besar untuk ber sama-sama organisasi sosial lainnya dalam upaya melakukan restorasi Indonesia. Gerak restorasi Indonesia itu sangat krusial karena `jembatan emas' yang pernah dibangun Bung Karno dan para pendiri bangsa sekarang ini hampir putus karena `emasnya' banyak diambil kaum pragmatis yang seenaknya ingin merobohkan peradaban Indonesia.

Restorasi Indonesia merupakan kebutuhan mutlak bagi NU untuk mengembalikan spirit perjuangan para pendiri sebagaimana yang diamanatkan dalam Muktamar Ke-32 NU di Makassar, 2010.

Selain bekerja sama dengan organisasi sosial lain, NU bisa menggunakan pesantren sebagai `jantung restorasi Indonesia'. Pesantren menyebar luas di berbagai pelosok desa di Indonesia. Jaringan itu, kalau dimanfaatkan NU, bisa melahirkan gelombang kekuatan rakyat yang sangat menentukan bagi Indonesia. Model-model pragmatisme yang terjadi sekarang ini bisa dibendung kekuatan rakyat sebagai pemilik kekuasaan sejati. Kekuatan rakyat arus bawah bisa meruntuhkan praktik ketidakadilan dan ke sewenangan publik dalam berbagai prak tik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Kehidupan masyarakat di Indonesia yang dikenal dengan budaya gotong-royong dan musyawarah mufakat menjadi modal sosial bagi NU dan ormas sosial dalam membangun kekuatan bersama menggapai solusi kebangsaan. Pemikiran Jhon Stuart Mill menarik dibaca, bahwa demokrasi sebenarnya bukan seutuhnya mengabaikan konsep lokalitas, melainkan sebenarnya bagaimana konsep lokal dikembangkan demi terwujudnya kesejahteraan sosial. Artinya, jaringan sosial dari berbagai masyarakat lokal Indonesia yang mempunyai spirit gotong-royong bisa dikembangkan untuk mewujudkan tatanan publik yang membela kaum bawah, sehingga bisa lahir kesejahteraan dan kemakmuran.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebenarnya pernah melakukan restorasi Indonesia pada akhir 1980-an sampai awal 1990-an sehingga warga NU di berbagai pelosok desa bisa menikmati kemajuan. Kini, setelah Gus Dur wafat, NU harus kembali berjuang bergandengan tangan dengan ormas lain untuk menegakkan Indonesia dan mengupayakan keadilan bagi kaum marginal. Gerakan itulah yang ditunggu bangsa Indonesia. Selamat berjuang, NU!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar