Sabtu, 15 September 2012

Paradigma yang Lancung

Paradigma yang Lancung
Kurnia JR ;  Sastrawan
KOMPAS, 15 September 2012


Hingga kini sebagian masyarakat kita tenggelam dalam paradigma mistik tradisional dan primordial untuk berbagai kebutuhan.

Mereka bertumpu pada kekuatan magis yang tak kasat mata, memuja roh leluhur dengan aneka daya mistik yang diyakini ada, serta meminta ini-itu yang nyaris tak terpenuhi kecuali sebagian kecil saja.

Setelah ditaklukkan dan ditindas selama 3,5 abad oleh daya rasionalisme dan teknologi persenjataan modern Barat, bangsa ini masih tetap asyik dalam ketergantungan pada aspek mistis di hadapan berbagai tantangan. Yang tak dihiraukan adalah kenyataan bahwa aspek tersebut hanya efektif ketika berdampak memerosotkan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan. Dalam kasus tertentu malah mencelakakan fisik ataupun mental yang bersangkutan dan/atau orang(-orang) lain.

Demikianlah yang terjadi pada kalangan tertentu yang jadi klien paranormal ataupun dukun. Dilengkapi perangkat gadget mutakhir serta faksimile dan memanfaatkan media siber, kaum cenayang melayani para klien yang ingin menang dalam pilkada, penghibur di layar kaca yang ingin laris, orang yang ingin kaya mendadak, koruptor yang ingin lolos dari jerat hukum, termasuk pejabat yang berhasrat menjatuhkan pesaingnya guna merebut kursinya. Layar TV jadi salah satu agen yang mengakrabkan rumah tangga di seluruh Indonesia dengan tayangan bertema magis, mistik, horor primordial, dan sejenisnya.

Dari berbagai tayangan di media elektronik ataupun cetak, ada gambaran umum di dunia supranatural bahwa makin demonis niat dan tujuan seseorang demi nafsu harta dan kuasa, kian kuat pula hasrat beserta dampak yang akan menimpa banyak orang. Bahkan, dampak yang instan sekalipun bisa terjadi.

Ketika seseorang sangat bernafsu meraih suatu jabatan, kekuasaan itu pun berlumur citra demonis: kejam dan jahat. Makin dalam terperosok atau terjerat pengaruh demonis, yang bersangkutan pun tidak lagi peka pada rambu-rambu hukum ataupun etika yang lazim melekat pada kekuasaan politik yang rasional-positivistik. Inilah serabut akar-akar kebejatan dalam fenomena sosial-politik negeri ini.

Layanan jasa paranormal menyediakan hasil instan dengan imbalan uang. Para pelanggan mereka adalah kaum munafik atau hipokrit, yang secara serampangan menuding hal-hal yang tak mereka pahami sebagai takhayul dan di muka publik berpose sebagai rasionalis tulen yang cerdas dan pekerja keras.

Berpijak pada Rasionalisme

Kosa kata munafik berasal dari bahasa Arab dan hipokrit dari Barat. Untuk pengertian yang sama, nenek moyang kita memiliki ungkapan ”lain di bibir, lain di hati”. Ungkapan itu tersimpan sebagai khazanah hikmah bersama pepatah, peribahasa, bidal, pantun, dan sebagainya, dilontarkan sebagai pengajaran etika berupa parafrasa, pasemon, perumpamaan, dan lain-lain. Sistem etis ini merefleksikan kehalusan tata krama budaya primordial yang berpijak pada rasionalisme yang tidak menafikan apa yang bisa dimaknai sebagai ”kehadiran roh suci alam”.

Para raja besar berbudi luhur dalam keseharian hidup mereka senantiasa mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta melalui tapa brata, puasa, kedisiplinan menjunjung hukum, moral, dan etika, menjaga rasa malu, serta kewajiban pada rakyat. Dengan menyakralkan hukum, mereka jadi pelopor dan tulang punggung penerapan nasionalisme berbasis kearifan kesadaran lingkungan. Contohnya termaktub dalam Amanat Galunggung yang diterapkan Prabu Guru Dharmasiksa Luluhur Sunda.

Galunggung ialah bumi yang disakralkan, kabuyutan yang disucikan. Raja mewajibkan rakyatnya menjaga kabuyutan dari jamahan tangan-tangan asing. Beliau memandang rendah keturunan yang tidak mempertahankan kabuyutan negerinya. Anak- cucu diwajibkan berbakti kepada leluhur yang mampu mempertahankan kabuyutan pada masanya. Keagungan kabuyutan terpancar berkat peran yang dijaga dengan disiplin moral dan religi.

Hal ini dapat menjelaskan bahwa apa yang disebut ”ilmu putih” dalam bahasa masyarakat kita yang akrab dengan dunia supranatural—yang ekuivalen dengan ”ilmu dari keridaan Ilahi”—tidak bersifat instan dan melekat pada perilaku seseorang yang telah teruji. Sabda Raja Mangkunegara IV, gelmu iku kalakone kanthi laku. Ilmu hanya bisa diraih lewat penghayatan dan amal yang nyata.

Kita mafhum, hubungan agama-negara bukanlah relasi konflik, melainkan relasi harmoni. Asalkan agama dipahami sebagai ketaatan pada nilai ilahiah universal, tidak peduli agama samawi atau bukan. Seorang manusia-pemimpin berkewajiban menyadari dan menempatkan diri sebagai bagian dari alam. Dengan fasilitas kekuasaan di tangannya, dia wajib menunaikan peran selaku wakil Ilahi untuk memelihara harmoni vertikal ataupun horizontal. Pemimpin yang gigih melekatkan dan menyandarkan dirinya lahir batin kepada Penguasa Alam Semesta ditakuti jin-prewangan sebagaimana terkisah dalam wayang, teater rakyat, dan sebagainya. Paranormal penyedia jasa layanan cepat saji tak laku bagi para pemimpin demikian. Rakyat pun teredukasi oleh kepribadian luhur junjungan mereka lewat hikayat, kidung, ataupun parabel.

Penguasa perempuan paling populer dalam hikayat Nusantara adalah Ratu Sima di Jawa Tengah. Konon, di bawah kekuasaannya, tak ada yang berani mencuri barang berharga yang tergeletak di tengah jalan. Kecintaan rakyat pada sang pemimpin menciptakan mitos tentang keindahan. Alkisah, sang ratu terpukau oleh keelokan Telaga Warna dan mandi di sana. Setelah itu, dia terbang dan mendapati pantulan kecantikannya di permukaan danau yang kini bernama Telaga Pengilon (danau cermin) di Dataran Tinggi Dieng.

Legenda kesaktian dan keanggunan adalah hak eksklusif seorang pemimpin sejati, juga wahana bagi kawula alit untuk mengungkapkan kecintaan dan kerinduan setelah sang junjungan turun takhta atau mangkat. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar