Gejolak Buruh
Irwansyah ; Pengajar
Politik Perburuhan Departemen Ilmu Politik UI
|
KOMPAS,
15 September 2012
Media massa akhir-akhir ini
memberitakan fenomena aksi dan gejolak perburuhan di sejumlah daerah industri
yang terus meningkat sejak Januari 2012.
Dinamika aksi dan gejolak
perburuhan tersebut dianggap oleh asosiasi pengusaha sebagai sesuatu yang dapat
memprovokasi investor untuk merelokasi investasi mereka ke luar negeri.
Sementara bagi kalangan buruh, gejolak yang terjadi adalah puncak aspirasi
mereka untuk memperjuangkan penghapusan pekerja alih daya (outsourcing) dan upah murah yang dianggap merugikan hak mereka akan
kepastian kerja dan hidup layak.
Fenomena gejolak aksi-aksi
perburuhan saat ini terjadi bersamaan dengan tren pertumbuhan ekonomi secara
nasional, yang beberapa tahun terakhir cukup tinggi (sekitar 6 persen) di
tengah situasi krisis ekonomi global. Gejolak perburuhan secara perlahan,
tetapi pasti turut meletup pada era Orde Baru, khususnya 1990-an, dengan
berbagai aksi pemogokan berskala kawasan hingga tingkat kota.
Pertumbuhan ekonomi kita tak
disertai pemerataan kesejahteraan. Ketidaksetaraan antar-lapisan sosial cukup
mencolok, seperti dikomentari peraih Nobel Ekonomi 2007, Erik Maskin. Dalam
kunjungannya ke Indonesia, Maskin menyoroti nasib buruh di kelas terbawah yang
mengalami tekanan persaingan pasar tenaga kerja yang sangat kompetitif.
Sistem kerja kontrak alih
daya dan politik upah murah adalah karakteristik umum yang dikesankan jadi
prasyarat keunggulan dan pertumbuhan dalam relasi kita dengan globalisasi.
Padahal, bila kita kembali
ke observasi Maskin—juga oleh Kaushik Basu, guru besar ekonomi asal
Cornell—justru ditemukan, globalisasi
adalah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Terutama di
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena menaikkan pendapatan
rata-rata, tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan.
Solusi di Tingkat Lokal
Latar dari pertumbuhan yang
menghasilkan kesenjangan dan juga fondasi dari gejolak perburuhan dewasa ini
ada di tingkat lokal. Kompetisi di pasar tenaga kerja berlangsung dalam konteks
desentralisasi sebagai model kekuasaan yang diterapkan dalam hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah pada masa pasca-otoriterisme.
Akibatnya, keterlibatan
negara didorong agar ”berkurang” dalam politik perburuhan, dengan melimpahkan
tanggung jawab untuk membereskan konflik yang selalu terjadi dalam hubungan industrial
kepada pemerintah lokal. Struktur kesempatan politik yang tersedia saat ini
memberikan ruang bagi mobilisasi lebih leluasa buruh untuk berpolitik
menggunakan metode bersifat direct action.
Aksi massa, gangguan
terhadap proses produksi di kawasan industri dan sekitarnya cenderung
memperkuat posisi politik mereka ketimbang harus bergantung pada partai dan
politisi yang cenderung dikuasai oligarki di tingkat lokal. Karakter industri
yang melayani mata rantai ekonomi global mengakibatkan ”rasa kepemilikan” para
oligarki juga relatif terbatas.
Gejolak perburuhan semakin
meluas juga akibat tidak lagi tersedia kesempatan legal menggunakan represi dan
keterlibatan aparat militer dalam penyelesaian masalah industrial, seperti yang
menjadi andalan rezim otoriter Orde Baru.
Kesenjangan kesejahteraan
yang bertemu tekanan hidup yang sangat kompetitif menjadi faktor di tingkat
tiap lokal daerah industri. Gerakan yang mengikuti alur desentralisasi ini
menjadi terhubung dan relatif terkoordinasi antardaerah akibat tren upah yang
relatif setara bila diperhitungkan dengan beban biaya hidup antarkota yang
turut memengaruhi besar upah riil pekerja. Antardaerah dalam kerangka kompetisi
telah bersaing untuk menekan upah buruhnya, tetapi hasilnya justru kondisi yang
relatif setara karena biaya hidup juga tinggi di daerah-daerah yang lebih
tinggi upah rata-ratanya. Biaya hidup yang lebih tinggi adalah buah pertumbuhan
ekonomi yang cukup besar ditopang konsumsi domestik. Ekspektasi hidup layak
mendorong motivasi lebih besar buruh menuntut perbaikan kesejahteraan.
Arena utama politik hubungan
industrial secara faktual beralih ke tingkat lokal. Di sanalah terjadinya
gejolak-gejolak perburuhan yang berakar dari tingkat perusahaan hingga
terbangunnya berbagai jaringan dan aliansi serikat buruh yang selama ini
menginisiasi aksi-aksi secara teritorial. Sementara di sisi pengusaha,
kepentingan yang diutamakan adalah pencarian profit dari kompetisi yang
mengandalkan keunggulan komparatif: buruh murah dan fleksibilitas tenaga kerja.
Negara ”terpecah” posisinya akibat latar desentralisasi yang di satu sisi
mengalihkan urusan kepada pemerintah daerah, tetapi masih banyak regulasi dan
mekanisme perburuhan yang bersifat nasional. Situasi unik terjadi ketika
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan yang dapat diinterpretasikan sebagai
penolakan kepada sistem kerja kontrak dan alih daya.
Minimnya ruang demokratis
untuk penyelesaian perselisihan di tingkat lokal menjadi masalah, tetapi juga
seharusnya menjadi titik tolak solusi yang efektif.
Perubahan latar politik
perburuhan harusnya memberikan lebih besar lagi insentif bagi pemerintah daerah
dan pelaku-pelaku politik lainnya untuk mendorong demokratisasi yang lebih lagi
dalam menangani hubungan industrial. Tidak bisa lagi hanya bergantung pada
mekanisme rutin tripartit, seperti penetapan upah tahunan saja.
Pemimpin asosiasi pengusaha
di tingkat pusat juga harus mengubah strategi keterlibatan yang lebih proaktif
dalam memajukan musyawarah, mulai tingkatan perusahaan paling bawah hingga
secara teritorial.
Tidak bertemunya praktik
deliberasi (musyawarah) yang komprehensif dari unsur-unsur dalam politik
hubungan industrial di tingkat lokal mengakibatkan pilihan metode perjuangan
tuntutan dalam bentuk aksi langsung: demo!
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar