Kembali ke Indonesia 1945
Said Aqil Siradj ; Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS,
15 September 2012
Ini anugerah dari Tuhanku, untuk mengujiku
apakah aku mensyukurinya atau mengingkarinya.
Nusantara ialah keajaiban. Menatap luas laut
dan daratan dalam dimensi ruang saja sudah membuat kita tertegun. Dari arah
terbit matahari Merauke hingga terbenam di langit Sabang, terpencar ribuan
pulau dan arus samudra.
Bila tatapan terhadap luas Nusantara itu
diulur dalam dimensi waktu, kita pun akan bergetar. Betapa ratusan juta orang
dengan beragam perbedaan khazanah hidup bisa terangkai dalam dan atas nama
Indonesia. Dari waktu ke waktu, ratusan juta orang itu jatuh-bangun dalam
proses panjang menjadi ”Manusia Indonesia”.
Apa
gerangan yang mengalasi kesatuan Indonesia? Inilah pertanyaan
yang menarik banyak pihak untuk menjawabnya.
Jawaban atas pertanyaan itu muncul dalam
banyak hasil riset ataupun refleksi. Telah begitu jelas bahwa membayangkan
Indonesia nyaris mustahil tanpa sekaligus mengandaikan Pancasila.
Tak hanya sebagai dasar dan ideologi negara
yang berhilir pada tertib tata negara, Pancasila menjelma sebagai falsafah
hidup yang memungkinkan warga bangsa menyelenggarakan tertib sosial-budaya.
Nah, jika wilayah Nusantara saja sering disebut sebagai penggalan surga (qit’ah min al jannah), bukankah
Indonesia dan Pancasila lantas ialah anugerah yang sungguh besar tak terkira?
Pancasila adalah Asas
Dalam berusaha mensyukuri anugerah itu,
Nahdlatul Ulama (NU) selalu bersikap tegas. Sebagaimana disepakati dan
diserukan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Situbondo 1983, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 merupakan
bentuk final. NU tak ragu mengambil pilihan sejarah sebagai perintis ormas
keagamaan yang menempatkan Pancasila sebagai asas.
Tahun 1992, sikap tegas itu dikukuhkan lagi
melalui Rapat Akbar Kesetiaan pada Pancasila. Saat itu pula NU mendorong negara
untuk memperkuat kekuatan militer dan badan intelijen demi kedaulatan nasional.
Sebagai tanggung jawab atas nikmat kemerdekaan, mempertahankan Republik hasil
Proklamasi dengan biaya berapa pun adalah keniscayaan.
Namun, setiap anugerah selalu datang dengan
disertai ujian. Ayat yang saya kutip di atas menegur manusia yang
berkecenderungan lupa dan ingkar atas segala bentuk nikmat dan karunia.
Padahal, rasa syukur penting artinya untuk menjaga kontinuitas sejarah bangsa
ini.
Allah bersabda, siapa yang bersyukur akan
bertambah nikmatnya. Akan tetapi, siapa yang mengingkari nikmat Allah
sesungguhnya akan mendapat siksa yang amat pedih. Dalam konteks kebangsaan,
jika kita bersyukur, nikmat keindonesiaan akan terus dilipatgandakan. Jika
diingkari, balasannya adalah azab yang amat pedih. Azab itu bisa berupa bencana
alam hingga bencana sosial, politik, dan ekonomi.
Kembalikan Pancasila
Hari-hari ini, istilah Pancasila bagi
sebagian pihak mungkin terasa hambar diucapkan. Pada satu sisi, masih ada
konotasi tirani dalam frasa Pancasila. Selama tiga dekade, Pancasila diperalat
sedemikian rupa oleh rezim diktator guna membungkam suara-suara kritis secara
represif. Di sisi lain, kini, ketika kebebasan seolah dirayakan, Pancasila
justru acap dilukai dan diancam.
Bagi sebagian yang lain, Pancasila mungkin
dianggap biasa-biasa saja meski bagi bangsa lain Pancasila sering dianggap
sebagai temuan dan capaian luar biasa.
Kehambaran atas Pancasila diperparah dengan
tumbuhnya sejumlah ideologi ekstrem yang berwatak subversif. Jika dibiarkan,
para ekstremis bisa saja memerosokkan negeri ini dalam konflik yang
berkepanjangan atas nama agama.
Di sisi lain, sejumlah kelompok yang
berhaluan liberal, dengan dalih kebebasan, berusaha melonggarkan aturan dan
tata tertib kenegaraan, termasuk menggerogoti kekuatan TNI dan membatasi gerak
badan intelijen. Kelompok liberal tidak terlalu peduli pada ancaman keamanan
nasional, sesuatu yang justru mendasar dalam politik kenegaraan dan kebangsaan.
Cuaca keindonesiaan memang sedang
ditarik-tarik secara ekstrem dari kiri-kanan. Terhadap itu semua, NU memilih
berbeda pendirian. NU tetap istiqamah dengan pendirian tawasuth (moderat).
Posisi moderat sejak awal dipilih oleh NU, antara lain, sebagai praksis politik
kenegaraan dan kebangsaan. Posisi moderat memungkinkan NU untuk bersikap kritis
sekaligus akomodatif, sepanjang orientasi akhirnya adalah kemaslahatan umat.
Karena itulah, selama 14-17 September, Munas
Alim Ulama dan Konferensi Besar NU akan membahas sejumlah hal mendesak yang
berkaitan dengan undang-undang yang berpotensi merugikan kemaslahatan rakyat.
Di antaranya seperti UU Minyak dan Gas, UU Penanaman Modal Asing, UU Air, dan
UU Sistem Pendidikan Nasional. Akan dibahas pula tema-tema semacam praktik risywah (suap) dalam politik, hukuman
bagi koruptor, hingga hukum mengenai ekonomi kerakyatan. Tentu semuanya ini
didasari pamrih guna menjaga keutuhan NKRI dan kelestarian Pancasila. Muara
akhirnya adalah mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Penegasan sikap NU terhadap ideologi
Pancasila dan moderat dalam berbangsa ini telah dipraktikkan para ulama NU
terdahulu. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari
mengeluarkan fatwa jihad menghadapi
agresi Belanda sehingga dikenal sebagai Hari Pahlawan. Artinya, sikap tegas
dalam membela negara telah ditunjukkan oleh ulama sejak awal kemerdekaan. Ketika
ideologi negara mendapat ancaman, NU berusaha kembali menunjukkan sikap tegas.
Kehadiran belasan undang-undang yang terlalu liberal tidak saja makin
menjauhkan kesejahteraan dari rakyat, yang—diakui atau tidak—sebagian besar
adalah warga NU, juga membuat kedaulatan negara semakin terkikis.
Kembali ke Khitah
Maka, dalam perhelatan yang digelar di
Pesantren Kempek Cirebon ini, NU mengangkat tema ”Kembali ke Khittah Indonesia 1945”. NU mengajak kembali pada
semangat Proklamasi untuk membangun Indonesia yang merdeka dan berdaulat.
Kembali pada nilai-nilai luhur Pancasila dan juga kembali pada amanat Mukadimah
UUD 1945.
Dari situ pula NU mengajak semua pihak
mengevaluasi proses perjalanan bangsa ini. NU setuju kebebasan perlu dibuka
agar muncul kreativitas dan tanggung jawab. Kebebasan bukan untuk memberikan
ruang kebebasan kepada kelompok subversif, entah yang fundamentalis maupun
liberal. NU tidak bersikap sangat tertutup (eksklusif), tetapi juga tidak
terlalu terbuka (permisif). Terhadap kebebasan, terdapat kaidah fikih yang bisa
jadi pedoman, yaitu mendahulukan upaya mencegah kerusakan ketimbang meraih
kebaikan.
Akhirul
kalam, sekali lagi, terhadap
nikmat keindonesiaan ini, semoga kita digolongkan sebagai kaum yang pandai
bersyukur, bukan faksi yang berlaku kufur.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar