Pangan dan
Pemerdekaan
Fransiscus Welirang ; Pelaku
Usaha dan Peminat Masalah-Masalah Sosial
|
KOMPAS
, 05 September 2012
Membaca Tajuk Rencana Kompas
(24/8) dan mencermati fluktuasi harga pangan akhir-akhir ini, ingatan saya
terseret pada pemikiran Bung Karno tentang Trisakti. Indonesia merdeka berarti
berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di
bidang kebudayaan.
Dalam perspektif sempit,
sebagai pelaku usaha sektor makanan, penulis berpendapat, tanpa kemandirian di
bidang pangan, rasanya mustahil Indonesia bisa melalui jembatan emas
kemerdekaan untuk menuju kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan
kepribadian kebudayaan. Dalam bahasa lain, kemandirian pangan adalah fondasi
dasar menuju pemerdekaan sejati bangsa.
Kemandirian pangan tak harus
diartikan secara absolut, yaitu seluruh kebutuhan dipenuhi dari produksi dalam
negeri. Dalam batas-batas rasional dan terukur, impor pangan masih bisa
diterima, apalagi ketika keadaan diprediksi kritis. Kemandirian pangan juga
berarti mengembalikan diversifikasi pangan lokal, baik berasal dari
biji-bijian, kacang-kacangan, terutama umbi-umbian; serta mencipta budaya
pangan baru berbasis tepung.
Penguatan Struktur Basis
Terlepas dari perdebatan
atas fokus kebijaksanaan pembangunan pertanian yang sering dituding condong
pada sisi produksi daripada subyeknya (petani), saya berkesimpulan, penguatan
struktur basis merupakan energi inti dari kemandirian pangan. Pandangan ini
bukan berarti mengabaikan perangkat suprastruktur, seperti perundang-undangan,
tetapi gerak dan infrastruktur di lapangan adalah pilar kokoh menuju kedaulatan
dan kemandirian pangan.
Sehubungan dengan itu, sejak
era Reformasi secara umum kita cenderung abai pada urusan irigasi dan gerakan
pengembalian budaya pangan lokal. Masalah ini boleh disebut tak pernah muncul
dalam perdebatan para politisi. Ketika terjadi krisis komoditas pangan
tertentu, seperti padi dan kedelai, mereka umumnya mengajukan jalan keluar
instan: membuka lahan pertanian.
Di sini, bukan saja variabel
waktu dan pola tanam yang diabaikan, melainkan juga ketersediaan irigasi dan
bibit. Seakan- akan lahan itu langsung bisa ditanami dan panen segera setelah
keputusan politik diambil. Padahal, pertanian bukanlah industri manufaktur. Dia
siklus hidup yang rentan dan bergantung pada perubahan iklim, serangan hama,
kualitas tanah, varietas bibit yang tahan perubahan, dan perlakuan orang yang
menanamnya.
Sejauh ini, fakta
menunjukkan banyak saluran irigasi rusak atau malah sudah tertimbun tanah. Juga
tak tumbuh gerakan masif pengembalian budaya pangan lokal dan sertifikasi
varietas bibit dalam negeri. Hipotesis saya, pengabaian tersebut berpangkal
dari jebakan politik kekuasaan. Seluruh kelompok strategis di daerah lebih
tertarik pada karnaval politik dan kontestasi kekuasaan untuk memperebutkan
jabatan gubernur atau bupati/wali kota daripada menentukan masa depan warganya
atas dasar sumber daya lokal yang mereka miliki.
Dalam konteks itu, problem
yang muncul bukan sekadar hubungan kurang harmonis antara pusat dan daerah,
melainkan juga relasi di dalam daerah itu sendiri. Pemerintah kabupaten,
misalnya, karena terjebak pada relasi kekuasaan vertikal dan pencitraan politik
kemajuan pembangunan, tanpa sadar melupakan persoalan desa. Mereka lebih
tertarik membangun gedung hiburan dan pusat olahraga daripada mengurus irigasi
dan pembudayaan produk pangan lokal. Pengorganisasian petani dan penyuluh
pertanian pun dilupakan.
Padahal, tanpa pemeliharaan
infrastruktur dan gerakan di struktur basis tersebut, mustahil terjadi
revitalisasi pangan lokal dan melembaganya budaya pangan baru yang berbasis
tepung. Pendek kata, tanpa penguatan struktur basis itu, kemandirian pangan
akan semakin menjauh.
Akibatnya bukan saja
pemerdekaan masyarakat tak terwujud, stabilitas politik pun bisa terancam
setiap saat karena rakyat lapar. Ini disebabkan, meminjam istilah Mahatma
Gandhi, ”Bagi orang yang kelaparan, roti adalah Tuhan. Karena itu harus
tersedia di setiap rumah.” Dalam konteks Indonesia, tanpa sepotong singkong dan
semangkuk tepung di rumah, pemberontakan rakyat bisa meletus kapan saja.
Catatan Penutup
Sebagai negara subtropis,
apabila Republik mengurangi karnaval politik dan kontestasi kekuasaan serta
praksis demokrasi difokuskan pada gerakan struktur basis bidang pertanian, saya
yakin Indonesia akan mampu memberi makan dunia. Sebaliknya, bila terus terjebak
pada semata-mata kebebasan berekspresi, kita akan jadi beban dunia.
Oleh karena itu, menguatnya
pemikiran penyatuan pemilu eksekutif dan legislatif, misalnya, merupakan
langkah awal yang baik bagi kematangan demokrasi nasional. Langkah politik ini
diharapkan mendorong fokus para politisi dan kelompok strategis pada upaya
kemandirian pangan nasional. Dengan demikian, seluruh rakyat akan tersenyum dan
merasa merdeka. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar