Keanggotaan
Komnas HAM
Usman Hamid ; Aktivis Kontras
|
KOMPAS
, 05 September 2012
Dua hari berturut-turut
halaman depan media massa memberitakan terancam bubarnya Komnas HAM. Atas
sorotan itu, lalu Presiden SBY mengambil keputusan memperpanjang masa jabatan
keanggotaan Komnas HAM. Apakah lalu persoalan ancaman bubarnya Komnas HAM
menjadi selesai dan tak ada lagi kegentingan?
Kita perlu memaknai
keputusan Presiden tersebut setidaknya dalam tiga kerangka titik pandang:
institusional, legal, dan konstitusional. Pertama, kerangka institusional.
Komnas HAM menyatakan telah mengirim surat ke DPR pada Juni 2012. Mantan Ketua
Panitia Seleksi Jimmly Asshiddiqie juga menyatakan telah menghubungi dan memberitahukan
pimpinan DPR pada saat panitia seleksi masih melaksanakan tugasnya.
Sebaliknya, pimpinan DPR
menilai Komnas HAM kurang memperhatikan masa reses DPR. Mereka berkelit baru
menerima surat pada bulan Agustus. Surat yang dikirimkan Komnas HAM juga
dinilai sebatas permohonan pertemuan, kurang informatif, sehingga luput dari
perhatian Komisi III DPR.
Dari istana, Juru Bicara
Kepresidenan berkelit belum bisa menerbitkan keputusan karena Menko Politik,
Hukum, dan Keamanan sedang berada di luar negeri. Pernyataan ini sempat
memberikan kesan bahwa seorang presiden tidak bisa mengambil keputusan kecuali
menunggu kembalinya menteri itu.
Gambaran ini menunjukkan
telah terjadi kelalaian dalam komunikasi dan koordinasi institusional antara
Komnas HAM, DPR, dan Presiden. Seolah-olah ini pertama kali Komnas HAM memasuki
masa akhir jabatan keanggotaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Kedua, kerangka legal.
Berbeda dengan periode 1993-1999, Komnas HAM tak lagi berlandaskan sebuah
keputusan presiden. Komnas HAM adalah lembaga negara yang independen, yang
dibentuk oleh UU No 39/1999. Bahkan, Komnas HAM telah punya wewenang
penyelidikan proyustisia berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Artinya, hasil penyelidikan Komnas HAM bisa digunakan sebagai alat bukti awal
Jaksa Agung untuk menyidik serta menuntut di Pengadilan HAM, termasuk
Pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa
yang terjadi sebelum UU tersebut disahkan.
Masalah muncul ketika kedua
UU ini tidak mengatur ketentuan tentang perpanjangan masa jabatan keanggotaan
Komnas HAM, termasuk melalui keputusan presiden. Kondisi ini serupa dengan
berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi Yudisial yang pengangkatannya
ditetapkan pada 2 Juli 2010 dan mengucapkan sumpah/janji pada 2 Agustus 2010.
Perbedaannya adalah perpanjangan masa jabatan keanggotaan KY ditempuh setelah
ada rapat konsultasi antara Presiden dan DPR pada 14 Juli 2010, sementara pada
kasus Komnas HAM hanya berupa surat dari pimpinan DPR.
Pendapat yang mengemuka: Presiden
harus memperpanjangnya dengan menerbitkan sebuah peraturan pengganti
undang-undang (perppu) atau keputusan presiden. Perpanjangan yang hanya melalui
keputusan Presiden dan khawatir tindakan institusionalnya akan digugat,
terutama oleh sejumlah hakim yang tengah disorot KY, membuat KY bersikap pasif
hingga keanggotaan baru dilantik. Pengalaman ini bisa terulang pada Komnas HAM.
Ketiga, kerangka
konstitusional. Titik pandang ini membawa kita pada ketentuan Pasal 22 UUD 1945
dan Pasal 28 I Ayat 4 UUD 1945. Pasal mengatur bahwa Presiden berwenang untuk
menerbitkan perppu dalam suatu kegentingan yang memaksa. Kegentingan yang
memaksa di sini tak berarti selalu harus merupakan keadaan bahaya, seperti
dipahami pada era Orde Baru.
Kegentingan Memaksa
Merujuk putusan Mahkamah
Konstitusi pada 2009, setidaknya ada tiga kriteria kegentingan yang memaksa.
Pertama, adanya keadaan tertentu, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, kekosongan hukum tersebut tak
dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena perlu waktu
yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.
Sorotan publik yang
tergambar dalam pemberitaan media massa adalah satu kondisi kegentingan memaksa
sendiri. Kegentingan ini jelas dipicu oleh tenggat jabatan Komnas HAM berakhir
30 Agustus 2012. Selain itu, banyak juga kasus pelanggaran HAM yang tengah
ditangani oleh Komnas HAM dan belum selesai. Masyarakat amat membutuhkan
peranan Komnas HAM, terutama masyarakat yang saat ini menunggu hasil
penyelidikan atau yang saat ini tengah mengalami kesusahan akibat pelanggaran
HAM.
Jadi, perppu dibutuhkan.
Selain karena tidak ada lagi dasar hukum yang tersedia untuk menghadapi situasi
berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komnas HAM, perppu semestinya menjadi
solusi karena kondisi sekarang ini sudah dapat dikategorikan sebagai kondisi
kegentingan yang memaksa. Tafsir atas kegentingan memaksa ini merupakan tafsir
subyektif dari Presiden atas tiga kriteria tersebut.
Dengan begitu, Presiden
seyogianya menerbitkan perppu untuk menyediakan payung hukum yang tak
disediakan oleh UU No 39/1999, termasuk karena status keppres lebih rendah
daripada UU dan karena itu tak bisa menyimpangi peraturan perundang-undangan
yang berada di atasnya. Dengan perppu, Presiden dan DPR juga terbantu menebus
kelalaian karena tak melaksanakan UU secara konsekuen.
Terakhir, yang jauh lebih
penting adalah nasib dan prospek penyelesaian hasil-hasil penyelidikan Komnas
HAM. Bukan sekadar apakah jabatan keanggotaan Komnas HAM itu berlanjut atau
tidak. Namun, apakah dengan perpanjangan masa jabatan ini berarti mereka bisa
mengambil tindakan-tindakan strategis?
Kita berharap, kiprah Komnas
HAM tidak surut. Tantangan ke depan kian tak bisa diprediksi. Keberadaan Komnas
HAM, apalagi perpanjangan masa jabatan keanggotaan itu, tak ada artinya jika
hasil-hasil kerja Komnas HAM hanya disimpan di laci meja Presiden dan DPR.
Lalu, di setiap akhir masa jabatan keanggotaannya kita tersadar tentang pentingnya
Komnas HAM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar