Kamis, 06 September 2012

Keanggotaan Komnas HAM


Keanggotaan Komnas HAM
Usman Hamid ;  Aktivis Kontras
KOMPAS , 05 September 2012


Dua hari berturut-turut halaman depan media massa memberitakan terancam bubarnya Komnas HAM. Atas sorotan itu, lalu Presiden SBY mengambil keputusan memperpanjang masa jabatan keanggotaan Komnas HAM. Apakah lalu persoalan ancaman bubarnya Komnas HAM menjadi selesai dan tak ada lagi kegentingan?

Kita perlu memaknai keputusan Presiden tersebut setidaknya dalam tiga kerangka titik pandang: institusional, legal, dan konstitusional. Pertama, kerangka institusional. Komnas HAM menyatakan telah mengirim surat ke DPR pada Juni 2012. Mantan Ketua Panitia Seleksi Jimmly Asshiddiqie juga menyatakan telah menghubungi dan memberitahukan pimpinan DPR pada saat panitia seleksi masih melaksanakan tugasnya.

Sebaliknya, pimpinan DPR menilai Komnas HAM kurang memperhatikan masa reses DPR. Mereka berkelit baru menerima surat pada bulan Agustus. Surat yang dikirimkan Komnas HAM juga dinilai sebatas permohonan pertemuan, kurang informatif, sehingga luput dari perhatian Komisi III DPR.

Dari istana, Juru Bicara Kepresidenan berkelit belum bisa menerbitkan keputusan karena Menko Politik, Hukum, dan Keamanan sedang berada di luar negeri. Pernyataan ini sempat memberikan kesan bahwa seorang presiden tidak bisa mengambil keputusan kecuali menunggu kembalinya menteri itu.

Gambaran ini menunjukkan telah terjadi kelalaian dalam komunikasi dan koordinasi institusional antara Komnas HAM, DPR, dan Presiden. Seolah-olah ini pertama kali Komnas HAM memasuki masa akhir jabatan keanggotaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kedua, kerangka legal. Berbeda dengan periode 1993-1999, Komnas HAM tak lagi berlandaskan sebuah keputusan presiden. Komnas HAM adalah lembaga negara yang independen, yang dibentuk oleh UU No 39/1999. Bahkan, Komnas HAM telah punya wewenang penyelidikan proyustisia berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Artinya, hasil penyelidikan Komnas HAM bisa digunakan sebagai alat bukti awal Jaksa Agung untuk menyidik serta menuntut di Pengadilan HAM, termasuk Pengadilan HAM ad hoc untuk peristiwa yang terjadi sebelum UU tersebut disahkan.

Masalah muncul ketika kedua UU ini tidak mengatur ketentuan tentang perpanjangan masa jabatan keanggotaan Komnas HAM, termasuk melalui keputusan presiden. Kondisi ini serupa dengan berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi Yudisial yang pengangkatannya ditetapkan pada 2 Juli 2010 dan mengucapkan sumpah/janji pada 2 Agustus 2010. Perbedaannya adalah perpanjangan masa jabatan keanggotaan KY ditempuh setelah ada rapat konsultasi antara Presiden dan DPR pada 14 Juli 2010, sementara pada kasus Komnas HAM hanya berupa surat dari pimpinan DPR.

Pendapat yang mengemuka: Presiden harus memperpanjangnya dengan menerbitkan sebuah peraturan pengganti undang-undang (perppu) atau keputusan presiden. Perpanjangan yang hanya melalui keputusan Presiden dan khawatir tindakan institusionalnya akan digugat, terutama oleh sejumlah hakim yang tengah disorot KY, membuat KY bersikap pasif hingga keanggotaan baru dilantik. Pengalaman ini bisa terulang pada Komnas HAM.

Ketiga, kerangka konstitusional. Titik pandang ini membawa kita pada ketentuan Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 28 I Ayat 4 UUD 1945. Pasal mengatur bahwa Presiden berwenang untuk menerbitkan perppu dalam suatu kegentingan yang memaksa. Kegentingan yang memaksa di sini tak berarti selalu harus merupakan keadaan bahaya, seperti dipahami pada era Orde Baru.

Kegentingan Memaksa

Merujuk putusan Mahkamah Konstitusi pada 2009, setidaknya ada tiga kriteria kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan tertentu, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, kekosongan hukum tersebut tak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena perlu waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Sorotan publik yang tergambar dalam pemberitaan media massa adalah satu kondisi kegentingan memaksa sendiri. Kegentingan ini jelas dipicu oleh tenggat jabatan Komnas HAM berakhir 30 Agustus 2012. Selain itu, banyak juga kasus pelanggaran HAM yang tengah ditangani oleh Komnas HAM dan belum selesai. Masyarakat amat membutuhkan peranan Komnas HAM, terutama masyarakat yang saat ini menunggu hasil penyelidikan atau yang saat ini tengah mengalami kesusahan akibat pelanggaran HAM.

Jadi, perppu dibutuhkan. Selain karena tidak ada lagi dasar hukum yang tersedia untuk menghadapi situasi berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komnas HAM, perppu semestinya menjadi solusi karena kondisi sekarang ini sudah dapat dikategorikan sebagai kondisi kegentingan yang memaksa. Tafsir atas kegentingan memaksa ini merupakan tafsir subyektif dari Presiden atas tiga kriteria tersebut.

Dengan begitu, Presiden seyogianya menerbitkan perppu untuk menyediakan payung hukum yang tak disediakan oleh UU No 39/1999, termasuk karena status keppres lebih rendah daripada UU dan karena itu tak bisa menyimpangi peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya. Dengan perppu, Presiden dan DPR juga terbantu menebus kelalaian karena tak melaksanakan UU secara konsekuen.

Terakhir, yang jauh lebih penting adalah nasib dan prospek penyelesaian hasil-hasil penyelidikan Komnas HAM. Bukan sekadar apakah jabatan keanggotaan Komnas HAM itu berlanjut atau tidak. Namun, apakah dengan perpanjangan masa jabatan ini berarti mereka bisa mengambil tindakan-tindakan strategis?

Kita berharap, kiprah Komnas HAM tidak surut. Tantangan ke depan kian tak bisa diprediksi. Keberadaan Komnas HAM, apalagi perpanjangan masa jabatan keanggotaan itu, tak ada artinya jika hasil-hasil kerja Komnas HAM hanya disimpan di laci meja Presiden dan DPR. Lalu, di setiap akhir masa jabatan keanggotaannya kita tersadar tentang pentingnya Komnas HAM. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar