Jembatan Selat
Sunda
Daniel Mohammad Rosyid ; Guru
Besar Teknik Kelautan ITS Surabaya
|
KOMPAS
, 05 September 2012
Pemerintahan SBY tampaknya
sungguh-sungguh bermaksud membangun jembatan sepanjang 35 kilometer melintasi
Selat Sunda. Gagasan membangun itu sudah lama diwacanakan, bahkan sejak Bung
Karno dan kemudian Habibie.
Adalah Guru Besar ITB
Wiratman yang menjadi arsitek proyek jembatan monumental tersebut. Paling
tidak, ada dua tujuan yang hendak dicapai melalui proyek raksasa ini. Pertama,
mendorong perkembangan ekonomi kawasan Sumatera. Kedua, sebagai simbol
penguasaan teknologi anak negeri.
Menteri Keuangan dan Menteri
Perindustrian terakhir mengatakan, proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) hanya
layak jika menjadi satu kesatuan dengan pengembangan kawasan sekitar kaki
jembatan di Banten dan Lampung.
Sebenarnya ada pelbagai hal
yang perlu dipertimbangkan, dari nilai studi kelayakan lebih dari satu triliun
rupiah, proyek yang mencapai Rp 180 triliun, waktu pembangunan 10 tahun, hingga
tingkat efektivitasnya.
Belum Terbukti
Tidak ada bukti empiris di
dunia bahwa jembatan antarpulau memberikan manfaat ekonomi regional setelah
pembangunan jembatan selesai. Ini berbeda dengan jembatan pelintas sungai yang
manfaatnya terbukti signifikan. Pengalaman jembatan Suramadu menunjukkan
terjadinya penyedotan sumber-sumber daya ekonomi Madura ke Jawa
Timur.
Madura dengan prasarana yang
masih terbatas memang bukan tujuan investasi yang menarik. Terjadi juga
pemindahan kepemilikan tanah dari orang Madura kepada orang Jawa Timur. JSS pun
akan mempercepat fenomena serupa di kawasan Lampung dan sekitarnya.
Untuk mendorong kegiatan
ekonomi Sumatera dan mengonsolidasikan pasar di Sumatera, yang dibutuhkan
adalah investasi infrastruktur di dalam Pulau Sumatera. Ini bisa berupa jalur
rel ganda atau tol lintas Sumatera untuk menggantikan jalan lintas Sumatera
yang amburadul dan menghubungkan jalur rel dan tol tadi ke pelabuhan-pelabuhan
di Sumatera. Juga perlu dibangun infrastruktur listrik. Madura juga membutuhkan
investasi serupa.
Dari perspektif risiko, JSS
membawa dua masalah besar. Risiko pertama lazim untuk megaproyek semacam ini,
yaitu keuangan. Pembandingnya adalah Euro Tunnel, terowongan bawah laut yang
menghubungkan Inggris-Perancis sepanjang 50 km. Ada risiko pembengkakan biaya
atau cost overrun dan rugi. Biaya pembangunan Euro Tunnel membengkak dari
perkiraan Rp 220 triliun menjadi Rp 450 triliun! Lama pembangunan pun molor
hingga delapan tahun.
Begitu dibangun, megaproyek
JSS menuntut untuk diselesaikan. Sungguh akan mempermalukan pemerintah jika
berhenti di tengah jalan dan menjadi monumen kegagalan. Sampai hari ini
operator Euro Tunnel merugi dan disubsidi sehingga membebani perekonomian
Inggris.
Kapasitas JSS tidak bisa
diubah banyak begitu spesifikasinya ditentukan dan selesai dibangun. Jika
dirancang untuk 100 tahun ke depan, kapasitas ini mungkin baru akan tercapai
penuh 20-30 tahun ke depan. Artinya sebelum mencapai kapasitasnya, jembatan
akan beroperasi merugi. Beda dengan feri yang kapasitasnya mudah diubah
mengikuti kebutuhan, yaitu dengan mengganti armada yang lebih besar dan lebih
cepat atau menambah unit kapal.
Risiko kedua adalah risiko
teknologi. JSS dengan teknologi jembatan gantung (suspension bridge) akan
dibagi menjadi beberapa segmen dengan segmen terpanjang mencapai hampir 3.000
meter, terpanjang di dunia. Namun, medan Selat Sunda akan menjadi medan
terburuk kontraktor jembatan mana pun di dunia. Kedalaman, arus laut, angin,
aktivitas tektonik maupun vulkanik Gunung Krakatau membuat tantangan
perancangan JSS jauh di luar pengalaman para ahli dunia sekali pun.
Kriteria perancangan harus
memperhatikan beban angin sekaligus beban gempa. Risiko muncul dari kesalahan
desain, kesalahan konstruksi, dan kesalahan operasi, termasuk perawatan. Kita
tahu bahwa komitmen pemeliharaan kita lemah: bisa membangun, tetapi tidak bisa
merawat dan mengelola.
Tantangan Alam
Risiko operasional yang lain
adalah jika terjadi kecelakaan atau mobil mogok di atas JSS. Jika kecepatan
angin sekitar jembatan melebihi 40 km/jam, jembatan mungkin terpaksa ditutup.
Agar JSS nyaman, dibutuhkan penerangan cukup. Saya lebih memilih duduk
istirahat minum kopi hangat sambil menikmati live music di feri daripada
tergesa menyeberang dengan mobil di atas laut pada malam hari, belum lagi jika
hujan dan angin selama 30 menit lebih! Saya yakin bahwa para insinyur dan
arsitek perencana JSS ataupun investor belum memikirkan skenario operasional
psikologis seperti ini.
Secara paradigmatik, JSS
adalah konsep yang keliru. JSS dibutuhkan jika Selat Sunda kering tanpa air
laut. Air laut di Selat Sunda justru membuat kontur dasar laut yang rumit
menjadi rata. Air laut itu adalah jembatan tak berhingga yang menghubungkan
Banten dan Lampung. Jadi, yang dibutuhkan adalah kapal penyeberangan maju
dengan jumlah dan spesifikasi yang lebih cocok, serta sarana dermaga di sisi
Lampung dan Banten yang lebih memadai.
JSS adalah lame duck,
sasaran empuk bagi ancaman teror, dan mudah diganggu oleh aksi-aksi anarkistis
oleh kelompok-kelompok garis keras ataupun yang ingin memaksakan kehendak
dengan menutup paksa mulut jembatan. Armada feri maju memberikan solusi yang
lebih luwes dan terus bergerak sehingga lebih sulit menjadi sasaran teror
ataupun aksi anarkistis.
Selat Bukan Sungai
Secara topologis, JSS adalah
konsep yang gagal membedakan antara sungai dan selat. Jembatan hanya berguna di
ruang cekung yang dibentuk oleh sungai. Dua pulau tidak membentuk ruang cekung.
Bahkan dengan membangun jembatan yang menghubungkan kedua pulau itu, justru
terbentuk ruang baru yang cekung. Artinya, membangun jembatan antarpulau justru
menimbulkan masalah jarak bagi banyak titik di kedua pulau yang tidak
dihubungkan jembatan. Ini beda dengan jembatan pelintas sungai yang memberikan
solusi jarak di ruang cekung.
Saat ini kita praktis sudah
terperosok dalam jebakan moda jalan. Semua masalah transportasi diselesaikan
dengan membangun jalan baru dan jembatan. Saat ketemu laut, yang dipikirkan
juga solusi jalan. Ini karena kita sudah tersihir dengan budaya mobil sebagai
simbol modernitas. Akibatnya, kita menelantarkan moda lain yang justru melimpah
di Indonesia: laut dan sungai. Kini moda angkutan laut dan sungai di Indonesia
dalam keadaan terbelakang dan terdegradasi, termasuk angkutan rel.
Kita lupa bahwa laut dan
sungai adalah jalan buatan Tuhan yang disediakan bagi kapal-kapal, bukan mobil.
Yang perlu dilakukan adalah membangun dermaga dan memelihara sungai agar
debitnya memadai sepanjang tahun. Sayang, yang terjadi adalah pembabatan hutan
di hulu untuk membangun jalan sehingga sumber mata air sungai mengering seiring
dengan penelantaran angkutan feri, kapal, dan pelabuhan-pelabuhan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar