Kamis, 06 September 2012

Jembatan Selat Sunda

Jembatan Selat Sunda
Daniel Mohammad Rosyid ;  Guru Besar Teknik Kelautan ITS Surabaya
KOMPAS , 05 September 2012


Pemerintahan SBY tampaknya sungguh-sungguh bermaksud membangun jembatan sepanjang 35 kilometer melintasi Selat Sunda. Gagasan membangun itu sudah lama diwacanakan, bahkan sejak Bung Karno dan kemudian Habibie.

Adalah Guru Besar ITB Wiratman yang menjadi arsitek proyek jembatan monumental tersebut. Paling tidak, ada dua tujuan yang hendak dicapai melalui proyek raksasa ini. Pertama, mendorong perkembangan ekonomi kawasan Sumatera. Kedua, sebagai simbol penguasaan teknologi anak negeri.

Menteri Keuangan dan Menteri Perindustrian terakhir mengatakan, proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) hanya layak jika menjadi satu kesatuan dengan pengembangan kawasan sekitar kaki jembatan di Banten dan Lampung.

Sebenarnya ada pelbagai hal yang perlu dipertimbangkan, dari nilai studi kelayakan lebih dari satu triliun rupiah, proyek yang mencapai Rp 180 triliun, waktu pembangunan 10 tahun, hingga tingkat efektivitasnya.

Belum Terbukti

Tidak ada bukti empiris di dunia bahwa jembatan antarpulau memberikan manfaat ekonomi regional setelah pembangunan jembatan selesai. Ini berbeda dengan jembatan pelintas sungai yang manfaatnya terbukti signifikan. Pengalaman jembatan Suramadu menunjukkan terjadinya penyedotan sumber-sumber daya ekonomi Madura ke Jawa 
Timur.

Madura dengan prasarana yang masih terbatas memang bukan tujuan investasi yang menarik. Terjadi juga pemindahan kepemilikan tanah dari orang Madura kepada orang Jawa Timur. JSS pun akan mempercepat fenomena serupa di kawasan Lampung dan sekitarnya.

Untuk mendorong kegiatan ekonomi Sumatera dan mengonsolidasikan pasar di Sumatera, yang dibutuhkan adalah investasi infrastruktur di dalam Pulau Sumatera. Ini bisa berupa jalur rel ganda atau tol lintas Sumatera untuk menggantikan jalan lintas Sumatera yang amburadul dan menghubungkan jalur rel dan tol tadi ke pelabuhan-pelabuhan di Sumatera. Juga perlu dibangun infrastruktur listrik. Madura juga membutuhkan investasi serupa.

Dari perspektif risiko, JSS membawa dua masalah besar. Risiko pertama lazim untuk megaproyek semacam ini, yaitu keuangan. Pembandingnya adalah Euro Tunnel, terowongan bawah laut yang menghubungkan Inggris-Perancis sepanjang 50 km. Ada risiko pembengkakan biaya atau cost overrun dan rugi. Biaya pembangunan Euro Tunnel membengkak dari perkiraan Rp 220 triliun menjadi Rp 450 triliun! Lama pembangunan pun molor hingga delapan tahun.

Begitu dibangun, megaproyek JSS menuntut untuk diselesaikan. Sungguh akan mempermalukan pemerintah jika berhenti di tengah jalan dan menjadi monumen kegagalan. Sampai hari ini operator Euro Tunnel merugi dan disubsidi sehingga membebani perekonomian Inggris.

Kapasitas JSS tidak bisa diubah banyak begitu spesifikasinya ditentukan dan selesai dibangun. Jika dirancang untuk 100 tahun ke depan, kapasitas ini mungkin baru akan tercapai penuh 20-30 tahun ke depan. Artinya sebelum mencapai kapasitasnya, jembatan akan beroperasi merugi. Beda dengan feri yang kapasitasnya mudah diubah mengikuti kebutuhan, yaitu dengan mengganti armada yang lebih besar dan lebih cepat atau menambah unit kapal.

Risiko kedua adalah risiko teknologi. JSS dengan teknologi jembatan gantung (suspension bridge) akan dibagi menjadi beberapa segmen dengan segmen terpanjang mencapai hampir 3.000 meter, terpanjang di dunia. Namun, medan Selat Sunda akan menjadi medan terburuk kontraktor jembatan mana pun di dunia. Kedalaman, arus laut, angin, aktivitas tektonik maupun vulkanik Gunung Krakatau membuat tantangan perancangan JSS jauh di luar pengalaman para ahli dunia sekali pun.

Kriteria perancangan harus memperhatikan beban angin sekaligus beban gempa. Risiko muncul dari kesalahan desain, kesalahan konstruksi, dan kesalahan operasi, termasuk perawatan. Kita tahu bahwa komitmen pemeliharaan kita lemah: bisa membangun, tetapi tidak bisa merawat dan mengelola.

Tantangan Alam

Risiko operasional yang lain adalah jika terjadi kecelakaan atau mobil mogok di atas JSS. Jika kecepatan angin sekitar jembatan melebihi 40 km/jam, jembatan mungkin terpaksa ditutup. Agar JSS nyaman, dibutuhkan penerangan cukup. Saya lebih memilih duduk istirahat minum kopi hangat sambil menikmati live music di feri daripada tergesa menyeberang dengan mobil di atas laut pada malam hari, belum lagi jika hujan dan angin selama 30 menit lebih! Saya yakin bahwa para insinyur dan arsitek perencana JSS ataupun investor belum memikirkan skenario operasional psikologis seperti ini.

Secara paradigmatik, JSS adalah konsep yang keliru. JSS dibutuhkan jika Selat Sunda kering tanpa air laut. Air laut di Selat Sunda justru membuat kontur dasar laut yang rumit menjadi rata. Air laut itu adalah jembatan tak berhingga yang menghubungkan Banten dan Lampung. Jadi, yang dibutuhkan adalah kapal penyeberangan maju dengan jumlah dan spesifikasi yang lebih cocok, serta sarana dermaga di sisi Lampung dan Banten yang lebih memadai.

JSS adalah lame duck, sasaran empuk bagi ancaman teror, dan mudah diganggu oleh aksi-aksi anarkistis oleh kelompok-kelompok garis keras ataupun yang ingin memaksakan kehendak dengan menutup paksa mulut jembatan. Armada feri maju memberikan solusi yang lebih luwes dan terus bergerak sehingga lebih sulit menjadi sasaran teror ataupun aksi anarkistis.

Selat Bukan Sungai

Secara topologis, JSS adalah konsep yang gagal membedakan antara sungai dan selat. Jembatan hanya berguna di ruang cekung yang dibentuk oleh sungai. Dua pulau tidak membentuk ruang cekung. Bahkan dengan membangun jembatan yang menghubungkan kedua pulau itu, justru terbentuk ruang baru yang cekung. Artinya, membangun jembatan antarpulau justru menimbulkan masalah jarak bagi banyak titik di kedua pulau yang tidak dihubungkan jembatan. Ini beda dengan jembatan pelintas sungai yang memberikan solusi jarak di ruang cekung.

Saat ini kita praktis sudah terperosok dalam jebakan moda jalan. Semua masalah transportasi diselesaikan dengan membangun jalan baru dan jembatan. Saat ketemu laut, yang dipikirkan juga solusi jalan. Ini karena kita sudah tersihir dengan budaya mobil sebagai simbol modernitas. Akibatnya, kita menelantarkan moda lain yang justru melimpah di Indonesia: laut dan sungai. Kini moda angkutan laut dan sungai di Indonesia dalam keadaan terbelakang dan terdegradasi, termasuk angkutan rel.

Kita lupa bahwa laut dan sungai adalah jalan buatan Tuhan yang disediakan bagi kapal-kapal, bukan mobil. Yang perlu dilakukan adalah membangun dermaga dan memelihara sungai agar debitnya memadai sepanjang tahun. Sayang, yang terjadi adalah pembabatan hutan di hulu untuk membangun jalan sehingga sumber mata air sungai mengering seiring dengan penelantaran angkutan feri, kapal, dan pelabuhan-pelabuhan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar