Selasa, 04 September 2012

Menyoal Idealisme Berpolitik

Menyoal Idealisme Berpolitik
Biyanto ;  Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
SINDO , 04 September 2012


Proses pendaftaran dan verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu 2014 oleh KPU kini sedang berlangsung.Yang menarik, di antara partai yang turut mendaftar ternyata banyak dibidani pemain lama. 

Mereka sebelumnya dikenal aktivis partai tertentu dan kini telah berganti baju dengan partai baru. Jika kita telisik lebih jauh, fenomena orang berpindah partai ini ternyata menjadi tren,terutama sejak Era Reformasi. Apalagi Era Reformasi telah memberikan ruang kebebasan yang luar biasa seiring dengan kebijakan multipartai. Mereka yang berganti partai pun mengajukan alasan seperti perbedaan idealisme, visi dan misi, serta rasa kecewa karena tidak memiliki kesempatan tampil dalam pemilihan calon anggota legislatif dan kepala daerah.

Apa yang menarik disorot dari fenomena mudahnya seseorang berganti partai pada setiap menjelang pelaksanaan pemilu? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menyatakan bahwa ternyata idealisme dalam berpartai telah mengalami penurunan kadar. Jika dulu orang masuk partai bertujuan untuk memperjuangkan idealisme demi kepentingan rakyat, terutama konstituen yang diwakili.

Sebaliknya, kini orang mendirikan partai lebih banyak dilatarbelakangi kepentingan pragmatis-jangka pendek sehingga terasa sekali idealisme dalam berpartai itu tergerus secara tajam. Aktivis parpol dijadikan sebagai profesi dan lahan pekerjaan. Jika kepentingan ini tidak tercapai, mereka pun dengan mudah berganti baju dengan mendirikan parpol baru.

Fenomena ini sekaligus menegaskan kebenaran doktrin yang menyatakan bahwa politik adalah who gets what, when, and how. Ditegaskan bahwa politik itu berkaitan dengan siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana caranya. Dalam politik juga dikenal hukum yang tak terelakkan bahwa tidak ada kawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Aktivis parpol juga sering menyatakan bahwa perbedaan pendapat itu biasa.

Yang tidak boleh terjadi adalah perbedaan pendapatan. Akibatnya, fenomena perpecahan pun sering terjadi dalam dunia politik. Kultur “memecah” dan “berpecah” dalam partai pun seakan menjadi pemandangan umum. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak aktivis partai yang karena perbedaan pendapat atau pendapatan dengan mudah menyatakan keluar dari partai lama dan mendirikan partai baru.

Fenomena memudarnya idealisme dalam berpartai juga dapat diamati melalui pendirian partai baru oleh pemain lama karena partainya tidak lolos electoral threshold. Pemilu sepanjang Era Reformasi memang memberlakukan sistem electoral threshold sebagai instrumen untuk mengeliminasi fragmentasi politik yang terus bertambah. Lalu melalui mekanisme parliamentary threshold realitas multipartai dapat diminimalkan.

Hanya, mekanisme ini ternyata tidak mampu meminimalisasi hasrat orang untuk mendirikan parpol. Realitas bahkan menunjukkan bahwa syahwat politik aktivis partai menunjukkan tren yang meningkat. Kenyataan bahwa orang begitu mudah berpindah partai atau mendirikan partai baru menunjukkan bahwa mayoritas mereka adalah pekerja politik. Parpol dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan segala sesuatu dengan lebih mudah.

Mereka terpesona dengan godaan kekuasaan,kehormatan, dan kekayaan, yang dikiranya dapat diraih secara instan. Akibatnya, saat ini sangat susah menemukan aktivis partai yang memiliki idealisme jempolan.Mereka para aktivis partai idealis ini adalah praktisi politik yang berniat dengan sepenuh hati untuk memperjuangkan nilai-nilai yang dianggap fundamental.

Nilainilai yang dimaksud adalah budaya politik bermoral,bermartabat, dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka biasanya tidak mudah tergoda oleh bujuk rayu kekuasaan dan kepentingan politik jangka pendek. Mereka ini jelas termasuk politisi yang berkarakter dan berpendirian teguh. Tipologi politisi idealis ini tentu sangat dibutuhkan di tengah buruknya pandangan masyarakat terhadap lembagalembaga politik, termasuk parpol. Politisi idealis biasanya selalu menyatukan kata dan perbuatan.

Mereka menjadi aktivis parpol dengan visi, misi, dan nilai-nilai kejuangan yang jelas.Politik bagi mereka adalah jalan panjang untuk memperjuangkan sebuah idealisme. Namun, sangat disayangkan kebanyakan aktivis parpol biasanya hanya mampu berpidato lantang dalam kampanye dan mengumbar janji-janji politik. Jika kekuasaan telah dicapai, janji-janji politik pun tidak akan pernah diperjuangkan dengan penuh kesungguhan.

Karakter ini telah menjadi kecenderungan mayoritas aktivis politik. Tidak peduli parpol Islam maupun parpol sekuler.Mereka telah larut dalam tawar-menawar kekuasaan dan kepentingan politik. Sementara perbaikan nasib rakyat dan komitmen pada nilai-nilai moral politik yang pernah dijanjikan diabaikan begitu saja. Beberapa peristiwa seperti kasus suap, korupsi, dan perempuan/laki-laki, yang melibatkan anggota legislatif dan aktivis parpol, menunjukkan bahwa idealisme dalam berpartai telah benar-benar tergerus.

Rasanya, dunia perpolitikan saat ini sangat merindukan ideolog-ideolog politik semacam Soekarno dan Mr Ali Sastroamijoyo (PNI), Mr Mohammad Roem dan Muhammad Natsir (Masyumi), serta KH Idham Chalid dan Mr Sunarjo (NU). Mereka layak dijadikan teladan dalam berpolitik. Bukan saja dalam membangun hubungan baik ketika sedang dilanda perbedaan, melainkan juga idealis dalam perjuangan dan kesederhanaan yang mereka tampilkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada konteks ini rasanya penting dipesankan pada aktivis parpol yang kini sedang mendaftarkan partainya untuk menjadi peserta Pemilu 2014. Marilah meneladani ideolog politik yang pernah dimiliki negeri ini. Parpol harus dijadikan wadah memperjuangkan idealisme. Dengan begitu, aktivis parpol yang akan running dalam pemilu mendatang adalah pribadi-pribadi yang berkarakter sehingga tidak mudah tergiur kepentingan pragmatisjangka pendek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar