Korupsi dan
Independensi KPK
Junaidi ; Jurnalis pada Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Solidaritas IAIN Sunan
Ampel Surabaya
|
SUARA
KARYA , 04 September 2012
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bab II Pasal 3
menyatakan bahwa setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan
lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya, merupakan
hasil tindak pidana. Sebagaimana tujuannya, menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan
pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10
miliar (sepuluh miliar rupiah).
UU tersebut menjadi acuan dan dasar dibentuknya Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus-kasus seperti yang disebutkan
oleh UU itu. Pimpinan KPK harus menyelaraskan antara amanat dan wewenangnya,
yaitu harus berjalan sesuai dengan objektivitasnya dalam memberantas kasus suap
dan korupsi. Hal yang perlu menjadi tujuan utama dalam memberantas korupsi
adalah retribusi uang negara harus kembali seperti semula. Penyitaan dan
pemiskinan harus dilaksanakan sebagai tuntutan dan hukuman. Apalagi, Ketua KPK
Abraham Samad sudah bertekad untuk menindak tegas setiap kasus suap dan korupsi
sesuai tugas dan wewenangnya.
Sportif
Selain itu, KPK memiliki wewenang dalam memonitor berbagai
aktivitas keuangan negara khususnya di bidang perpajakan. Itu sesuai dengan UU
RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Peberantasan Tindak Pidana Korupsi Bab 1
Pasal 6 bagian E bahwa KPK mempunyai tugas melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Jadi, segala aktivitas yang dilakukan berbagai aparatur negara
wajib dipantau oleh KPK. Dalam rangka menjalankan tugasnya, KPK memiliki
keleluasaan yang cukup luas dan independen untuk menginvestigasi secara
langsung terhadap keuangan negara. Itu juga sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat 3
menegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Dengan adanya aturan mengenai keleluasaan KPK dalam memantau
keuangan negara yang bersifat independen ini juga perlu disadari oleh
pemerintah dan berbagai elemen masyarakat bahwa keleluasaan itu perlu dipantau
juga oleh pihak lain selain dari KPK sendiri, seperti Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK). Ini demi menjaga sportivitas dan objektivitas pelaksanaan pemberantasan
korupsi di negeri ini. Kadang keleluasaan dalam menjalankan suatu misi itu
menjadikan suatu kelompok yang diberi tugas untuk semena-mena dan melupakan
kiprahnya sebagai penegak hukum yang proporsional, objektif, dan sportif.
Dalam hal ini, aparatur negara yang lain perlu juga kiranya
menjadi sosok negarawan yang bisa membela kepentingan rakyat dari segi kerugian
ekonomi yang dikorupsi oleh para koruptor. Misalnya, ada dari pihak KPK yang
diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Siapa lagi yang akan menjadi pahlawan keuangan negara yang menyangkut
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat jika KPK tidak dipantau? Ini patut
dipertanyakan dan perlu dipantau pula mengingat tugas KPK yang bersifat
independen dalam menangani kasus suap dan korupsi.
UU yang sama dalam Bab 2 Pasal 11 menyebutkan bahwa dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Bagian C, menyebutkan
bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, serta mendapat perhatian yang
meresahkan masyarakat, dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1
miliar (satu miliar rupiah).
Apalagi yang diamanatkan oleh UU RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Peberantasan Tindak Pidana Korupsi itu merupakan keuangan yang berada
dalam level sangat tinggi. Aturan yang dikeluarkan oleh UU tersebut minimal
harus Rp 1 miliar. Dalam menjaga penyelewengan keuangan negara oleh KPK perlu
kiranya ada pemantau ekstra di luar kendali KPK itu sendiri. Jika pemerintah
tidak memiliki kecemburuan kepada KPK dalam menjalankan tugasnya, itu sama saja
dengan memberikan kesempatan di balik minimal uang yang menjadi target sebagai
persyaratan melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap keuangan negara
tersebut.
Selain itu pula, setidaknya UU yang mengatur minimalnya uang yang
boleh disidik dan dipantau oleh KPK perlu diamandemen, berapa pun nominalnya
harus tetap dipantau dan disidik oleh KPK. Jika tidak demikian, KPK tidak akan
memaksimalkan tugas dan kinerjanya, juga peluang melakukan suap dan korupsi
bisa dilakukan dengan berbagai cara, misal, di bawah nominal yang memang
diamanatkan oleh UU RI 2002 itu.
Pejabat yang harus disidik dan dituntut jika berada pada pencucian
uang minimal satu miliar rupiah. Namun, rakyat kecil hanya karena persoalan
sepele bisa diancam dengan penjara. Sungguh, hukum di Indonesia ini tidak
proporsional antara pejabat dan rakyat jelata. Pandang bulu antara pejabat dan
masyarakat sipil kini masih dirasakan di negeri ini. Setidaknya, kasus yang
bersangkutan dengan persoalan keuangan negara harus diperiksa berapapun
nominalnya dan harus pula memberikan ganjaran yang setimpal terhadap mereka
yang terlibat, tanpa pandang bulu. Uang sepeser merupakan aset negara yang
tidak boleh diabaikan, karena berapapun akan menjadi penentu terhadap nasib
kehidupan ekonomi bangsa Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar