Sabtu, 15 September 2012

Negara Absen

Negara Absen
James Luhulima ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 15 September 2012


Pada 26 Agustus lalu, warga Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, diserang massa. Dua warga tewas, 6 orang terluka, 205 orang mengungsi, dan 37 rumah dibakar. Sekitar 1.000 personel polisi dari Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kepolisian Resor Sampang diturunkan untuk mengamankan Sampang. Situasi di Sampang berangsur normal meskipun warga Syiah masih tetap tinggal di penampungan sementara.

Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyatakan siap menjamin kebutuhan dan keamanan pengungsi. Pemerintah Provinsi Jawa Timur pun menyiapkan lokasi penampungan baru. Namun, warga Syiah yang terusir dari Desa Karang Gayam menolak tawaran hunian sementara di Jemundo, Kabupaten Sidoarjo. Mereka memilih segera kembali ke kampung halaman dan meminta penjagaan dari kepolisian.

Iklil Almilal, salah seorang pengungsi dan saudara dari Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang, mengatakan, ”Kalau kami keluar dari Sampang walau cuma sebentar, kami akan semakin ditolak oleh mereka saat kami kembali ke sana.”

Kekhawatiran Iklil Almilal tidak berlebihan, terutama jika melihat beberapa kejadian sebelumnya. Sulit bagi warga yang telah terusir dari tempat tinggalnya untuk kembali ke tempat asalnya.

Delapan tahun lalu, 4 Februari 2004, ratusan orang menyerang warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 31 rumah milik warga Ahmadiyah dirusak dan dibakar massa. Sekitar 300 personel polisi antihuru-hara dan Brigade Mobil Kepolisian Daerah NTB kewalahan menghadapi massa yang jumlahnya lebih banyak. Empat polisi terkena lemparan batu.

Sekitar 127 warga Ahmadiyah mengungsi dan tinggal di penampungan sementara. Hingga kini, mereka belum dapat kembali ke tempat tinggal semula. Aparat belum mengizinkan mereka kembali untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Dua hari setelah terjadinya serangan terhadap warga Ahmadiyah di Lombok Barat itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengecam keras perusakan perumahan warga Ahmadiyah tersebut. Ia menegaskan, tindakan perusakan bertentangan dengan Islam.

Selain itu, perbedaan agama dan paham keagamaan tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun. Din meminta kepada pemerintah, dalam hal ini pemerintah pusat, untuk mengusut tuntas serta menindak tegas pelakunya.

Permintaan Din kepada pemerintah untuk mengusut tuntas serta menindak tegas pelakunya itu tidak cukup. Oleh karena, pemerintah juga harus menjamin agar warga yang terusir itu dapat kembali ke rumah mereka masing-masing. Pindah ke lokasi baru bukanlah solusi karena bukan tidak mungkin peristiwa yang sama akan terulang di tempat mereka yang baru.

Kasus serupa terhadap warga Ahmadiyah terjadi berulang-ulang, dua yang terakhir terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, 2011, dan di Ciampea Udik, Desa Cisalada, Kabupaten Bogor, 13 Juli lalu.

Negara Harus Lindungi Warganya

Negara, dalam hal ini pemerintah pusat, tidak boleh berdiam diri dan bersikap seakan-akan tindakan kekerasan terhadap agama—agama apa pun—tidak terjadi.
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Namun, apa yang tertulis pada Pasal 29 Undang- Undang Dasar 1945 tetap tinggal tulisan di atas kertas saja. Dalam kehidupan sehari-hari, keadaannya bertolak belakang dengan apa yang telah ditulis dengan sangat jelas dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Pelanggaran terhadap Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak hanya dilakukan oleh sekelompok warga terhadap kelompok warga lain, tetapi juga dilakukan oleh aparat pemerintah, dalam hal ini aparat pemerintah daerah, untuk menyebut salah satu contoh.
Wali Kota Bogor Diani Budiarto mengeluarkan surat pembekuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di Kota Bogor, Jawa Barat, dengan alasan ada penolakan sejumlah masyarakat. Ada tawaran pindah ke lokasi lain, tetapi persoalannya, seperti yang telah disebut di atas, siapa yang menjamin mereka tidak mendapatkan masalah yang sama nantinya di tempat yang baru.

Oleh karena telah memegang IMB sejak tahun 2006, GKI Yasmin mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Bandung, yang mengeluarkan putusan menolak pembekuan IMB. Wali Kota Bogor mengajukan kasasi dan kemudian peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, tetapi ditolak, Desember 2010. Namun, Wali Kota Bogor tidak mematuhi keputusan Mahkamah Agung, yang merupakan lembaga hukum tertinggi. Dan, tidak ada tindakan apa pun yang diambil oleh pemerintah pusat, yang mewakili negara, terhadap pembangkangan itu.

Negara harus turun tangan. Negara harus menegakkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar negara ini. Namun, dalam kasus ini tampaknya negara memilih untuk absen dan berharap masalah itu akan selesai dengan sendirinya. Entah kapan…. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar