Negara Absen
James Luhulima ; Wartawan
Senior Kompas
|
KOMPAS,
15 September 2012
Pada 26 Agustus lalu, warga
Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Sampang, diserang massa. Dua warga
tewas, 6 orang terluka, 205 orang mengungsi, dan 37 rumah dibakar. Sekitar
1.000 personel polisi dari Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kepolisian Resor
Sampang diturunkan untuk mengamankan Sampang. Situasi di Sampang berangsur
normal meskipun warga Syiah masih tetap tinggal di penampungan sementara.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo
menyatakan siap menjamin kebutuhan dan keamanan pengungsi. Pemerintah Provinsi
Jawa Timur pun menyiapkan lokasi penampungan baru. Namun, warga Syiah yang
terusir dari Desa Karang Gayam menolak tawaran hunian sementara di Jemundo,
Kabupaten Sidoarjo. Mereka memilih segera kembali ke kampung halaman dan
meminta penjagaan dari kepolisian.
Iklil Almilal, salah seorang
pengungsi dan saudara dari Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang, mengatakan,
”Kalau kami keluar dari Sampang walau
cuma sebentar, kami akan semakin ditolak oleh mereka saat kami kembali ke sana.”
Kekhawatiran Iklil Almilal
tidak berlebihan, terutama jika melihat beberapa kejadian sebelumnya. Sulit
bagi warga yang telah terusir dari tempat tinggalnya untuk kembali ke tempat
asalnya.
Delapan tahun lalu, 4
Februari 2004, ratusan orang menyerang warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa
Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Sebanyak 31
rumah milik warga Ahmadiyah dirusak dan dibakar massa. Sekitar 300 personel
polisi antihuru-hara dan Brigade Mobil Kepolisian Daerah NTB kewalahan
menghadapi massa yang jumlahnya lebih banyak. Empat polisi terkena lemparan
batu.
Sekitar 127 warga Ahmadiyah
mengungsi dan tinggal di penampungan sementara. Hingga kini, mereka belum dapat
kembali ke tempat tinggal semula. Aparat belum mengizinkan mereka kembali untuk
menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
Dua hari setelah terjadinya
serangan terhadap warga Ahmadiyah di Lombok Barat itu, Ketua Umum Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin mengecam keras perusakan perumahan warga
Ahmadiyah tersebut. Ia menegaskan, tindakan perusakan bertentangan dengan
Islam.
Selain itu, perbedaan agama
dan paham keagamaan tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran tindakan
kekerasan dalam bentuk apa pun. Din meminta kepada pemerintah, dalam hal ini
pemerintah pusat, untuk mengusut tuntas serta menindak tegas pelakunya.
Permintaan Din kepada
pemerintah untuk mengusut tuntas serta menindak tegas pelakunya itu tidak
cukup. Oleh karena, pemerintah juga harus menjamin agar warga yang terusir itu
dapat kembali ke rumah mereka masing-masing. Pindah ke lokasi baru bukanlah
solusi karena bukan tidak mungkin peristiwa yang sama akan terulang di tempat
mereka yang baru.
Kasus serupa terhadap warga
Ahmadiyah terjadi berulang-ulang, dua yang terakhir terjadi di Cikeusik,
Pandeglang, Banten, 2011, dan di Ciampea Udik, Desa Cisalada, Kabupaten Bogor,
13 Juli lalu.
Negara Harus Lindungi
Warganya
Negara, dalam hal ini
pemerintah pusat, tidak boleh berdiam diri dan bersikap seakan-akan tindakan
kekerasan terhadap agama—agama apa pun—tidak terjadi.
Undang-Undang Dasar 1945
menjamin kebebasan beragama bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasal 29
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan: (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu.
Namun, apa yang tertulis
pada Pasal 29 Undang- Undang Dasar 1945 tetap tinggal tulisan di atas kertas
saja. Dalam kehidupan sehari-hari, keadaannya bertolak belakang dengan apa yang
telah ditulis dengan sangat jelas dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945.
Pelanggaran terhadap Pasal
29 Undang-Undang Dasar 1945 itu tidak hanya dilakukan oleh sekelompok warga
terhadap kelompok warga lain, tetapi juga dilakukan oleh aparat pemerintah,
dalam hal ini aparat pemerintah daerah, untuk menyebut salah satu contoh.
Wali Kota Bogor Diani
Budiarto mengeluarkan surat pembekuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Gereja
Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di Kota Bogor, Jawa Barat, dengan alasan
ada penolakan sejumlah masyarakat. Ada tawaran pindah ke lokasi lain, tetapi
persoalannya, seperti yang telah disebut di atas, siapa yang menjamin mereka
tidak mendapatkan masalah yang sama nantinya di tempat yang baru.
Oleh karena telah memegang
IMB sejak tahun 2006, GKI Yasmin mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara di Bandung, yang mengeluarkan putusan menolak pembekuan IMB. Wali Kota
Bogor mengajukan kasasi dan kemudian peninjauan kembali ke Mahkamah Agung,
tetapi ditolak, Desember 2010. Namun, Wali Kota Bogor tidak mematuhi keputusan
Mahkamah Agung, yang merupakan lembaga hukum tertinggi. Dan, tidak ada tindakan
apa pun yang diambil oleh pemerintah pusat, yang mewakili negara, terhadap
pembangkangan itu.
Negara harus turun tangan.
Negara harus menegakkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar negara ini.
Namun, dalam kasus ini tampaknya negara
memilih untuk absen dan berharap masalah itu akan selesai dengan sendirinya.
Entah kapan…. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar