Rabu, 05 September 2012

Mengingkari Konflik Agama


Mengingkari Konflik Agama
Rumadi Ahmad Peneliti Senior the Wahid Institute, 
Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
  
SINDO , 05 September 2012


Setiap kali terjadi kekerasan bernuansa agama, senantiasa muncul pernyataan dari sejumlah kalangan bahwa kekerasan itu bukan karena faktor agama, tapi karena persoalan biasa yang bersifat sekuler. 

Dalam kasus kekerasan terhadap komunitas Syiah di Sampang yang terus berulang, pejabat-pejabat publik seperti Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan bahwa itu bukan konflik agama. Hal yang sama jugadikemukakanKetuaUmum PBNU KH Said Aqil Siradj yang pada intinya apa yang terjadi di Sampang bukan konflik Suni- Syiah, tapi konflik keluarga.

Namun, sebagian kalangan lain menyatakan, kita harus jujur bahwa persoalan keagamaan mempunyai peran besar munculnya konflik di Sampang. Cara berpikir mengingkari konflik agama tidak hanya terkait dengan konflik Sampang, tapi juga sejumlah kasus yang lain, seperti kasus Ambon, Poso, bahkan juga terorisme. Pertanyaannya, mengapa ada keengganan untuk mengakui bahwa faktor agama terlibat dalam sejumlah kasus kekerasan di Indonesia?

Agama dan Kekerasan 

Sejumlah peristiwa konflik dan kekerasan bernuansa agama yang terus meningkat pasca-reformasi, secara teoritik bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Pertama, pandangan yang cukup popular bahwa konflik dan kekerasan itu terkait dengan kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang semakin kehilangan daya cengkeramnya.

Di bawah kendali Presiden Soeharto,konflik dan kekerasan antarkelompok masyarakat tidak banyak terjadi karena Orde Baru mempunyai mekanisme politik, administratif, dan militer untuk menangkal segala bentuk ledakan sosial, meski hal itu dilakukan dengan cara-cara yang represif. Kedua,teori yang berasumsi bahwa kekerasan merupakan sesuatu yang sudah melekat dalam kultur masyarakat Indonesia.

Sedangkan teori ketiga, berusaha untuk memadukan teori pertama dan kedua.Kekerasan, dalam pandangan teori ini, tidak hanya membuncah pasca 1998 karena runtuhnya pemerintah Orde Baru, tapi kekerasan juga menjadi pilar fundamental yang digunakan untuk mempertahankan pemerintahan orde baru. Pada akhirnya, Orde Baru juga meninggalkan jejak tindak kekerasan, sehingga Orde Baru pada dirinya sendiri merupakan penyebab kekerasan, baik sebelum maupun sesudah kehancurannya.

Kekerasan berbasisagamamemang mempunyai sejarah panjang dalam setiap agama. Benturan antarkelompok dalam sebuah agama, maupun benturan antarpemeluk agama sudah sering terjadi dalam sejarah. Seolah tak ingin agama berperan dalam lumpur kotor kekerasan, setiap kali terjadi konflik dan kekerasan bernuansa agama, para tokoh agama kemudian berkumpul dan membuat statement bersama mengutuk kekerasan sambil mengatakan bahwa konflik dan kekerasan tersebut tidak terkait dengan agama.

Untuk membersihkan agama, mereka biasanya berujar, konflik dan kekerasan tersebut karena tendensi politik dan ekonomi. Fenomena inilah yang penulis sebut sebagai “sekularisasi” konflik dan kekerasan agama. Apa makna dari “sekularisasi” konflik dan kekerasan itu? Terminologi ini dapat digunakan untuk menjelaskan adanya upaya dari berbagai kalangan, terutama tokoh-tokoh agama, untuk menarik aspek agama dari berbagai konflik dan kekerasan.

Hal demikian dimaksudkan untuk menghindarkan adanya tuduhan bahwa agama secara intrinsik di dalam ajaran-ajaran normatifnya mengandung unsur-unsur kekerasan. Di sinilah kemudian dibedakan antara agama dan umat beragama. Agama senantiasa mengajarkan kebaikan dan ketenteraman, namun umat beragama tidak selalu mengekspresikan sesuatu yang membawa kebaikan dan ketenteraman.

Karena itu, kalau ada kekerasan yang disinyalir bermotif agama,maka selalu muncul penolakan bahwa hal tersebut dilakukan karena agama,tapi lebih karena persoalan politik,ekonomi atau faktor-faktor lain di luar agama. Dengan demikian, sekularisasi konflik dan kekerasan agama sebenarnya lebih merupakan upaya untuk menyelamatkan agama agar tidak terlarut dalam proses sejarah yang tidak selalu sejalan dengan misi agama.

Hal demikian senantiasa membawa dampak ganda. Di satu sisi menjaga kesucian agama dan menjauhkannya dari aspek tertentu dalam sejarah yang bisa mengotori agama; di sisi lain hal demikian seolah menjadikan agama tidak bertanggung jawab dengan yang dilakukan pemeluknya. Hal yang sama tidak hanya terkait dengan pembacaan atas fenomena kontemporer, tapi juga digunakan untuk membaca sejumlah peristiwa kekerasan dan peperangan dalam sejarah yang melibatkan kelompok-kelompok agama.

Pembacaan melalui “sekularisasi” konflik dan kekerasan agama seolah memang memberikan ketenangan karena agama yang dipeluk tetap bersih dan suci. Namun, melakukan sekularisasi konflik dan kekerasan bernuansa agama tidak terlalu banyak berguna meskipun sepintas lebih menenteramkan umat beragama,terutama umat yang agamanya dituduh terlibat konflik dan kekerasan. Jika komunitas agama masih terus memproduksi konflik dan kekerasan, melakukan penyangkalan hanya akan menjauhkan dari sikap kritis.

Ajaran agama dan perilaku umatnya memang tidak bisa dibaca secara hitam putih.Penulis berpendapat, dalam setiap konflik dan kekerasan agama motivasi aktornya dalam setiap level tidak selalu sama.Dalam setiap konflik setidaknya ada dua level aktor: aktor intelektual dan aktor lapangan. Aktor lapangan spirit keagamaannya cenderung lebih tinggi dibanding aktor intelektual. Aktor intelektual—dan juga pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari konflik—bisa jadi lebih karena motif ekonomi dan politik, namun tidak demikian dengan aktor lapangan.

Menurut hemat penulis, sekularisasi kekerasan dalam agama hanyalah sikap apologis yang tidak akan menyelesaikan substansi persoalan. Sebagai umat beragama, tentu kita tidak rela jika agama yang kita yakini berasal dari Tuhan terlibat dalam konflik dan kekerasan. Namun, mengingkari dan terus menyangkal juga tidak akan banyak membantu.

Karena itu, hal terbaik adalah mengakui secara jujur bahwa dalam agama memang terdapat anasir kekerasan yang bisa dijadikan sebagai referensi historis bagi generasi berikutnya, terutama generasi yang berpandangan bahwa sejarah adalah kebenaran. Karena itu, mendidik dan mendewasakan umat beragama agar tidak mudah diprovokasi melakukan kekerasan merupakan pekerjaan rumah yang harus dilakukan semua pihak yang antikekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar