Israel dan Amerika Menjelang Pemilu
R William Liddle ; Profesor
Emeritus Ohio State University, Ohio, AS
|
KOMPAS,
15 September 2012
”Tak
akan ada jurang antara negara-negara kita dan tidak akan ada jurang antara
pemimpin-pemimpin kita.”
Janji itu dilontarkan calon presiden AS dari
Partai Republik, Mitt Romney, Maret lalu. Saat itu ia bicara di pertemuan
Panitia Urusan Publik Israel Amerika (American
Israel Public Affairs Committee/AIPAC), lobi utama masyarakat Amerika yang
pro-Israel. Bersama Asosiasi Senapan Nasional (National Rifle Association), perkumpulan orang-orang antiregulasi
persenjataan, AIPAC punya reputasi lobi yang paling ditakuti para politisi di
Washington. Khususnya mengenai hal-hal yang menyangkut keamanan serta
keselamatan Israel.
Tiga Alasan
Kenapa kata-kata yang begitu mutlak yang sama
sekali tidak memberi ruang gerak kepada Romney seandainya ia terpilih November
depan selaku presiden AS yang ke-45? Mungkin ada tiga alasan terkait.
Pertama, kekuatan lobi AIPAC tadi. AIPAC
didirikan tahun 1951, beberapa waktu setelah gerakan Zionis menyatakan
kemerdekaan negara Israel atas dukungan, antara lain, Pemerintah AS di bawah
Presiden Harry Truman. Namun, lobi itu baru menggeliat pada zaman Gerald Ford
(1974-1977) dan Jimmy Carter (1977-1981).
Dalam suasana pasca-Perang Arab-Israel 1973,
kedua presiden itu (yang kebetulan berasal dari partai berbeda) mencoba
merumuskan kebijakan baru yang lebih berimbang terhadap Israel dan Palestina.
Namun, sebagian anggota masyarakat Amerika-Yahudi tidak setuju dan tergugah
untuk melawan. Alhasil, penilaian kembali itu gagal berkat perlawanan sengit
dari mayoritas anggota Kongres, baik Republik maupun Demokrat, yang
dimobilisasi AIPAC. Semua presiden berikut menyadari betul betapa kuatnya lobi
Israel-Amerika kalau kepentingan Israel diancam.
Kedua, dukungan setia mayoritas masyarakat
Amerika pada kemerdekaan bangsa Israel yang tidak lapuk selama setengah abad.
Orang Amerika-Yahudi hanya minoritas kecil, sekitar 2 persen, dari seluruh
masyarakat Amerika. Tanpa persetujuan masyarakat luas yang non-Yahudi, tak
mungkin lobi AIPAC bisa menakut-nakuti terus begitu banyak anggota Kongres.
Dukungan umum itu berakar pada pengalaman
bangsa-bangsa Barat yang mayoritas Kristen, termasuk Katolik, selama Perang
Dunia II. Waktu itu, enam juta orang Yahudi dibantai pemerintahan Nazi-Jerman
di bawah Adolf Hitler. Rasa bersalah orang Amerika yang amat kuat dibayar
kembali pascaperang dalam bentuk bantuan pada gerakan Zionis di Palestina.
Belakangan ini, kaum evangelis Protestan juga
mulai berdampak pada kebijakan Amerika dalam soal Israel. Bagi mereka, hadirnya
negara Israel di Bumi adalah syarat yang harus dipenuhi sebelum kedatangan
kedua Yesus Kristus.
Alasan terakhir, tetapi sama pentingnya,
adalah kegagalan kebijakan pemerintahan Obama terhadap konflik
Israel-Palestina. Seperti Ford dan Carter, Obama berusaha menjelajahi trayek
baru. Ia mendengarkan pendapat masyarakat Amerika-Yahudi yang liberal, dalam pengertian
meyakini apa yang disebut sebagai two-state
solution, penyelesaian dua negara. Menurut pendekatan ini, baik Israel
maupun Palestina perlu diakui haknya untuk berdiri sendiri selaku negara yang
berdaulat penuh.
Sebagai langkah awal, demi meyakinkan tokoh-tokoh
Palestina, Obama menuntut agar Israel mengurungkan niatnya membangun atau
membiarkan masyarakatnya membangun permukiman baru di daerah yang diduduki
Israel sejak Perang Enam Hari pada 1967. Perdana Menteri Israel Benjamin
Netanyahu, dari Partai Likud yang kanan dan bergaris keras, langsung menolak
tuntutan itu. Lalu, ia menggalang koalisinya di Washington, terutama melalui
AIPAC dan anggota Kongres yang masuk lingkaran AIPAC.
Surat penolakan prakarsa Obama ditandatangani
329 anggota Kongres, termasuk sejumlah anggota partainya sendiri. Pada akhir
2009, Obama praktis menarik kembali tuntutannya kepada pemerintahan Israel.
Setelah itu, belum ada kebijakan atau pendekatan baru.
Langkah strategis
Ucapan Mitt Romney di AIPAC, Maret lalu,
harus diletakkan dalam kerangka sejarah ini. Obama telah gagal menerapkan salah
satu kebijakan pokoknya. Kegagalan itu bisa dirunut pada kepolosannya selaku
presiden baru dan muda yang terlalu percaya pada wibawa jabatannya. Kiranya ia
sudah belajar dari pengalaman pahitnya. Namun, Romney ingin memanfaatkan
kekecewaan masyarakat Amerika-Yahudi itu untuk menggaet sebanyak mungkin suara
mereka dalam pemilihan presidensial 2012.
Hal itu tak mudah, apalagi mayoritas besar
masyarakat Amerika-Yahudi sudah puluhan tahun mendukung Partai Demokrat.
Alasannya bermacam-macam dan tidak terbatas pada kebijakan Pemerintah Amerika
terhadap Israel. Namun, dari segi pandang kampanye Mitt Romney dan Partai
Republik, kaum Amerika-Yahudi termasuk ladang subur untuk digarap. Setidaknya,
dalam hal ini, Romney sedang bertindak cukup strategis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar