Ancaman Laten Terorisme
R Graal Taliawo ; Peneliti pada
Reformed Center for Religion and Society (RCRS) Jakarta, Mahasiswa
Pascasarjana Sosiologi (MMPS) FISIP Universitas Indonesia
|
SINAR
HARAPAN, 14 September 2012
Serangkaian aksi teroris yang
melibatkan anak muda kembali mengguncang Tanah Air. Setelah Detasemen Khusus
(Densus 88) Antiteror menyergap pelaku terduga teroris di Kota Solo, Jawa
Tengah (31/8), aksi yang sama kembali terjadi di Beiji, Depok, Jawa Barat
(8/9).
Hal ini membuktikan regenerasi
terorisme terus berjalan, sekaligus merupakan cerminan bahwa kontra teroris
yang pemerintah lakukan selama ini belum berhasil menyentuh akar masalah
teroris di Tanah Air.
Keterlibatan anak muda dalam
berbagai aksi teroris mulai terkuak sejak 2007 ketika Isa Anshori (16) dan Nur
Fauzan (19) ditangkap Densus 88 atas tuduhan menyembunyikan Taufik Kondang
(salah seorang anggota jaringan teroris komplotan Abu Dujana).
Tahun 2009 ada Dani Dwi Permana
(18), yang menjadi eksekutor bom di Hotel JW Marriott dan Nana Ikhwan Maulana
(28) yang terlibat pada bom bunuh diri di Hotel Ritz Charlton. Terakhir,
penyergapan di Kota Solo yang menewaskan Farhan Mujahidin (19), Mukhsin Sanny
Permadi (20), dan Bayu Setiono (24) yang diringkus dalam keadaan hidup.
Hasil penelitian Indonesia
Institute for Society Empowerment (Insep) 2011 juga menunjukkan bahwa dari 110
teroris, ada 47,3 persen yang berumur 21-30 tahun. Adapun pelaku yang berusia lebih dari 40
tahun hanya berkisar 11,8 persen.
Keterlibatan pemuda pada berbagai
aksi teror patutlah kita sesali. Mereka mestinya sedang menyiapkan diri (dan
dipersiapkan) guna melanjutkan estafet membangun masa depan negeri ini, bukan
sebaliknya terlibat dalam macam-macam
aksi yang malah mencederai rasa kemanusiaan kita.
Negara tidak boleh meremehkan
fakta ini, mengingat sebagai pemuda, mereka memiliki potensi kreativitas yang
bisa melahirkan tindakan teror dengan gaya yang lebih bervariasi. Pemerintah
perlu melakukan deradikalisasi yang lebih kreatif, khususnya kepada anak muda
guna memutus regenerasi terorisme.
Deradikalisasi Terorisme
Ideologi (Blackwell, 2000) dimaknai sebagai sistem berpikir universal untuk
menjelaskan kondisi manusia, berkaitan dengan proses sejarah menuju masa depan
lebih baik dan mengganti Orde yang lama secara revolusioner. Atau dalam bahasa
lain, ideologi adalah cara pandang dunia (world
outlook) untuk menilai situasi dalam rangka mewujudkan kehidupan terbaik
(utopia).
Ideologi (Macridis, 1989) memiliki daya rembes (pervasiveness), perluasan (extensiveness),
dan kedalaman (intensiveness). Pada
konteks kehidupan sosial masyarakat, ruang lingkup pendukung ideologi terbentuk
secara alami, berdasarkan persamaan pikiran dan pengalaman. Sudah tentu hal ini
mengandalkan kesukarelaan penganutnya untuk merealisasikan nilai-nilai
ideologi.
Terorisme adalah strategi
kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan
cara menanamkan ketakutan di kalangan masyarakat umum (Whittaker, 2003). Atau merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja
yang direncanakan secara sistematik sehingga menimbulkan ketakutan umum demi
mencapi tujuan politik (Poul Johnson,
2008).
Itu artinya, teror sebagai
ideologi mendasarkan tindakannya pada nilai dan cara pandang dunia (world view) tertentu yang dianggap
bermanfaat demi pencapaian tujuan. Sudah tentu, terorisme mengukuhkan atau
memperbesar harapan. Terorisme juga menampilkan kesederhanaan dan gambaran
tentang cita-cita yang mudah dipahami, menjadi daya tarik tersendiri sehingga
leluasa disebarluaskan.
Selain itu, terorisme yang adalah
ekspresi radikalisme, merupakan keyakinan dan tindakan yang menentang serta
ingin menggantikan ciri-ciri dari tatanan yang sudah ada; yang dianggap sentral
dan definitif. Dalam mengidentifikasi sudut pandang politik, radikalisme
menunjukkan komitmen yang lebih ekstrem, tanpa kompromi dan absolut.
Radikalisme, termasuk terorisme,
dicirikan bersifat ekstrem dan konspirasional terhadap musuh dan siap
menggunakan metode nondemokrasi dalam konflik politik.Radikalisme berkomitmen
pada perubahan yang komprehensif, menyangkut banyak isu yang konkret.
Apalagi di tengah anggapan bahwa
ideologi dominan yang ada dalam masyarakat tidak menjawab kompleksitas masalah
yang sedang dihadapi, aksi terorisme akan menjadi jawaban (sarana) utopis untuk
melakukan perubahan.
Di banyak kasus, umumnya pelaku
teror melakukan aksi dengan tujuan mengubah secara radikal satu tatanan yang
tidak disetujuinya. Untuk mencapainya, mereka lantas menebar teror yang
diyakini sebagai sarana yang tepat. Tak peduli siapa yang akan menjadi korban,
radikalisme dalam bentuk teror, lantas memberikan legitimasi bagi penghilangan
nyawa orang lain.
Untuk itu, upaya deradikalisasi
terhadap gerakan terorisme harus dilakukan melalui langkah-langkah konkret yang
menyentuh dan mengoreksi ideologi sebagai sumber gerakan teroris. Dibutuhkan
tindakan kontra teroris yang terarah serta terfokus untuk melumpuhkan daya
rembes dan perluasan ideologi teror.
Selama ini, pemerintah melalui
Densus 88 telah berhasil tampil sebagai ”pemadam kebakaran” melalui
tindakan-tindakan represif terhadap pelaku aksi teror. Akan tetapi, itu tidak cukup
untuk menyelesaikan akar masalah.
Langkah kontra teroris yang telah
dilakukan oleh pemerintah perlu dilihat relevansinya, mengingat secara faktual
regenerasi terorisme terus menapaki “jejak langkahnya”. Deradikalisasi yang
dilakukan belum mampu menghambat laju penyebaran dan meredam kemungkinan
regenerasi ideologi teroris terhadap kalangan muda.
Metode deradikalisasi yang bersesuaian dengan selera anak muda segera perlu dikembangkan dan direalisasikan secara
terus-menerus. Terwarisinya terorisme akan menjadi ancaman laten bagi
eksistensi Indonesia di masa mendatang.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan sosial lain yang turut menyuburkan dan mendukung penyebaran ideologi teror pada kaum muda. Pemerintah harus mengidentifikasi sebab-sebab mengapa ideologi teror menjadi menarik bagi generasi muda kita. Informasi mengenai situasi ini penting guna kepentingan intervensi kebijakan yang berkelanjutan.
Karena tanpa upaya penyelesaikan menyangkut situasi sosial yang turut menyuburkan hadirnya ideologi teror, bibit terorisme akan mudah disebar, terlegitimasi untuk tumbuh, serta menjadi ancaman bagi kehidupan berbangsa kita.
Munculnya aksi teror oleh anak muda adalah bukti bahwa masih terjadi regenerasi terorisme. Ini sekaligus tanda bahwa pemerintah harus mengoreksi strategi kontra teroris yang telah lakukan. Inovasi strategi deradikalisasi harus bisa mencegah regenerasi ideologi terorisme demi menghindarkan bangsa ini dari ancaman laten terorisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar