Minggu, 09 September 2012

Indonesia, ASEAN dan APEC


Indonesia, ASEAN dan APEC
Makmur Keliat ;  Pengajar Ilmu Hubungan Internasional FISIP
Universitas Indonesia
KOMPAS, 08 September 2012


Apakah harus memprioritaskan ASEAN atau APEC? Jawaban yang tegas terhadap pertanyaan ini harus segera diberikan Indonesia karena beberapa alasan berikut.

Pertama, kerja sama regional dalam satu dasawarsa terakhir tumbuh bak jamur pada musim hujan. Di bawah kerangka besar ASEAN, misalnya, kita setidaknya bisa mengidentifikasikan hadirnya tiga bentuk kerja sama regional yang terkesan tumpang tindih. Pertama-tama ia tampak dari kerja sama regional ASEAN itu sendiri di bawah gagasan besar komunitas ASEAN dengan target waktu 2015.

Di samping gagasan komunitas ASEAN ini, gagasan komunitas Asia Timur juga tengah bergulir. Gagasan komunitas Asia Timur ini diawali melalui mekanisme ASEAN+3 (ASEAN+Jepang, China, dan Korea Selatan). Walau tanpa target waktu yang spesifik seperti komunitas ASEAN, langkah-langkah konkret telah dilakukan melalui 26 rekomendasi.

Di luar mekanisme ASEAN+3, gagasan komunitas Asia Timur itu juga telah berupaya dipromosikan melalui instrumen KTT Asia Timur. Namun berbeda dengan gagasan ”komunitas” Asia Timur yang ada di ASEAN+3, mekanisme KTT Asia Timur memiliki keanggotaan yang lebih besar, yaitu ASEAN+3+ India, Australia, Selandia Baru, Rusia, dan Amerika Serikat serta tanpa program-program konkret.
Di luar kerangka kerja sama ASEAN ini, terdapat pula gagasan kerja sama regional Asia Pasifik yang lebih luas melalui APEC, yang diluncurkan sejak 1989 dan telah berkembang menjadi 21 anggota.

Kedua, seluruh kerangka kerja sama ini menggambarkan keunikan jika dilihat dari letak posisi geografis Indonesia. Kerangka kerja sama ASEAN tampak jadi lingkaran konsentris geografis terdekat, disusul oleh lingkaran ASEAN+3, KTT Asia Timur, dan diakhiri oleh APEC.

Konsekuensi strategisnya, ASEAN tampak seperti wilayah cincin terpenting (first ring) bagi Indonesia dan yang terluar kurang strategis (outer ring) adalah APEC. Namun, kegagalan pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Phnom Penh untuk menghasilkan komunike bersama dalam masalah Laut China Selatan tampak tidak sesuai dengan gambaran lingkaran strategis ini. Kegagalan ini menyampaikan sinyal yang kuat bahwa soliditas ASEAN tidak lagi seperti masa-masa sebelumnya.

Sinyal yang Membingungkan

Ketiga, Indonesia, pada saat yang sama, terkesan menyampaikan sinyal yang membingungkan. Sukar untuk melihat apakah Indonesia memprioritaskan kerangka ASEAN ataukah ASEAN+3 atau KTT Asia Timur ataukah APEC. Sinyal yang tidak jelas itu tampak dari beberapa peristiwa berikut. Sebelum KTT ASEAN diadakan di Vientiane, November 2004, misalnya, sinyal yang ditangkap pihak luar adalah Indonesia belum menyetujui realisasi KTT Asia Timur dan lebih memfokuskan pada ASEAN+3. Namun, sinyal ini ternyata sangat jauh dari kenyataan.

Contoh lainnya, konsep tentang ASEAN dalam global community of nations yang dihasilkan pada KTT ASEAN di Bali pada 2011. Sebagai tuan rumah KTT itu, peran Indonesia vital untuk menggodok gagasan ini menjadi konsep diplomatik. Konsep ini sebenarnya baik, yaitu untuk membuat ASEAN menjadi lebih terlibat dalam ruang perdebatan dalam berbagai isu di tataran internasional. Namun, di sisi lain, gagasan ini juga menyampaikan pesan bahwa seakan seluruh agenda ASEAN yang telah dicanangkan sudah berjalan dengan baik.

Dalam suatu laporan yang dikeluarkan oleh Universitas PBB di Tokyo, Policy Brief ASEAN Turns 45, yang dibuat oleh Stephen Kingah dan kawan-kawan (Juli 2012), disebutkan, gagasan ini telah membuat ASEAN seperti terjebak dalam suatu agenda yang bersifat kerumunan (crowded agenda). Argumennya, ASEAN bukannya menyelesaikan persoalan gap antara rencana dan tindakan untuk mewujudkan komunitas ASEAN 2015 itu, organisasi regional ini meluncurkan prioritas-prioritas yang jauh di luar tahun 2015 itu.

Contoh lainnya adalah keanggotaan Indonesia dalam G-20. Keanggotaan ini oleh beberapa negara anggota ASEAN dipandang menjadi penanda awal bahwa Indonesia tak lagi memprioritaskan ASEAN.

Atas dasar tiga alasan seperti ini tampak mendesak bagi Indonesia untuk mendefinisikan ulang secara tegas kepentingan strategisnya terhadap ASEAN dan seluruh kerangka kerja sama regional ini. Hal ini tentu saja tidak mudah karena menyangkut kepentingan AS dan China. Bagi AS, APEC sepertinya merupakan wilayah cincin utama negara itu.

Berbeda dengan AS, China tampak lebih mementingkan kerja sama regional yang tidak terlalu luas. China cenderung untuk lebih memfokuskan diri pada gagasan Asia Timur, terutama melalui ASEAN+3. Ada dua alasan mengapa prioritas seperti ini diambil.

Pertama, ruang untuk berperilaku sebagai primus inter pares tampak tersedia lebih luas bagi China dalam kerangka kerja sama regional ASEAN+3 dibandingkan, misalnya, dalam kerangka kerja sama APEC.

Kedua, gagasan kerangka kerja sama regional yang terlalu luas seperti yang ingin dilembagakan melalui APEC telah dicurigai oleh Beijing sebagai instrumen diplomasi Washington untuk secara kolektif memaksa China memenuhi kepentingan strategis AS setelah tekanan-tekanan diplomatik secara bilateral tidak berhasil dilakukan secara maksimal, seperti kegagalan untuk melakukan apresiasi yuan secara substansial.

Keseimbangan yang Dinamis

Dalam kaitan ini, berpihak pada kepentingan strategis AS ataukah pada China bukan tanpa risiko pula. Risiko pertama, berpihak pada China pasti akan membuat Indonesia berada di bawah tekanan AS. Demikian juga sebaliknya. Dalam kaitan ini, layak mencatat kasus yang dihadapi Filipina. Ketika negara ini bersikap keras terhadap China dalam kasus Laut China Selatan baru-baru ini, Beijing segera membuat keputusan untuk menunda seluruh bisnis pariwisata China ke Filipina.

Risiko strategis lainnya, pilihan apa pun yang diambil pasti akan membuat ASEAN menjadi diluted. ASEAN kemungkinan tak lagi akan tampak menjadi wilayah cincin pertama bagi Indonesia. Di luar pilihan ini perlu pula mencermati kemungkinan bersatunya China dengan AS. Seperti ungkapan lama, masalahnya bukan hanya ketika dua gajah tengah berkelahi. Dua gajah yang tengah bercumbu juga sama bahayanya karena rumput yang di sekitarnya juga akan rusak.

Secara normatif, pilihan Indonesia tampak sudah baik. Konsep keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) yang dipakai oleh Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa menjadi gayuh. Intinya adalah tak ada negara luar kawasan (extra-regional power) yang diizinkan berperilaku hegemonik di Asia Tenggara. Masalah yang tertinggal adalah bagaimana mengoperasionalkan konsep ini secara empirik. Batu ujian yang menarik untuk itu barangkali adalah bagaimana Indonesia memperlakukan ASEAN dan APEC di tengah pergulatan kepentingan antara China dan AS. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar