Indonesia, ASEAN
dan APEC
Makmur Keliat ; Pengajar
Ilmu Hubungan Internasional FISIP
Universitas
Indonesia
|
KOMPAS,
08 September 2012
Apakah harus memprioritaskan
ASEAN atau APEC? Jawaban yang tegas terhadap pertanyaan ini harus segera
diberikan Indonesia karena beberapa alasan berikut.
Pertama, kerja sama regional
dalam satu dasawarsa terakhir tumbuh bak jamur pada musim hujan. Di bawah
kerangka besar ASEAN, misalnya, kita setidaknya bisa mengidentifikasikan
hadirnya tiga bentuk kerja sama regional yang terkesan tumpang tindih.
Pertama-tama ia tampak dari kerja sama regional ASEAN itu sendiri di bawah
gagasan besar komunitas ASEAN dengan target waktu 2015.
Di samping gagasan komunitas
ASEAN ini, gagasan komunitas Asia Timur juga tengah bergulir. Gagasan komunitas
Asia Timur ini diawali melalui mekanisme ASEAN+3 (ASEAN+Jepang, China, dan
Korea Selatan). Walau tanpa target waktu yang spesifik seperti komunitas ASEAN,
langkah-langkah konkret telah dilakukan melalui 26 rekomendasi.
Di luar mekanisme ASEAN+3,
gagasan komunitas Asia Timur itu juga telah berupaya dipromosikan melalui
instrumen KTT Asia Timur. Namun berbeda dengan gagasan ”komunitas” Asia Timur
yang ada di ASEAN+3, mekanisme KTT Asia Timur memiliki keanggotaan yang lebih
besar, yaitu ASEAN+3+ India, Australia, Selandia Baru, Rusia, dan Amerika
Serikat serta tanpa program-program konkret.
Di luar kerangka kerja sama
ASEAN ini, terdapat pula gagasan kerja sama regional Asia Pasifik yang lebih
luas melalui APEC, yang diluncurkan sejak 1989 dan telah berkembang menjadi 21
anggota.
Kedua, seluruh kerangka
kerja sama ini menggambarkan keunikan jika dilihat dari letak posisi geografis
Indonesia. Kerangka kerja sama ASEAN tampak jadi lingkaran konsentris geografis
terdekat, disusul oleh lingkaran ASEAN+3, KTT Asia Timur, dan diakhiri oleh
APEC.
Konsekuensi strategisnya,
ASEAN tampak seperti wilayah cincin terpenting (first ring) bagi Indonesia dan
yang terluar kurang strategis (outer ring) adalah APEC. Namun, kegagalan
pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di Phnom Penh untuk menghasilkan komunike
bersama dalam masalah Laut China Selatan tampak tidak sesuai dengan gambaran
lingkaran strategis ini. Kegagalan ini menyampaikan sinyal yang kuat bahwa
soliditas ASEAN tidak lagi seperti masa-masa sebelumnya.
Sinyal yang Membingungkan
Ketiga, Indonesia, pada saat
yang sama, terkesan menyampaikan sinyal yang membingungkan. Sukar untuk melihat
apakah Indonesia memprioritaskan kerangka ASEAN ataukah ASEAN+3 atau KTT Asia
Timur ataukah APEC. Sinyal yang tidak jelas itu tampak dari beberapa peristiwa
berikut. Sebelum KTT ASEAN diadakan di Vientiane, November 2004, misalnya,
sinyal yang ditangkap pihak luar adalah Indonesia belum menyetujui realisasi KTT
Asia Timur dan lebih memfokuskan pada ASEAN+3. Namun, sinyal ini ternyata
sangat jauh dari kenyataan.
Contoh lainnya, konsep
tentang ASEAN dalam global community of
nations yang dihasilkan pada KTT ASEAN di Bali pada 2011. Sebagai tuan
rumah KTT itu, peran Indonesia vital untuk menggodok gagasan ini menjadi konsep
diplomatik. Konsep ini sebenarnya baik, yaitu untuk membuat ASEAN menjadi lebih
terlibat dalam ruang perdebatan dalam berbagai isu di tataran internasional.
Namun, di sisi lain, gagasan ini juga menyampaikan pesan bahwa seakan seluruh
agenda ASEAN yang telah dicanangkan sudah berjalan dengan baik.
Dalam suatu laporan yang
dikeluarkan oleh Universitas PBB di Tokyo, Policy
Brief ASEAN Turns 45, yang dibuat oleh Stephen Kingah dan kawan-kawan (Juli
2012), disebutkan, gagasan ini telah membuat ASEAN seperti terjebak dalam suatu
agenda yang bersifat kerumunan (crowded
agenda). Argumennya, ASEAN bukannya menyelesaikan persoalan gap antara rencana dan tindakan untuk
mewujudkan komunitas ASEAN 2015 itu, organisasi regional ini meluncurkan
prioritas-prioritas yang jauh di luar tahun 2015 itu.
Contoh lainnya adalah
keanggotaan Indonesia dalam G-20. Keanggotaan ini oleh beberapa negara anggota
ASEAN dipandang menjadi penanda awal bahwa Indonesia tak lagi memprioritaskan
ASEAN.
Atas dasar tiga alasan
seperti ini tampak mendesak bagi Indonesia untuk mendefinisikan ulang secara
tegas kepentingan strategisnya terhadap ASEAN dan seluruh kerangka kerja sama
regional ini. Hal ini tentu saja tidak mudah karena menyangkut kepentingan AS
dan China. Bagi AS, APEC sepertinya merupakan wilayah cincin utama negara itu.
Berbeda dengan AS, China
tampak lebih mementingkan kerja sama regional yang tidak terlalu luas. China
cenderung untuk lebih memfokuskan diri pada gagasan Asia Timur, terutama
melalui ASEAN+3. Ada dua alasan mengapa prioritas seperti ini diambil.
Pertama, ruang untuk
berperilaku sebagai primus inter pares tampak tersedia lebih luas bagi China
dalam kerangka kerja sama regional ASEAN+3 dibandingkan, misalnya, dalam
kerangka kerja sama APEC.
Kedua, gagasan kerangka
kerja sama regional yang terlalu luas seperti yang ingin dilembagakan melalui
APEC telah dicurigai oleh Beijing sebagai instrumen diplomasi Washington untuk
secara kolektif memaksa China memenuhi kepentingan strategis AS setelah
tekanan-tekanan diplomatik secara bilateral tidak berhasil dilakukan secara
maksimal, seperti kegagalan untuk melakukan apresiasi yuan secara substansial.
Keseimbangan yang Dinamis
Dalam kaitan ini, berpihak
pada kepentingan strategis AS ataukah pada China bukan tanpa risiko pula.
Risiko pertama, berpihak pada China pasti akan membuat Indonesia berada di
bawah tekanan AS. Demikian juga sebaliknya. Dalam kaitan ini, layak mencatat
kasus yang dihadapi Filipina. Ketika negara ini bersikap keras terhadap China
dalam kasus Laut China Selatan baru-baru ini, Beijing segera membuat keputusan
untuk menunda seluruh bisnis pariwisata China ke Filipina.
Risiko strategis lainnya,
pilihan apa pun yang diambil pasti akan membuat ASEAN menjadi diluted. ASEAN kemungkinan tak lagi akan
tampak menjadi wilayah cincin pertama bagi Indonesia. Di luar pilihan ini perlu
pula mencermati kemungkinan bersatunya China dengan AS. Seperti ungkapan lama,
masalahnya bukan hanya ketika dua gajah tengah berkelahi. Dua gajah yang tengah
bercumbu juga sama bahayanya karena rumput yang di sekitarnya juga akan rusak.
Secara normatif, pilihan
Indonesia tampak sudah baik. Konsep keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium) yang dipakai oleh Menteri Luar Negeri RI Marty
Natalegawa menjadi gayuh. Intinya
adalah tak ada negara luar kawasan (extra-regional
power) yang diizinkan berperilaku hegemonik di Asia Tenggara. Masalah yang
tertinggal adalah bagaimana mengoperasionalkan konsep ini secara empirik. Batu
ujian yang menarik untuk itu barangkali adalah bagaimana Indonesia
memperlakukan ASEAN dan APEC di tengah pergulatan kepentingan antara China dan
AS. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar