Minggu, 09 September 2012

Apokaliptisisme Densus 88


Apokaliptisisme Densus 88
Tandi Skober ;  Budayawan
MEDIA INDONESIA, 08 September 2012


ADAKAH hubungan antara perlawanan kultural Cirebon 1818 dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri? Tentu, hanya Tuhan yang mahatahu akan hal tersebut.

Meski begitu, lihatlah logo Densus 88 dengan burung hantu beralis buku yang terbuka. Mata burung hantu itu mirip dua angka nol yang berbaring horizontal membentuk angka delapan. Konon, bola mata yang nyaris menyatu itu mempunyai kemampuan penglihatan binokular dengan radius lingkar pandang 270 derajat.

Angka delapan dalam jiwa manusia Jawa merupakan tempat menyimpan air yang terbuat dari tanah liat bernama gentong padasan dan pedaringan. Simak bentuk gentong padasan; ada lingkar kecil yang disusul dengan lingkar besar yang ditengarai sebagai tetenger proses prosesi kontemplasi.

Kalbu manusia Jawa diejawantahkan dalam simbol pedaringan, sedangkan gentong padasan ditakwil para pemahat kultural sebagai simbol kesucian jasadi. Tak aneh, manakala manusia Jawa tiap kali melihat gentong padasan, konon, itu seperti melihat kampung akhirat.

Dari ruang budaya awal abad ke-19 itu, tidak mustahil apokaliptisisme Densus 88 dialirkan. Kenapa? Saat itu, 18 November 1818, gerimis tipis di ujung malam jatuh di tanah basah hutan jati Kedongdong, Cirebon.

Hujan baru reda. Dua tokoh ‘pemberontak Cirebon’, yaitu Bagus Serit dan Nariem, dirantai dan jalan tertatih-tatih menuju tiang gantung eksekusi. Jemari Nariem zikirkan kalimat-kalimat tauhid. Matanya tengadah memandang lengkung langit bertabur bintang. Ada bulan sabit, pucat di balik awan.

Nariem terus-menerus menatap langit. Ia tahu betul di balik kerimbunan daun jati, ada puluhan wong Cirebon sedang zikir kalong, bertebaran di atas pohon hutan jati. Nariem memejamkan mata. Detik menit berlalu. Frasa lama masa kanak-kanak melintasi angin sunyi, sekedhap netra ngerupa gilang gumilang lir surya ingk kang dipun sebut lintang jauh har (pejamkan mata, maka akan tampak cahaya gemilang bintang jauhar). Nairem pun memejam mata. Saat itulah, sebuah hentakan keras menjerat lehernya dan Bagus Serit.

Di detik itu, para wong Kedongdong, Cirebon, mendendangkan kiser Cirebon Pegot. Kiser penghantar roh itu mengaliri tanah bertasbih darah, esok, ketika diriku dihentikan kasih sayang/Saat gerhana bulan/Matahari kembar lima/Terhampar bintang bercahaya/Tak satu pun ada yang hidup/Hanya kamu dan aku/Wafat menaiki langit-langit surga.

Sejarah Peteng

Era 1818 itu dikenal sebagai sejarah peteng (kelam) Cirebon. Sejarah gelap yang pedih. Pemicu awalnya konon bermula ketika pemerintah Hindia Belanda berhasil mereformasi lampah laku politik, sosial, ekonomi, budaya, hingga ke akidah religi. Akibat yang terjadi ialah mutilasi teologi kultural yang memprihatinkan. Titik pedih sejarah gelap Cirebon itu dimulai pada 1809. Itu disebabkan adanya mutilasi teologi kultural terhadap kepemimpin an sultan-sultan di Cirebon. Tanah dan aset yang ada di atas mereka dijadikan milik pemerintah Hindia Belanda, sedangkan sultan-sultan hanya diangkat sebagai pegawai negeri dan mendapat gaji.

Tak pelak, kepemimpinan bergeser dari sultan-sultan ke tangan para agen kebudayaan yang tinggal bersama penduduk pribumi di perdesaan.
Dengan semakin merosotnya posisi dan kepemimpinan para sultan Cirebon, figur agen budaya kian signifikan. Mereka mempunyai pengaruh melebihi dari yang diperkirakan pihak kolonial.

Pemberontakan Cirebon 1818 tak pelak merupakan konsekuensi dari reformasi teologi kultural yang dicanangkan pemerintah Hindia Belanda. Artinya, suatu gerakan dapat timbul apabila sebelumnya telah tercipta suatu suasana yang kondusif untuk menimbulkan suatu perilaku kolektif.

Adanya landelijk stelsel yang memberlakukan aneka pajak kepada rakyat seperti bea penyumpleng (semacam pajak rumah), pangawang-awang (pajak bagi pemilik tanah pekarangan), pajigar (pajak bagi pemilik ternak). Ada juga wilah-welit (pajak padi), pejongket (pajak yang dikenakan kepada penduduk pribumi yang mau mengadakan pindah tempat kediaman), kerig aji (pajak perorangan), dan entah apa lagi, telah menjadi pemicu terjadinya pemberontakan Cirebon 1818.

Tak aneh, manakala Van der Kemp (1979: 64) meyakini terjadinya perlawanan rakyat Cirebon disebabkan dendam dan ketidakpuasan yang sangat sulit dipahami, sekaligus perlawanan anomali yang aneh. Selain itu, pada 1810 Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan peraturan bahwa para haji harus memakai pas jalan jika mereka mau pergi dari satu tempat di Jawa ke tempat lain. Alasan peraturan tersebut yaitu demi `keamanan dan ketertiban' (Vredenbregt dalam Steenbrink, 1984: 235). Letnan Gubernur Raffles sekalipun tertarik kepada kebudayaan Jawa, tetapi tetap menganggap Islam sebagai unsur yang berbahaya.

Tak pelak, para santri memosisikan pemerintah kolonial sebagai pemerintahan orang kafir. Selain itu, perlawanan rakyat pada abad ke-19 tidak terlepas dari `ide' atau gagasan yang sejak semula telah merasuki kesadaran masyarakat tentang tatanan sosial yang adil dan dianggap pasti terwujud. Ide itu berupa sistem kepercayaan Mesias, yakni harapan akan datangnya `ratu adil' yang akan membawa kejayaan dan zaman keemasan melalui tindakan menghilangkan kekacauan yang sedang berlangsung. Hal itulah yang mewarnai sasaran dan ideologi perlawanan rakyat Cirebon 1818.

Terinspirasi Eksekusi

Yang menarik, seusai eksekusi 18 November 1818, para santri mengumpulkan tanah liat, membentuk sesuatu seperti hewan, wayang, dan entah apa lagi hingga menjadi gentong. Seraya membuat gerabah, kiser Cirebon Pegot pun dialirkan. Meski dengan bisik-bisik sufistis, makna tersembunyi dalam Cirebon Pegot dibicarakan juga. Ada ajaran tentang salat lima waktu (srengenge kembar lelima), perenungan terhadap penciptaan alam raya, kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos (lintang alit gumilar sing), keesaan zat Allah SWT (lintang alit gumilar sing), hingga berharap atas rida Allah SWT agar mereka masuk surga (Mung sira kelawan isun/Matiya mungging suwarga).

Gentong Cirebon setidaknya mengajarkan bahwa manusia Cirebon yang kultural ialah manusia yang tumbuh dan berkembang dalam lanskap keselarasan dan keserasian. Mata air kinasih kerap terpancar dari intersubjektivitas sejatining manusia. Sebab, manusia ialah mahkota kultural.

Manusia ialah bait-bait Cirebon Pegot yang terpuruk di sudut-sudut gelap. Di titik itulah muncul kesadaran sekaligus solidaritas yang pelan-pelan menyemangati untuk terus membuat gentong Cirebon. Itulah sebabnya garis linier antara manusia Cirebon, gentong Cirebon, dan pemberontakan Cirebon 1818 tidak bersifat eksklusif, tapi bergerak dalam lingkar-lingkar antarmahkota kultural itu.

Itulah esensi apokaliptisisme gentong Cirebon abad ke-19 yang bersimbol angka 8. Tidak jelas apakah angka 8 pada Densus 88 Antiteror terinspirasi oleh eksekusi pemberontakan Cirebon 1818 atau tidak. Meski begitu, tidak mustahil sepasang mata burung hantu--simbol logo Densus 88--di abad ke-21 ini telah bersarang di ruang gerabah yang terbuat dari tanah liat bernama gentong padasan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar