Apokaliptisisme
Densus 88
Tandi Skober ; Budayawan
|
MEDIA
INDONESIA, 08 September 2012
ADAKAH hubungan antara perlawanan kultural Cirebon 1818 dengan
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri? Tentu, hanya Tuhan yang mahatahu
akan hal tersebut.
Meski begitu, lihatlah logo Densus 88 dengan burung hantu beralis
buku yang terbuka. Mata burung hantu itu mirip dua angka nol yang berbaring
horizontal membentuk angka delapan. Konon, bola mata yang nyaris menyatu itu
mempunyai kemampuan penglihatan binokular dengan radius lingkar pandang 270
derajat.
Angka delapan dalam jiwa manusia Jawa merupakan tempat menyimpan
air yang terbuat dari tanah liat bernama gentong padasan dan pedaringan. Simak
bentuk gentong padasan; ada lingkar kecil yang disusul dengan lingkar besar
yang ditengarai sebagai tetenger
proses prosesi kontemplasi.
Kalbu manusia Jawa diejawantahkan dalam simbol pedaringan,
sedangkan gentong padasan ditakwil para pemahat kultural sebagai simbol
kesucian jasadi. Tak aneh, manakala manusia Jawa tiap kali melihat gentong
padasan, konon, itu seperti melihat kampung akhirat.
Dari ruang budaya awal abad ke-19 itu, tidak mustahil
apokaliptisisme Densus 88 dialirkan. Kenapa? Saat itu, 18 November 1818,
gerimis tipis di ujung malam jatuh di tanah basah hutan jati Kedongdong,
Cirebon.
Hujan baru reda. Dua tokoh ‘pemberontak Cirebon’, yaitu Bagus
Serit dan Nariem, dirantai dan jalan tertatih-tatih menuju tiang gantung
eksekusi. Jemari Nariem zikirkan kalimat-kalimat tauhid. Matanya tengadah
memandang lengkung langit bertabur bintang. Ada bulan sabit, pucat di balik
awan.
Nariem terus-menerus menatap langit. Ia tahu betul di balik
kerimbunan daun jati, ada puluhan wong Cirebon sedang zikir kalong, bertebaran
di atas pohon hutan jati. Nariem memejamkan mata. Detik menit berlalu. Frasa
lama masa kanak-kanak melintasi angin sunyi, sekedhap netra ngerupa gilang
gumilang lir surya ingk kang dipun sebut lintang jauh har (pejamkan mata, maka
akan tampak cahaya gemilang bintang jauhar). Nairem pun memejam mata. Saat
itulah, sebuah hentakan keras menjerat lehernya dan Bagus Serit.
Di detik itu, para wong
Kedongdong, Cirebon, mendendangkan kiser
Cirebon Pegot. Kiser penghantar roh itu
mengaliri tanah bertasbih darah, esok, ketika diriku dihentikan kasih
sayang/Saat gerhana bulan/Matahari kembar lima/Terhampar bintang bercahaya/Tak
satu pun ada yang hidup/Hanya kamu dan aku/Wafat menaiki langit-langit surga.
Sejarah Peteng
Era 1818 itu dikenal sebagai sejarah peteng (kelam) Cirebon. Sejarah gelap yang pedih. Pemicu awalnya
konon bermula ketika pemerintah Hindia Belanda berhasil mereformasi lampah laku
politik, sosial, ekonomi, budaya, hingga ke akidah religi. Akibat yang terjadi
ialah mutilasi teologi kultural yang memprihatinkan. Titik pedih sejarah gelap
Cirebon itu dimulai pada 1809. Itu disebabkan adanya mutilasi teologi kultural
terhadap kepemimpin an sultan-sultan di Cirebon. Tanah dan aset yang ada di
atas mereka dijadikan milik pemerintah Hindia Belanda, sedangkan sultan-sultan
hanya diangkat sebagai pegawai negeri dan mendapat gaji.
Tak pelak, kepemimpinan bergeser dari sultan-sultan ke tangan para
agen kebudayaan yang tinggal bersama penduduk pribumi di perdesaan.
Dengan semakin merosotnya posisi dan kepemimpinan para sultan
Cirebon, figur agen budaya kian signifikan. Mereka mempunyai pengaruh melebihi
dari yang diperkirakan pihak kolonial.
Pemberontakan Cirebon 1818 tak pelak merupakan konsekuensi dari
reformasi teologi kultural yang dicanangkan pemerintah Hindia Belanda. Artinya,
suatu gerakan dapat timbul apabila sebelumnya telah tercipta suatu suasana yang
kondusif untuk menimbulkan suatu perilaku kolektif.
Adanya landelijk stelsel
yang memberlakukan aneka pajak kepada rakyat seperti bea penyumpleng (semacam pajak rumah), pangawang-awang (pajak bagi pemilik tanah pekarangan), pajigar (pajak bagi pemilik ternak). Ada
juga wilah-welit (pajak padi), pejongket (pajak yang dikenakan kepada
penduduk pribumi yang mau mengadakan pindah tempat kediaman), kerig aji (pajak perorangan), dan entah
apa lagi, telah menjadi pemicu terjadinya pemberontakan Cirebon 1818.
Tak aneh, manakala Van der Kemp (1979: 64) meyakini terjadinya
perlawanan rakyat Cirebon disebabkan dendam dan ketidakpuasan yang sangat sulit
dipahami, sekaligus perlawanan anomali yang aneh. Selain itu, pada 1810
Gubernur Jenderal Daendels mengeluarkan peraturan bahwa para haji harus memakai
pas jalan jika mereka mau pergi dari satu tempat di Jawa ke tempat lain. Alasan
peraturan tersebut yaitu demi `keamanan dan ketertiban' (Vredenbregt dalam Steenbrink, 1984: 235). Letnan Gubernur Raffles
sekalipun tertarik kepada kebudayaan Jawa, tetapi tetap menganggap Islam
sebagai unsur yang berbahaya.
Tak pelak, para santri memosisikan pemerintah kolonial sebagai
pemerintahan orang kafir. Selain itu, perlawanan rakyat pada abad ke-19 tidak
terlepas dari `ide' atau gagasan yang sejak semula telah merasuki kesadaran
masyarakat tentang tatanan sosial yang adil dan dianggap pasti terwujud. Ide
itu berupa sistem kepercayaan Mesias, yakni harapan akan datangnya `ratu adil'
yang akan membawa kejayaan dan zaman keemasan melalui tindakan menghilangkan
kekacauan yang sedang berlangsung. Hal itulah yang mewarnai sasaran dan
ideologi perlawanan rakyat Cirebon 1818.
Terinspirasi Eksekusi
Yang menarik, seusai eksekusi 18 November 1818, para santri
mengumpulkan tanah liat, membentuk sesuatu seperti hewan, wayang, dan entah apa
lagi hingga menjadi gentong. Seraya
membuat gerabah, kiser Cirebon Pegot
pun dialirkan. Meski dengan bisik-bisik sufistis, makna tersembunyi dalam
Cirebon Pegot dibicarakan juga. Ada ajaran tentang salat lima waktu (srengenge kembar lelima), perenungan
terhadap penciptaan alam raya, kemanunggalan makrokosmos dan mikrokosmos (lintang alit gumilar sing), keesaan zat
Allah SWT (lintang alit gumilar sing),
hingga berharap atas rida Allah SWT agar mereka masuk surga (Mung sira kelawan isun/Matiya mungging
suwarga).
Gentong Cirebon setidaknya
mengajarkan bahwa manusia Cirebon yang kultural ialah manusia yang tumbuh dan
berkembang dalam lanskap keselarasan dan keserasian. Mata air kinasih kerap
terpancar dari intersubjektivitas sejatining
manusia. Sebab, manusia ialah mahkota kultural.
Manusia ialah bait-bait Cirebon
Pegot yang terpuruk di sudut-sudut gelap. Di titik itulah muncul kesadaran
sekaligus solidaritas yang pelan-pelan menyemangati untuk terus membuat gentong Cirebon. Itulah sebabnya garis
linier antara manusia Cirebon, gentong
Cirebon, dan pemberontakan Cirebon 1818 tidak bersifat eksklusif, tapi bergerak
dalam lingkar-lingkar antarmahkota kultural itu.
Itulah esensi apokaliptisisme
gentong Cirebon abad ke-19 yang bersimbol angka 8. Tidak jelas apakah angka 8
pada Densus 88 Antiteror terinspirasi oleh eksekusi pemberontakan Cirebon 1818
atau tidak. Meski begitu, tidak mustahil sepasang mata burung hantu--simbol
logo Densus 88--di abad ke-21 ini telah bersarang di ruang gerabah yang terbuat
dari tanah liat bernama gentong padasan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar