Senin, 17 September 2012

Globalisasi Jaran Kepang


Globalisasi Jaran Kepang
L Murbandono Hs ;  Peminat dan Pengamat Peradaban,
Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 15 September 2012


KLARIFIKASI Gubernur Bibit Waluyo tentang jaran kepang (SM, 11/09/12): ia tidak menilai kesenian jaran kepang secara keseluruhan jelek, tapi tarian yang ia saksikan di Magelang itu jelek. Ia ingin ditampilkan yang terbaik mengingat penonton tak hanya dari Indonesia tapi juga dari beberapa negara di dunia.

Bila berkonteks pariwisata global, klarifikasi itu bukan hanya sehat melainkan justru menjadi pekerjaan rumah bagi kesenian itu dan semua pihak terkait dan ikutannya, termasuk Gubernur. Jadi, apakah ada masalah? Ada. Permasalahannya, menilai baik atau jelek tampilan kesenian, termasuk jaran kepang, butuh banyak syarat yang acapkali sukar sekali.

Menyangkut ’’masalah’’ itu, tiga tahun lalu (3 Agustus 2009), saya berbincang dengan sedikitnya 100 tokoh perkumpulan reog atau jaran kepang di Selo, lereng Merapi (ada lebih 60 perkumpulan kesenian itu di Selo Kabupaten Boyolali), dalam lokakarya ’’Warna-warni Reog di Selo Menuju Masa Depan’’.

Berbincang sehari suntuk tentang jaran kepang, tentu menyinggung aneka istilah, filsafat, sejarah, geografi penyebaran, pakem, dan sebagainya. Artikel ini sekadar mozaiknya, menyangkut tiga hal dasar, yakni lima pemahaman dasar kesenian tersebut, pakem, serta kaitan jaran kepang dengan globalisasi.

Pemahaman Dasar

Pertama; jaran kepang adalah bagian kesenian Nusantara dari Jawa masa silam yang pekat mistik (ndadi atau kerasukan) sebagai salah satu daya tarik. Di mana saja di dunia, jika ada kelompok orang Jawa, hampir selalu ada grup jaran kepang. Seni teater-tari-nyanyi ini berkembang luas mengalami transformasi makna dan campur-aduk nilai sehingga muncul banyak istilah di antaranya kuda lumping, reog, ebeg, jatilan dan sebagainya yang sulit (warna-warni) jika menelusuri asal-usulnya.

Kedua; ia merefleksikan heroisme pasukan berkuda yang muncul dalam gerakan ritmis-dinamis-agresif kuda-kudaan anyaman bambu, menirukan gerak kuda perang, menggambarkan pertarungan baik lawan jahat, dengan memadukan olah tari dan daya magis.

Ketiga; seni tradisi rakyat jelata yang blakasuta, egaliter, dan fungsional. Ia berbeda dari seni Jawa lain semisal wayang kulit yang sarat dengan tata cara feodal. Ia fungsional sebab biasa dipentaskan pada acara hajatan, upacara hari besar nasional, atau menyambut tamu resmi. Nilai fungsional jaran kepang juga demi tujuan ritual, yaitu sebagai penolak bala, bencana, wabah, pagebluk, dan sebagainya.

Keempat; dengan dasar magis, seni jaran kepang mempunyai kaidah, pantang larang, pitutur, wewaler, dan ritual. Itu semua satu sama lain berbeda dalam tiap kelompok, terpulang sang guru-pawang masing-masing sehingga kesenian itu menjadi ’’eksklusif’’ dan sangat otonom. Ini membuat peradaban literasi tak mudah menembusnya. Sejauh saya tahu, kajian ilmiah secara khusus tentang jaran kepang amat minim, meski kita punya banyak pakar kejawaan kelas begawan.

Kelima; kesenian warisan leluhur yang harus dilestarikan. Dalam proses menuju pergelaran, ia sungguh edukasional, meniscayakan gotong royong yang kini makin langka. Mengenai pakem, kesenian ini punya banyak. Semua bermuara pada tiga pakem dasar, yaitu wiraga (penguasaan teknik gerak), wirama (ketepatan gerak dengan irama), serta wirasa (pemahaman dan penjiwaan menyeluruh akan karakter tari).

Tiga pakem dasar itu terpenuhi dalam kinerja individual dan kelompok. Dalam kinerja kelompok di antaranya terlihat pada ketepatan teknik gerak peralihan pindah tempat sehingga hafal urutan tari menjadi syarat mutlak; keserasian gerak penari dengan iringan musik; keserasian tempo gerak dengan irama musik secara keseluruhan; terjadi interaksi harmonis antarpenari; penguasaan ruang atau blocking; keserasian tata rias dan busana.

Menyangkut kinerja individual akan terlihat dalam ketepatan teknik gerak tubuh, kaki, tangan, kepala, dan ekspresi wajah. Untuk itu, pemain harus menguasai paling sedikit ragam gerak: sampak pambuka, iring-iring, sampak perangan, mlaku egol, congklang kerep, ukel, ogek bahu, lungguh jengkeng, sembahan, mlaku lembehan, mencolot manthuk, polah sikil, ukel ulap, kebyokan sampur, sarukan kerep, entrokan, trisig, bumi langit, lawung, sarukan lombo, mlaku mapat, singget, ukel Karno, gedrug, samplukan sampur, dan edrek.

Semua pihak terkait perlu memahami kekuatan dan kelemahan seni jaran kepang dalam pasar global sehingga bisa menyusun agenda pendek, tengah, dan panjang. Banyak hal bisa diketengahkan. Di antaranya dua wacana berikut.

Pertama; bisakah digarap pergelaran jarang kepang yang bukan hanya berdasar narasi konvensional melainkan berdasar kisah atau sejarah modern bernilai universal yang amat kaya? Maka perlu memikirkan lebih kolaborasi jaran kepang dengan berbagai kesenian lain.

Kedua; menjawab kebutuhan pariwisata global mancanegara, yang umumnya lebih menyukai kesenian bernas, padat, dan lengkap, seberapa jauh pergelaran alternatif bisa dilakukan oleh kesenian jaran kepang? Jaran kepang ditantang menjawab dilemanya sendiri: mempertahankan tampilan ndadi keunikan diri magisnya dengan tempo bertele-tele yang niscaya, di hadapan tuntutan tontonan modern yang lebih ringkas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar