Globalisasi
Jaran Kepang
L Murbandono Hs ; Peminat dan Pengamat Peradaban,
Tinggal
di Ambarawa Kabupaten Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 15 September 2012
KLARIFIKASI Gubernur Bibit Waluyo
tentang jaran kepang (SM, 11/09/12): ia tidak menilai kesenian jaran kepang
secara keseluruhan jelek, tapi tarian yang ia saksikan di Magelang itu jelek.
Ia ingin ditampilkan yang terbaik mengingat penonton tak hanya dari Indonesia
tapi juga dari beberapa negara di dunia.
Bila berkonteks pariwisata
global, klarifikasi itu bukan hanya sehat melainkan justru menjadi pekerjaan
rumah bagi kesenian itu dan semua pihak terkait dan ikutannya, termasuk
Gubernur. Jadi, apakah ada masalah? Ada. Permasalahannya, menilai baik atau
jelek tampilan kesenian, termasuk jaran kepang, butuh banyak syarat yang
acapkali sukar sekali.
Menyangkut ’’masalah’’ itu, tiga
tahun lalu (3 Agustus 2009), saya berbincang dengan sedikitnya 100 tokoh
perkumpulan reog atau jaran kepang di Selo, lereng Merapi (ada lebih 60
perkumpulan kesenian itu di Selo Kabupaten Boyolali), dalam lokakarya
’’Warna-warni Reog di Selo Menuju Masa Depan’’.
Berbincang sehari suntuk tentang
jaran kepang, tentu menyinggung aneka istilah, filsafat, sejarah, geografi
penyebaran, pakem, dan sebagainya. Artikel ini sekadar mozaiknya, menyangkut
tiga hal dasar, yakni lima pemahaman dasar kesenian tersebut, pakem, serta
kaitan jaran kepang dengan globalisasi.
Pemahaman Dasar
Pertama; jaran kepang adalah
bagian kesenian Nusantara dari Jawa masa silam yang pekat mistik (ndadi atau
kerasukan) sebagai salah satu daya tarik. Di mana saja di dunia, jika ada
kelompok orang Jawa, hampir selalu ada grup jaran kepang. Seni
teater-tari-nyanyi ini berkembang luas mengalami transformasi makna dan
campur-aduk nilai sehingga muncul banyak istilah di antaranya kuda lumping, reog, ebeg, jatilan dan sebagainya yang
sulit (warna-warni) jika menelusuri asal-usulnya.
Kedua; ia merefleksikan heroisme
pasukan berkuda yang muncul dalam gerakan ritmis-dinamis-agresif kuda-kudaan
anyaman bambu, menirukan gerak kuda perang, menggambarkan pertarungan baik
lawan jahat, dengan memadukan olah tari dan daya magis.
Ketiga; seni tradisi rakyat
jelata yang blakasuta, egaliter, dan fungsional. Ia berbeda dari seni Jawa lain
semisal wayang kulit yang sarat dengan tata cara feodal. Ia fungsional sebab
biasa dipentaskan pada acara hajatan, upacara hari besar nasional, atau
menyambut tamu resmi. Nilai fungsional jaran kepang juga demi tujuan ritual,
yaitu sebagai penolak bala, bencana, wabah, pagebluk, dan sebagainya.
Keempat; dengan dasar magis, seni
jaran kepang mempunyai kaidah, pantang larang, pitutur, wewaler, dan ritual.
Itu semua satu sama lain berbeda dalam tiap kelompok, terpulang sang
guru-pawang masing-masing sehingga kesenian itu menjadi ’’eksklusif’’ dan
sangat otonom. Ini membuat peradaban literasi tak mudah menembusnya. Sejauh
saya tahu, kajian ilmiah secara khusus tentang jaran kepang amat minim, meski
kita punya banyak pakar kejawaan kelas begawan.
Kelima; kesenian warisan leluhur
yang harus dilestarikan. Dalam proses menuju pergelaran, ia sungguh
edukasional, meniscayakan gotong royong yang kini makin langka. Mengenai pakem,
kesenian ini punya banyak. Semua bermuara pada tiga pakem dasar, yaitu wiraga
(penguasaan teknik gerak), wirama (ketepatan
gerak dengan irama), serta wirasa
(pemahaman dan penjiwaan menyeluruh akan karakter tari).
Tiga pakem dasar itu terpenuhi
dalam kinerja individual dan kelompok. Dalam kinerja kelompok di antaranya
terlihat pada ketepatan teknik gerak peralihan pindah tempat sehingga hafal
urutan tari menjadi syarat mutlak; keserasian gerak penari dengan iringan
musik; keserasian tempo gerak dengan irama musik secara keseluruhan; terjadi
interaksi harmonis antarpenari; penguasaan ruang atau blocking; keserasian tata
rias dan busana.
Menyangkut kinerja individual
akan terlihat dalam ketepatan teknik gerak tubuh, kaki, tangan, kepala, dan
ekspresi wajah. Untuk itu, pemain harus menguasai paling sedikit ragam gerak: sampak pambuka, iring-iring, sampak
perangan, mlaku egol, congklang kerep, ukel, ogek bahu, lungguh jengkeng,
sembahan, mlaku lembehan, mencolot manthuk, polah sikil, ukel ulap, kebyokan
sampur, sarukan kerep, entrokan, trisig, bumi langit, lawung, sarukan lombo,
mlaku mapat, singget, ukel Karno, gedrug, samplukan sampur, dan edrek.
Semua pihak terkait perlu
memahami kekuatan dan kelemahan seni jaran kepang dalam pasar global sehingga
bisa menyusun agenda pendek, tengah, dan panjang. Banyak hal bisa
diketengahkan. Di antaranya dua wacana berikut.
Pertama; bisakah digarap
pergelaran jarang kepang yang bukan hanya berdasar narasi konvensional
melainkan berdasar kisah atau sejarah modern bernilai universal yang amat kaya?
Maka perlu memikirkan lebih kolaborasi jaran kepang dengan berbagai kesenian
lain.
Kedua; menjawab kebutuhan
pariwisata global mancanegara, yang umumnya lebih menyukai kesenian bernas,
padat, dan lengkap, seberapa jauh pergelaran alternatif bisa dilakukan oleh
kesenian jaran kepang? Jaran kepang ditantang menjawab dilemanya sendiri:
mempertahankan tampilan ndadi keunikan
diri magisnya dengan tempo bertele-tele
yang niscaya, di hadapan tuntutan tontonan modern yang lebih ringkas. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar