Selasa, 11 September 2012

Fossil-Capitalism & Demokrasi


Fossil-Capitalism & Demokrasi
Marwan Ja’far ;  Anggota DPR, Penulis Buku “Energynomics”,
Ketua Dewan Pembina Laskar Aswaja
SINDO, 11 September 2012


Dua tahun lalu lembaga think tank strategi militer Jerman, Department Future Analysis pada Bundeswehr Transformation Center, merilis hasil riset tentang perkiraan krisis ekonomi politik dunia akibat “peak oil”. 

Cadangan minyak dunia melampaui titik baliknya dan perlahan produksi minyak merosot. Kondisi ini berpotensi memicu krisis suplai minyak dunia, gejolak pasar komoditas, dan saham global. Ada pula kekhawatiran dampak “peak oil” terhadap keamanan dan survival demokrasi kirakira 15-30 tahun akan datang. (Der Spiegel, 2010).  Kajian itu dirilis tepat dua tahun ketika krisis keuangan global dengan episentrumnya di Amerika Serikat (AS) mengimbas ke tata ekonomi global pada 2008.

Di Indonesia saat itu pemerintah mengantisipasi krisis dengan policy response antara lain bailout Bank Century. Pemerintah juga menaikkan harga bensin premium yang dalam waktu yang tidak lama kembali diturunkan. Di permukaan sinyal krisis itu hanya dicermati dan dipahami akibat kredit macet pada sektor properti (housing bubble) di AS yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar dunia.

Padahal, akar krisisnya ialah lonjakan harga minyak. Secara ekonomis, bahan bakar minyak merupakan kekecualian dari hukum penawaran-permintaan. Pada 2008, ketika harga minyak dunia naik dari USD20 per barel pada 2000 ke posisi USD147 per barel, justru diikuti oleh permintaan minyak sangat tinggi di pasar dunia. (Rubin, 2009)

Anatomi Kapitalisme Fosil

Revolusi industri abad ke-17 hingga 18 di Eropa dan kapitalisme fosil (fossil-capitalism) memiliki pola hubungan historis dan signifikan melalui eksploitasi bahan bakar fosil. Imperialisme merupakan anak kandung dari globalisasi kapitalisme fosil karena akumulasi kapital hanya dapat dijamin oleh pasokan energi fosil dan akses yang konsisten ke sumber-sumber energi fosil. (Altvater & Mahnkopft, 1997).

Dampaknya ialah lahirnya tata ekonomi-politik pasar dunia yang berbasis kapitalisme fosil. (Macpherson, 2006; Therborn,1997; Dahl,1998) Kapitalisme fosil memacu Produk Dunia Bruto selama 100 tahun terakhir. Konsumsi energi naik dari 22 EJ (exajoule= 1018 joule) ke level 355 EJ. Selama periode 1890-1990 itu, total produk dunia bruto naik dari USD2 triliun ke level USD32 triliun (Smil, 2004).

Artinya, ekonomi dunia naik 14 kali lipat,sementara konsumsi energi naik 16 kali lipat dengan mayoritas konsumsi energi bahan bakar fosil. (Speth, 2008) Akibatnya, tata sosial, politik, dan ekonomi setiap negara terorganisasi dalam mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi bahan bakar fosil. Hingga awal abad ke-21, nilai infrastruktur minyak dan gas saja mencapai USD5 triliun. (Vaclav Smil, 2008) Industri minyak dunia mengelola 30 miliar barel minyak per tahun yang diekstraksi di 100 negara.

Distribusi minyak disalurkan melalui lebih dari 3.000 tanker dan 300.000 mil jaringan pipa. Jumlah ini belum termasuk miliaran dolar AS investasi infrastruktur minyak. Di AS peralihan infrastruktur kapitalisme fosil kolosal global ini ke tata ekonomi karbon rendah membutuhkan waktu 100 tahun dan dana USD2,5 triliun. (Smil, 2008) Total eksploitasi bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batu bara) pada 2009 mencapai 8 miliar metrik ton di seluruh dunia.

Bahan bakar fosil ini menggerakkan kapitalisme global sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan efisiensi sehingga konsolidasi demokrasi dan stabilitas politik sejumlah negara semakin bergantung pada strategi, ekstraksi, pasokan, produksi, konsumsi, dan harga bahan bakar fosil. (Homer-Dixon, 2009). Kapitalisme fosil menggerakkan aktor-aktor dunia memperebutkan pemasok energi dunia.

Akibatnya, zona-zona itu menjadi episentrum konflik dan ketegangan skala dunia seperti Irak, Afghanistan, Asia Tengah, Kuwait, Kaspia, Kosovo, dan zona Balkan. Zona Indonesia menjadi ajang perebutan akses minyak saat Perang Dunia II. Jepang merebut akses minyak asal Indonesia untuk membiayai ongkos perang dari Jepang di zona Asia. (McCoy,1980)

Evolusi Demokrasi

Demokrasi liberal yang berkembang di Amerika Serikat dan negara Eropa Barat selama ini mengagungkan kebebasan individu, rule of law, dan hak asasi manusia (HAM). Model demokrasi ini memiliki ikatan historis dengan pertumbuhan kapitalisme berbasis bahan bakar fosil. Karena tidak ada demokrasi liberal benar-benar eksis dan hidup di era pratata ekonomi-politik pasar kapitalis berbahan bakar fosil. (Macpherson, 2006). Demokrasi khususnya demokrasi liberal adalah anak kandung dari kapitalisme fosil.

Wajah transformasi revolusi industri adalah pembentukan wajah kapitalisme fosil. (Polanyi, 2001) Dampaknya ialah kapasitas kinerja dalam merespons, merasionalisasi, mengorganisasi, mitigasi, dan menata kelola kendali krisis bahan bakar fosil menjadi barometer survival dan evolusi tata sosial-lingkungan suatu negara demokratis. (Hausknost, 2008). Segala sektor aktivitas setiap negara terorganisasi melalui pasar bebas yang digerakkan oleh bahan bakar fosil.

Seluruh elemen industri seperti lahan,tenaga kerja,dan modal menjadi komoditi yang diperjualbelikan dan pola hubungan sosial-politik ditransformasi ke dalam pola-pola hubungan pasar.(Polanyi, 2001). Pertumbuhan kapitalisme fosil tidak hanya mentransformasi tata kelola ekonomi negara-negara di dunia, tetapi juga tata kelola demokrasi dan masyarakatnya. Kapitalisme fosil menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dan ideologi liberalisme.

Therborn melukiskan hal ini bahwa “democracy is viable only because of the elasticity and expansive capacity of capitalism.” (Therborn, 1997). Kesimpulannya, ada korelasi kuat antara akumulasi kapital dan survival demokrasi, antara stagnasi ekonomi dan kegagalan demokrasi atau antara level pertumbuhan ekonomi suatu negara dan peluang melestarikan demokrasi. (Lipset, 1994; Przeworski, et al. 2000; Inglehart,1990). Jika riset dan hasil kajian-kajian tersebut valid, akar berbagai krisis politik masa datang bersumber dari krisis energi berbahan bakar fosil. Kapitalisme fosil bakal berakhir akibat pergeseran ke kapitalisme karbon rendah (low carbon economy), energi ramah lingkungan, dan konversi energi.

Maka itu, pilar-pilar demokrasi masa datang bakal berbasis pada mata rantai sosial-politik dari ekstraksi, produksi, distribusi,dan konsumsi energi ini. Evolusi, survival, dan konsolidasi demokrasi di Indonesia tidak luput dari pengaruh kapitalisme kolosal global ini. Jika pilar-pilar demokrasi Indonesia semakin terintegrasi sebagai subsistem kapitalisme pasar global—apa pun bentuknya, evolusinya bergerak ke arah demokrasi liberal.

1 komentar:

  1. Ini Marwan Jakfar sendiri yang nulis atau sugiyono stafnya ya?

    BalasHapus