Selasa, 11 September 2012

Hukum sebagai Kaidah Moral Sosial

Hukum sebagai Kaidah Moral Sosial
Sudjito ;  Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM 
SINDO, 11 September 2012


Elemen-elemen masyarakat kita sedang gerah. Sedikit saja ada perbedaan, “digenjot” menjadi konflik. Simaklah. Agamanya sama, tetapi tafsir ajarannya berbeda, sudah cukup menjadi alasan untuk saling “meniadakan”. 

Di antara sesama penegak hukum, hanya beda tafsir kata-kata dalam undang-undang, misalnya, berlanjut gugat-menggugat di pengadilan. Di antara sesama lembaga negara, dengan dalih checks and balances selalu curiga-mengurigai, check, check, check terus, tetapi tak pernah balance. Begitulah, keretakan hubungan sosial, tak kunjung mereda, bahkan semakin panas dan ganas. Adakah situasi buruk itu terkait dengan hukum dan mampukah diselesaikan berdasarkan hukum?

Untuk diingat bahwa pada kehidupan masa lalu, yang oleh August Comte disebut sebagai zaman teologis, hukum dimaknakan sebagai kaidah moral sosial. Kaidah itu merupakan “rumah” bagi nilai-nilai (values). Isinya berupa: petunjuk dan pedoman. Tujuannya: agar manusia bahagia lahir-batin, material-spiritual. Penjelasannya sebagai berikut. Pertama, sebagai petunjuk, hukum menunjukkan arah atau kiblat perjalanan manusia, dari mana asal-usul dan ke mana berkesudahan.

Tidak lain, dari Tuhan Sang Pencipta dan kelak kembali menghadap ke hadirat-Nya. Ketika itu segala amal-perbuatan dipertanggungjawabkan. Pahala dan dosa ditimbang. Masing-masing diberi tempat sesuai kadar amal-perbuatannya.Untuk mencapai tempat mulia (surga), disyaratkan manusia bersih dari segala noda. Karenanya, hukum berisi pentunjuk tentang moralitas (akhlak), baik akhlak terhadap diri sendiri, sesama manusia, terhadap alam-lingkungan dan hubungan vertikal (peribadatan) kepada Tuhan.

Kedua, sebagai pedoman, hukum berupa perintah, anjuran dan larangan serta sanksi (hukuman) bagi pelanggarnya. Rambu-rambu itu memberikan garansi terwujudnya kehidupan yang mudah, nyaman dan aman serta produktif untuk beramal dalam bentuk apa pun. Jadi, hukum ada dan diadakan untuk dimengerti dan ditaati, bukan untuk dilanggar. Dalam maknanya sebagai kaidah moral sosial itu, bertegur sapa dan upaya mempererat silaturahmi sesama manusia merupakan kewajiban moral dan sekaligus kewajiban hukum.

Ada pesan moral, agar manusia berlomba-lomba berbuat kebajikan.Ada petunjuk bahwa sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi manusia lain. Amal-perbuatan ini menjadi tangga untuk naik ke tingkat martabat dan kehormatan manusia mulia. Bisa dibayangkan betapa indahnya bila pelayanan publik oleh birokrasi, penegakan hukum oleh aparat kepolisian, perawatan pasien oleh rumah sakit, santunan orang kaya terhadap si miskin, dilakukan dalam bingkai kaidah moral sosial ini.

Pada tataran konkret, riil dan empiris,mengamalkan hukum sebagai kaidah moral sosial membuahkan kesalehan sosial yang ditandai dengan ciri-ciri berikut. Pertama, saling mengenal sisi kelebihan dan kekurangan masing-masing. Belajar dari kelebihan orang lain akan mampu mengatasi kekurangan diri-sendiri. Bahkan, interaksi sosial mampu memupuk kasih-sayang, sebagaimana ungkapan “tak kenal maka tak sayang”.

Alangkah indahnya, bila sesama pemimpin, pelaksana, dan penegak hukum di negeri ini mampu memberi contoh konkret berkasih-sayang dalam bernegara hukum. Kedua, penguatan dan memperkokoh kerja sama, baik individu maupun kelembagaan. Problema kehidupan yang semakin kompleks dan ganas, tidak mungkin diselesaikan dengan baik tanpa dukungan dan kerja sama sesama aparat penegak hukum, lintas kelembagaan, dan kolaborasi-sinergis dengan masyarakat.

Pada setiap masyarakat tersimpan kearifan lokal, kekuatan moral dan gagasangagasan cemerlang kontekstual dengan waktu, tempat, kondisi,dan permasalahan masing-masing. Ada ungkapan ”negara mawa tata, desa mawa cara”, artinya kemajemukan hukum sebagai kaidah moral sosial merupakan keniscayaan dan semestinya didayagunakan secara optimal. Di situlah budaya solidaritas, musyawarah, dan dialog menjadi basis interaksi sosial. Contohnya, ketika masyarakat Bantul diguncang gempa. Hampir semua sendi kehidupan lumpuh.

Moral sosial hadir tanpa perintah penguasa formal mana pun,tetapi didorong hati nurani untuk menolong sesama manusia yang menderita. Berbagai bantuan datang mengalir bak banjir. Kearifan lokal menjadi kunci koordinasi, efektivitas, dan efisiensi kerja para dermawan. Hasilnya mengagumkan. Dunia internasional angkat topi untuk penanganan bencana yang cepat dan humanis itu. Bila contoh itu dikembangkan secara kreatif untuk penanganan bencana sosial berupa korupsi, barangkali hasilnya tidak seburuk capaian KPK, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan tipikor saat ini.

Ketiga, munculnya inovasi metodologis-prosedural, sehingga hukum dan masyarakat bersama berkembang semakin maju. Ihwal demikian amat penting bagi negara ketika berhadapan dengan anarkisme, premanisme, radikalisme. Mengapa? Karena ada prinsip bertolak belakang, yakni proses kerja kejahatan yang selalu tanpa prosedur,sedangkan hukum negara justru cenderung prosedural. Asupan masyarakat berupa ide dan inovasi metologis-prosedural menjadi amat berharga.

Keempat, pendewasaan hidup bernegara hukum. Belajar langsung dari perilaku konkret masyarakat ketika membangun dan mengatasi masalah sosial, sering tak terduga melahirkan ilmu dan teori hukum baru. Alangkah dangkalnya ilmu dan teori hukum yang tidak membumi. Nilai-nilai sosial adalah akar kaidah moral sosial. Nilai-nilai itu telah digali dan diirumuskan oleh founding fathers sebagai ideologi bangsa, yaitu Pancasila. Kedewasaan berpancasila akan meningkat apabila nilai-nilai Pancasila mampu diwujudkan sebagai norma hukum dan dipraktikan sebagai kaidah moral sosial bernegara hukum. Wujudnya berupa perilaku. Itulah perilaku normatif.

Sungguh tidak elok pendangkalan hukum sebagai tatanan (order) kehidupan menjadi perundang-undangan saja. Demi kesejahteraan dan keadilan sosial, ingatan segar tentang hukum sebagai kaidah moral sosial menjadi relevan dipelajari, diajarkan, dan diamalkan. Semoga. Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar