Selasa, 11 September 2012

Di Mana pun, Koruptor adalah Koruptor


Di Mana pun, Koruptor adalah Koruptor
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO, 11 September 2012


Di mana bersembunyi, ke mana pun berlari, apa pun kewarganegaraannya: Koruptor tetaplah koruptor. Itulah salah satu pesan inti yang ingin ditegaskan melalui lokakarya internasional yang kemarin dan hari ini dilaksanakan oleh KPK di Yogyakarta.

Hadir berbagai perwakilan negara sahabat, terutama dari ASEAN. Saya mewakili Menkumham memberikan keynote speech dalam pembukaan acara tersebut. Berikut adalah beberapa pokok pikiran yang saya sampaikan dalam pidato kunci tersebut. Tidak kita ragukan lagi, korupsi adalah kejahatan luar biasa, kejahatan kemanusiaan. Sehebat apa pun peradaban kemanusiaan, ia dapat luluh lantak oleh perilaku koruptif yang memang sangat destruktif. Maka itu, menghadapi kejahatan yang sedemikian dahsyat daya rusaknya, tidak ada kekuatan lain yang paling efektif, kecuali terus berikhtiar untuk melawannya secara bersama-sama.

Saya sependapat dengan J Edgar Hoover, direktur FBI, yang pernyataannya terukir di dinding markas besar FBI: “The most effective weapon against crime is cooperation”. Karena itu, masyarakat dunia tanpa henti harus terus menguatkan kerja sama internasional melawan korupsi. Masyarakat dunia telah memancangkan beberapa tonggak di antaranya United Nations Convention Against Corruption, the G-20 Anti-Corruption Action Plan, dan the Organization of Economic Cooperation on Combating Bribery of Foreign Policy Public Officials in International Business Transactions.

Globalisasi menyebabkan perbatasan antarnegara semakin kabur. Perlintasan orang dan barang semakin cepat. Tidak ada pilihan lain, kerja sama internasional harus ditingkatkan untuk mencegah bersembunyi dan larinya para koruptor dan lenyapnya asetaset hasil korupsinya. Saya sangat setuju dengan apa yang disampaikan Ketua KPK Abraham Samad dalam sambutannya membuka lokakarya: “Tidak boleh ada satu tempat pun, yang aman bagi koruptor di muka bumi ini. Dengan kerja sama antarnegara, kita harus pastikan tidak ada satu negara pun yang menjadi surga bagi koruptor dan aset hasil jarahannya”.

Meskipun harus diakui pula, faktanya, kerja sama internasional masih harus ditingkatkan efektivitasnya, khususnya terkait masalah perjanjian ekstradisi, perjanjian transfer orang yang sudah dihukum, dan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Dalam pelaksanaan mutual legal assistance misalnya seringkali muncul persoalan karena tiga hal utama yaitu: 1) perbedaan sistem hukum antarnegara; 2) ketidakjelasan mekanisme pelaksanaannya; dan 3) perbedaan struktur organisasi pemerintahan dari negara yang terlibat perjanjian tersebut.

Namun, pendekatan yang terlalu formal, berbasis perjanjian, seringkali memakan waktu karena harus taat hukum, wajib taat prosedur, dan mesti dalam kerangka kerja diplomatik yang ketat. Maka itu, selalu harus terus dibuka pendekatan yang lebih informal untuk mengantisipasi pergerakan pelarian koruptor dan asetnya yang sangat cepat. Pendekatan informal demikian tentu saja harus berbasis pada hubungan baik dan saling percaya antarnegara yang bekerja sama.

Untuk membangun relasi yang akrab demikian, pembuatan MoU bisa menjadi salah satu pembuka jalan yang tidak terlalu rumit, namun cukup efektif untuk membangun kesepahaman, khususnya dalam upaya bersama memberantas kejahatan transnasional, lebih khusus lagi dalam melawan korupsi. Saat ini Indonesia telah bekerja sama dengan beberapa negara yang didasarkan pada hubungan baik dan prinsip resiprositas. Sambil, pada saat yang sama, proses formal untuk penandatanganan dan ratifikasi perjanjian ekstradisi, perjanjian MLA, ataupun perjanjian transfer nara pidana terus dilakukan.

Akhir-akhir ini melalui perpaduan pendekatan formal dan informal tersebut, Indonesia memiliki beberapa cerita sukses untuk mengembalikan beberapa buron kasus korupsi yang telah lari ke luar negeri. Sebutlah misalnya penangkapan Gayus Tambunan di Singapura, Nazaruddin di Kolombia, ataupun Nunun Nurbaetie di Thailand. Padahal, seringkali secara sengaja, negara yang dipilih sang buron koruptor adalah negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi ataupun perjanjian MLA dengan Indonesia.

Namun, karena pendekatan yang dilakukan tidak hanya formal, sang buron dapat ditangkap dan dapat dengan lebih cepat dikembalikan ke Indonesia. Kita menyadari dalam melakukan penegakan hukum, kepastian hukum harus dijunjung tinggi. Namun, kita juga memahami, kepastian hukum yang terlalu kaku, terlalu formal, justru akan menghambat keadilan hadir. Dalam konteks kerja sama internasional antikorupsi, pendekatan formal semata, yang menutup sama sekali pendekatan hubungan baik, justru akan menjadi lubang hukum yang sangat mewah bagi koruptor untuk terus berlari dan terus menyembunyikan uang hasil korupsinya.

Maka itu, dunia internasional harus meningkatkan kesepahaman bahwa komitmen tegas dalam memberantas korupsi harus dilaksanakan tidak hanya dengan taat pada prosedur dan birokrasi hukum yang ketat, tetapi juga harus terus mengingat bahwa tujuan akhir kerja sama internasional ini adalah para koruptor tidak dapat lagi leluasa bersembunyi di balik kerumitan hukum internasional. Agar harta hasil korupsi tidak lagi cepat raib melalui kecanggihan transaksi keuangan antarnegara, yang tidak lain merupakan praktik haram tindak pidana pencucian uang.

Berbicara tindak pidana pencucian uang mengingatkan kita bahwa hal lain yang perlu juga dikerjasamakan secara erat dan tulus adalah perampasan kembali aset hasil kejahatan. Tidak jarang mengembalikan aset hasil korupsi jauh lebih sulit dibandingkan penangkapan pelaku kejahatan itu sendiri. Hal itu tidak lain karena semakin mudahnya aset dipindahkan dan disembunyikan dengan berbagai rekayasa hukum bisnis yang kompleks, yang tentu saja berkait erat dengan tindak pidana pencucian uang.

Maka itu, kerja sama internasional yang mengantisipasi berbagai modus kejahatan yang memanfaatkan sistem kerahasiaan perbankan, menyalahgunakan berbagai fasilitas perpajakan, ataupun merekayasa berbagai transaksi keuangan pasar saham dan pasar modal. Setiap negara perlu meningkatkan ekonominya melalui daya tarik investasi. Namun, pada saat yang sama, kita wajib memastikan, investasi yang ditanamkan di negara kita masing-masing bukanlah aset hasil jarahan atau uang hasil korupsi, yang sengaja dicuci melalui sistem keuangan, sistem perbankan internasional.

Harus dibangun sistem kewaspadaan internasional yang menolak investasi berdasarkan aset dan uang hasil kejahatan, apalagi hasil korupsi. Uang hasil korupsi tidak boleh menjadi bibit investasi. Seberapa besar pun investasi harus dapat dipastikan bersumber dari uang yang bersih,dari hasil usaha yang tidak terkait dengan kejahatan. Jika investasi berasal dari korupsi, akan sangat sulit bagi negara asal mana pun, tempat uang itu dijarah,untuk menyelamatkannya kembali.

Investasi yang berasal dari korupsi adalah salah satu cara paling efektif untuk melakukan pencucian uang hasil kejahatan, dan akan memakan waktu sangat lama untuk mengembalikannya kepada negara dan rakyat yang menjadi korban kejahatan tersebut. Akhirnya, koruptor harus terus dikepung di mana pun dia bersembunyi, baik dalam hutan belantara hukum nasional maupun internasional.

Di mana pun berada, koruptor tetaplah koruptor. Kita dapat melawannya dengan senjata paling utama: kerja sama yang terus diperbaiki dan kerja sama tanpa henti. Mari terus berjuang bagi dunia dan Indonesia yang lebih baik,yang lebih antikorupsi. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar