Diplomasi
Ekonomi dan Hindari Hilirisasi
Produk
Primer
Bustanul Arifin ; Guru
Besar Ilmu Ekonomi Universitas Lampung;
Anggota Komite Inovasi Nasional
|
KOMPAS, 17 September 2012
Fenomena penurunan
harga-harga produk primer Indonesia di pasar global terasa sangat menyakitkan
karena terjadi bersamaan dengan peningkatan harga- harga produk pangan. Hampir
semua harga komoditas ekspor andalan Indonesia menurun cukup drastis, di luar
dugaan petani dan bahkan para analis.
Harga kelapa minyak sawit
mentah (CPO) per Agustus 2012 telah menyentuh 995 dollar AS, jauh dari harga
rata-rata tahun 2011, yakni 1.125 dollar AS per ton. Harga karet kualitas RSS3
turun menjadi 279,3 dollar AS, anjlok tajam dari 482,3 dollar AS per ton tahun
2011. Harga kopi Arabika turun menjadi 385,4 dollar AS, turun tajam dari 597,6
dollar AS per ton tahun 2011. Harga kakao turun menjadi 251,2 dollar AS, anjlok
dari 298 dollar AS per ton tahun 2011.
Sebaliknya, harga komoditas
pangan biji- bijian, terutama yang berasal dari impor, naik cukup drastis,
dikhawatirkan memicu laju inflasi dan bahkan krisis pangan. Harga kedelai pada
Agustus 2012 telah mencapai 683 dollar AS, naik drastis dari harga rata-rata
tahun 2011 sebesar 541 dollar AS per ton.
Harga gandum kualitas HRW
mencapai 349,4 dollar AS, naik tajam dari 316,3 dollar AS per ton tahun 2011.
Harga jagung menjadi 332 dollar AS, naik pesat dari 291,7 dollar AS per ton
tahun 2011. Harga beras Thailand 25 persen patah pun telah naik menjadi 565,3
dollar AS, naik tajam dari 506 dollar AS per ton tahun 2011.
Kasus penurunan harga produk
primer itu wajib disikapi serius oleh pemerintah. Bukan menyerah-pasrah dan
mencari kambing hitam kelesuan ekonomi global sebagai alasan. Masyarakat awam
pun paham bahwa negara Uni Eropa sebagai salah satu pasar tradisional dari
produk primer Indonesia sedang krisis. Daya beli masyarakat dan dunia usaha di
sana melemah.
Eropa selama ini dikenal
sebagai negara tujuan ekspor kopi, kakao, CPO, dan karet. Produk primer inilah
yang selama ini menjadi andalan Indonesia untuk menghasilkan devisa. Demikian
juga China dan India, yang selama ini menjadi negara tujuan ekspor CPO, juga
sedang berjuang melindungi bangsanya dari terpaan krisis ekonomi global.
Penurunan permintaan yang signifikan dari negara tujuan ekspor tradisional
tersebut telah memengaruhi stok dan pasokan produk primer di tingkat global,
yang telah menekan harga keseimbangannya.
Dunia usaha juga dituntut
mampu membaca fenomena ekonomi di tingkat global. Sektor swasta yang tangguh
perlu membuat prakiraan cerdas dan cermat atas perubahan lingkungan eksternal
(dan internal industri). Keliru besar jika para pengurus asosiasi komoditas
primer ini menganggap bahwa pangsa pasar yang kecil tidak akan memengaruhi
pembentukan harga di tingkat global.
Setiap gerakan wajib
dianggap penting. Berjuang dan berdiplomasi pada tataran internasional tentu
lebih terpuji dibandingkan dengan merongrong kredibilitas kebijakan di dalam
negeri, apalagi ditingkahi kolusi tidak terpuji dengan aparat birokrasi.
Anjloknya harga jual
komoditas primer sudah hampir pasti menjadi mimpi buruk bagi petani dan pekebun
di hulu. Struktur pasar komoditas primer yang cenderung oligopsoni dan arah
pergerakan transmisi harga yang cenderung searah pasti akan merugikan petani
sebagai pengampu kepentingan yang paling besar jumlah dan magnitude-nya.
Kenaikan harga di tingkat
global sangat lambat ditransmisikan kepada harga jual produk petani; tetapi
penurunan harga di tingkat global cepat sekali sampai ke tingkat petani. Lebih
dari 85 persen dari 3,5 juta hektar perkebunan karet di Indonesia melibatkan
usaha rakyat, yang sangat bergantung pada tauke, pengepul, dan pedagang
pengumpul dengan akses ekonomi yang lebih baik.
Sekitar 90 persen dari 1,3
juta hektar usaha tani kopi dan 1,7 juta hektar usaha tani kakao melibatkan
petani pekebun dengan kemampuan daya tawar yang rendah. Demikian pula, sekitar
43 persen dari 6,5 juta hektar perkebunan sawit merupakan kebun sawit rakyat
dengan teknologi rendah, dan dengan struktur pasar yang tidak terlalu
bersahabat.
Berikut ini beberapa opsi
jalan keluar dan kebijakan yang perlu segera diambil.
Pertama, investasi di sektor
industri hilir yang menghasilkan nilai tambah bagi komoditas primer ini wajib
segera direalisasi. Momentum strategi hilirisasi produk hilir dari Kementerian
Perindustrian dengan tax holiday
dan tax allowance mencapai 30
persen perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.
Investasi industri hilir
yang berbasis inovasi akan membawa dampak ganda yang lebih dahsyat. Maknanya,
dukungan infrastruktur dan sarana pendukung, seperti listrik, gas, dan air
bersih, menjadi hampir mutlak. Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah juga
menjadi prasyarat wajib yang tidak dapat ditawar lagi.
Kedua, partisipasi dan kerja
sama dunia usaha dalam peningkatan nilai tambah mutlak diperlukan. Momentum
verifikasi sekian macam investasi dalam skema Rencana Induk Percepatan dan
Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang berhubungan dengan pengolahan lebih
lanjut produk primer dan pendalaman industri (industrial deepening) perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Banyak
dunia usaha yang tidak confident
terhadap aparat birokrasi yang mendata ulang persetujuan investasi yang
diperolehnya.
Ketiga, peningkatan
kapasitas diplomat ekonomi dan atase perdagangan menjadi keniscayaan. Daya
saing dan masa depan ekonomi Indonesia berada pada sedikit pundak para diplomat
yang setiap hari berhubungan dengan para tokoh bisnis dan pemimpin dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar