Senin, 17 September 2012

Diplomasi Ekonomi dan Hindari Hilirisasi Produk Primer


Diplomasi Ekonomi dan Hindari Hilirisasi
Produk Primer
Bustanul Arifin ;  Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Lampung;
Anggota Komite Inovasi Nasional
KOMPAS, 17 September 2012


Fenomena penurunan harga-harga produk primer Indonesia di pasar global terasa sangat menyakitkan karena terjadi bersamaan dengan peningkatan harga- harga produk pangan. Hampir semua harga komoditas ekspor andalan Indonesia menurun cukup drastis, di luar dugaan petani dan bahkan para analis.

Harga kelapa minyak sawit mentah (CPO) per Agustus 2012 telah menyentuh 995 dollar AS, jauh dari harga rata-rata tahun 2011, yakni 1.125 dollar AS per ton. Harga karet kualitas RSS3 turun menjadi 279,3 dollar AS, anjlok tajam dari 482,3 dollar AS per ton tahun 2011. Harga kopi Arabika turun menjadi 385,4 dollar AS, turun tajam dari 597,6 dollar AS per ton tahun 2011. Harga kakao turun menjadi 251,2 dollar AS, anjlok dari 298 dollar AS per ton tahun 2011.

Sebaliknya, harga komoditas pangan biji- bijian, terutama yang berasal dari impor, naik cukup drastis, dikhawatirkan memicu laju inflasi dan bahkan krisis pangan. Harga kedelai pada Agustus 2012 telah mencapai 683 dollar AS, naik drastis dari harga rata-rata tahun 2011 sebesar 541 dollar AS per ton.

Harga gandum kualitas HRW mencapai 349,4 dollar AS, naik tajam dari 316,3 dollar AS per ton tahun 2011. Harga jagung menjadi 332 dollar AS, naik pesat dari 291,7 dollar AS per ton tahun 2011. Harga beras Thailand 25 persen patah pun telah naik menjadi 565,3 dollar AS, naik tajam dari 506 dollar AS per ton tahun 2011.

Kasus penurunan harga produk primer itu wajib disikapi serius oleh pemerintah. Bukan menyerah-pasrah dan mencari kambing hitam kelesuan ekonomi global sebagai alasan. Masyarakat awam pun paham bahwa negara Uni Eropa sebagai salah satu pasar tradisional dari produk primer Indonesia sedang krisis. Daya beli masyarakat dan dunia usaha di sana melemah.

Eropa selama ini dikenal sebagai negara tujuan ekspor kopi, kakao, CPO, dan karet. Produk primer inilah yang selama ini menjadi andalan Indonesia untuk menghasilkan devisa. Demikian juga China dan India, yang selama ini menjadi negara tujuan ekspor CPO, juga sedang berjuang melindungi bangsanya dari terpaan krisis ekonomi global. Penurunan permintaan yang signifikan dari negara tujuan ekspor tradisional tersebut telah memengaruhi stok dan pasokan produk primer di tingkat global, yang telah menekan harga keseimbangannya.

Dunia usaha juga dituntut mampu membaca fenomena ekonomi di tingkat global. Sektor swasta yang tangguh perlu membuat prakiraan cerdas dan cermat atas perubahan lingkungan eksternal (dan internal industri). Keliru besar jika para pengurus asosiasi komoditas primer ini menganggap bahwa pangsa pasar yang kecil tidak akan memengaruhi pembentukan harga di tingkat global.

Setiap gerakan wajib dianggap penting. Berjuang dan berdiplomasi pada tataran internasional tentu lebih terpuji dibandingkan dengan merongrong kredibilitas kebijakan di dalam negeri, apalagi ditingkahi kolusi tidak terpuji dengan aparat birokrasi.

Anjloknya harga jual komoditas primer sudah hampir pasti menjadi mimpi buruk bagi petani dan pekebun di hulu. Struktur pasar komoditas primer yang cenderung oligopsoni dan arah pergerakan transmisi harga yang cenderung searah pasti akan merugikan petani sebagai pengampu kepentingan yang paling besar jumlah dan magnitude-nya.

Kenaikan harga di tingkat global sangat lambat ditransmisikan kepada harga jual produk petani; tetapi penurunan harga di tingkat global cepat sekali sampai ke tingkat petani. Lebih dari 85 persen dari 3,5 juta hektar perkebunan karet di Indonesia melibatkan usaha rakyat, yang sangat bergantung pada tauke, pengepul, dan pedagang pengumpul dengan akses ekonomi yang lebih baik.

Sekitar 90 persen dari 1,3 juta hektar usaha tani kopi dan 1,7 juta hektar usaha tani kakao melibatkan petani pekebun dengan kemampuan daya tawar yang rendah. Demikian pula, sekitar 43 persen dari 6,5 juta hektar perkebunan sawit merupakan kebun sawit rakyat dengan teknologi rendah, dan dengan struktur pasar yang tidak terlalu bersahabat.

Berikut ini beberapa opsi jalan keluar dan kebijakan yang perlu segera diambil.
Pertama, investasi di sektor industri hilir yang menghasilkan nilai tambah bagi komoditas primer ini wajib segera direalisasi. Momentum strategi hilirisasi produk hilir dari Kementerian Perindustrian dengan tax holiday dan tax allowance mencapai 30 persen perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Investasi industri hilir yang berbasis inovasi akan membawa dampak ganda yang lebih dahsyat. Maknanya, dukungan infrastruktur dan sarana pendukung, seperti listrik, gas, dan air bersih, menjadi hampir mutlak. Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah juga menjadi prasyarat wajib yang tidak dapat ditawar lagi.

Kedua, partisipasi dan kerja sama dunia usaha dalam peningkatan nilai tambah mutlak diperlukan. Momentum verifikasi sekian macam investasi dalam skema Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang berhubungan dengan pengolahan lebih lanjut produk primer dan pendalaman industri (industrial deepening) perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Banyak dunia usaha yang tidak confident terhadap aparat birokrasi yang mendata ulang persetujuan investasi yang diperolehnya.

Ketiga, peningkatan kapasitas diplomat ekonomi dan atase perdagangan menjadi keniscayaan. Daya saing dan masa depan ekonomi Indonesia berada pada sedikit pundak para diplomat yang setiap hari berhubungan dengan para tokoh bisnis dan pemimpin dunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar