Senin, 17 September 2012

Belajar dari Plus-Minus Pangan dari Orba

Belajar dari Plus-Minus Pangan dari Orba
Wayan Windia ;  Jurnalis dan guru besar Fakultas Pertanian
Universitas Udayana, Denpasar, Bali 
JAWA POS, 17 September 2012


KRISIS pangan selalu menghantui dunia. Tak terkecuali musim kering tahun ini. Bahkan, tahun lalu masalah pangan menjadi pergunjingan FAO. Bahwa dalam waktu dekat akan terjadi krisis pangan dunia. 

Dalam konteks ini, saya pernah bicara di sebuah televisi lokal, dalam suatu diskusi dengan salah satu ketua organisasi petani sedunia. Dalam kesempatan itu Indonesia dikecam sebagai negara yang tidak nasionalistis. Indonesia terlalu mudah membuka keran impor, sehingga dianggap dapat memperlemah posisi petani di Indonesia. Padahal, WTO telah memberikan kelonggaran bagi negara-negara miskin untuk mengambil kebijakan tertentu, guna melindungi sistem ketahanan pangannya.

Becermin pada Orde Baru, pada era itu sistem pembangunan pertanian betul-betul tecermin dalam anggaran belanja negara. Wujudnya pembangunan sistem irigasi, subsidi kepada petani, pendampingan, implementasi benih unggul, dan berbagai gerakan pembangunan pertanian lain. Terlepas dari kekurangannya, hasilnya terasa sangat nyata. Buktinya, petani merasa sangat senang bertani. Hingga kini hal itu juga dianggap sebagai nostalgia pembangunan pertanian di Indonesia. 

Hal yang analogis pernah dikumandangkan Presiden SBY. Setelah mengunjungi Pak Harto tatkala sakit di RS Pertamina, dia mengumandangkan konsep revitalisasi pertanian dan pedesaan di Indonesia. Tapi, itu ternyata tinggal wacana. Konsep itu tidak tecermin dalam anggaran belanja negara. Ini seperti pencitraan semata. Di lapangan, pajak untuk lahan pertanian (PBB) terus membubung, alih fungsi lahan sawah menjadi-jadi, komoditas produk pertanian yang diimpor semakin banyak (termasuk kedelai dan garam).

Dalam buku Asian Drama (Gunnar Myrdal), disebutkan pembangunan pertanian memang selalu mengandung kontroversi dan kontradiksi. Antara lain, karena ketidaksetujuan kalangan masyarakat di luar sektor pertanian. Elite yang berpikir liberal-kapitalis (yang hanya mengagungkan profit, efisiensi, dan produktivitas) selalu merasa lebih enak kalau "panen pertanian" dilakukan di pelabuhan saja. Buat apa susah-susah. Kalau memang sawah dan pertanian tidak efisien, tinggalkan dan jual saja. Mereka tidak peduli dengan sawah dan pertanian, yang merupakan aset dan bumper kebudayaan. Mungkin juga mereka lupa bahwa tidak ada jaminan bahwa komoditas pangan akan selalu tersedia di pasar dunia.

Dalam konteks itu, saya pernah berbeda pendapat dengan mantan Mentan Prof Bungaran Saragih, tatkala bersama-sama menjadi narasumber di kantor Bank Indonesia, Denpasar. Saya tetap teguh bahwa sektor pertanian memerlukan perlindungan dan juga subsidi. Saya tidak ingin teori James Scott terjadi. Yakni, sementara petani akan diam saja kalau mereka ditekan-tekan, dan tidak mendapatkan perhatian. Namun, pada saatnya, mereka akan memberontak. Saya merasakan perlawanan demi perlawanan petani mulai terasa dan terjadi di Indonesia. Baik karena masalah air irigasi, pajak, pasar, kebijakan impor, dan semacamnya. 

Belajar Juga Kesalahannya 

Jangan pula kita melampiaskan kesalahan kepada rakyat di negara maju. Beberapa teori menyatakan krisis pangan terjadi karena mereka makan terlalu banyak daging, telur, susu, keju, dan produk makanan lain. Padahal, produk itu justru berasal dari hewan yang diberi pakan dari bahan makanan manusia (seperti jagung, kedelai, dan bahkan gandum). Kalau dihitung, rakyat negara maju makan (biji-bijian) justru berlipat-lipat lebih banyak dibandingkan dengan rakyat di negara miskin. 

Justru yang mahapenting adalah membangun sistem pertanian di negara kita sendiri. Kita memiliki potensi budaya-pertanian, serta aset berupa air, dan lahan untuk pembangunan pertanian. Sekarang tinggal komitmen dan kemauan politik elite politik bangsa Indonesia. Apakah tunduk pada kapitalisme atau ekonomi ke­rakyatan. Gunnar Myrdal, Sayogyo, dan Suprodjo Pusposutardjo selalu mengingatkan kita bahwa sebuah bangsa akan mendapat penghormatan dalam pergaulan internasional kalau mampu memberikan makan kepada bangsanya sendiri. 

Sebetulnya kita harus merasa malu kalau mengimpor beras dari Kamboja. Padahal, sistem pertanian di sana kurang maju. Dalam perjalanan ke Angkor Wat dari kota Siem Reap, tampak petani Kamboja bekerja seadanya. Ketersediaan air seadanya dan nyaris semuanya masih menggunakan sapi untuk membajak (selalu menjadi tontonan turis). Produksi padinya hanya sekitar 2,5 ton per hektare. 

Satu-satunya kesalahan Orde Baru adalah sangat terlambat mengembangkan industri hilir (Iindustri yang mengolah produk pertanian). Padahal, pada era itu sektor pertanian sedang sangat maju dan memerlukan pembenahan di bagian hilir. Dalam konteks ini, kita juga bisa belajar dari kesalahan Orba dalam pembangunan pertanian. 

Mungkin kita terlalu terlena dengan kekayaan sektor primer dan bangga dengan ekspor kelapa sawit yang merajai dunia. 

Namun, sementara itu, Malaysia diam-diam mengembangkan industri hilir kelapa sawit. Kini tercatat Malaysialah yang menjadi raja ekspor minyak kelapa sawit dunia. Dengan demikian, Malaysialah yang menikmati nilai-tambah pengembangan hilir kelapa sawit. Malaysia juga tidak begitu ribut dengan anjloknya harga sektor primer di pasar dunia saat ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar