Ketika
Rakyat Jakarta Memilih
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor
Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
|
KOMPAS, 17 September 2012
Pada 20 September ini lebih
dari 6,9 juta warga Jakarta yang memiliki hak pilih diharapkan berbondong-
bondong ke 15.059 tempat pemungutan suara. Mereka diharapkan memberikan
suaranya pada Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta putaran kedua.
Pilkada putaran kedua ini
akan menentukan apakah pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) ataukah
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi- Ahok) yang berhak memimpin Jakarta
pada 2012-2017. Pada putaran pertama, pasangan Jokowi-Ahok menang dengan
1.847.157 suara (42,60 persen), sementara Foke sebagai calon petahana yang
berpasangan dengan Nachrowi berada di posisi kedua dengan perolehan 1.476.648
suara (34,05 persen).
Posisi ketiga ditempati
pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini dengan hasil 508.113 suara.
Pasangan calon independen Faisal Basri-Biem Benjamin di urutan keempat dengan
215.935 suara. Posisi kelima dan keenam ditempati Alex Noerdin-Nono Sampono
(202.643 suara) dan Hendardji Supandji-Ahmad Riza Patria dengan 85.990 suara.
Total jumlah suara sah semua
pasangan calon adalah 4.336.486 pemilih. Jumlah suara tidak sah 93.047 pemilih.
Jumlah total suara sah serta tidak sah 4.429.533 pemilih. Ini berarti ada 2,5
juta orang yang tidak memberikan suaranya pada Pilkada DKI Jakarta putaran
pertama.
Jika kita hitung semua suara
dari pasangan Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini dan Alex Noerdin-Nono Sampono
masuk ke pasangan Foke-Nara—karena PKS dan Partai Golkar mendukung pasangan
nomor urut satu pada putaran kedua ini—berarti Foke-Nara akan memperoleh
2.187.404 suara. Pasangan Jokowi-Ahok, walaupun tidak secara tegas didukung
pasangan Faisal Basri-Biem Benjamin dan Hendardji-Ahmad Riza Patria, tetapi
secara tidak langsung tergolong pendukung perubahan, maka angka kumulatifnya
akan mencapai 2.149.082 suara. Secara matematis, jika tidak ada perubahan
angka, pasangan nomor urut satu Foke-Nara akan keluar sebagai pemenang pada
putaran kedua ini.
Namun, hitung-hitungan suara
bukanlah perhitungan matematika murni, apalagi masih ada suara mengambang
antara 1 juta hingga 2,5 juta suara yang masih bisa diperebutkan. Ini dengan
asumsi partisipasi rakyat pada Pilkada DKI Jakarta putaran kedua ini bertambah.
Belum lagi kenyataan bahwa tidak sedikit suara dari kantong-kantong PKS dan
Partai Golkar di Jakarta yang pada putaran pertama memilih pasangan Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnama.
Juga, secara matematis, jauh
lebih mudah bagi pasangan Jokowi-Ahok untuk meraih 8 persen suara tambahan
dibandingkan dengan pasangan Foke-Nara yang harus mendapatkan tambahan sekitar
16 persen suara. Secara akal sehat pula, jika Foke-Nara pada putaran pertama
hanya mendapatkan 34,05 persen, berarti lebih dari 65 persen suara rakyat
Jakarta memberikan mosi tidak percaya kepada calon gubernur petahana: Fauzi
Bowo.
Perhitungan yang Sulit
Berbeda dengan Pilkada DKI
Jakarta pada Juli lalu yang dipenuhi hasil survei dari lembaga-lembaga survei,
yang semuanya salah, menjelang putaran kedua ini belum ada satu lembaga survei
pun yang mengumumkan hasil survei mereka. Entah takut salah perhitungan lagi
atau karena terlalu banyak suara mengambang yang sulit diperkirakan ke mana
arahnya.
Satu-satunya lembaga survei
yang telah melakukan dan mengumumkan hasil surveinya adalah Pusat Kajian
Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI). Itu pun tidak terkait dengan
prakiraan suara pemilih, melainkan pada betapa para pemilih di Jakarta tidak
mengetahui secara pasti mengenai program kerja dua pasangan calon yang maju
pada putaran kedua ini.
Jumlahnya sangat signifikan,
yaitu 38,5 persen responden tidak mengetahui program yang ditawarkan cagub
petahana Fauzi Bowo, dan 47,7 persen tidak tahu apa program Joko Widodo.
Padahal, sesuai survei itu pula, 31 persen responden mengatakan bahwa pilihan
mereka bergantung pada program kerja pasangan calon; 30 persen pada citra para
calon di mata publik; 26 persen mengatakan latar belakang agama dan etnik akan
menentukan; sementara 12 persen responden memandang pengalaman merupakan suatu
yang penting; dan hanya 1 persen yang memilih calon karena asal-usul partai.
Tingginya angka
ketidaktahuan pemilih tersebut mungkin disebabkan kurangnya informasi mengenai
program-program dua pasangan cagub/cawagub ini karena memang para pasangan
calon hanya diberikan kesempatan tiga hari kampanye pada 14-16 September ini.
Masa kampanye yang hanya tiga hari itu tampaknya sangat tidak cukup bagi para
pasangan untuk menginformasikan gagasan-gagasan dan program-program kerjanya.
Diwarnai ”Kampanye Hitam”
Suatu yang amat mengurangi
derajat Pilkada DKI Jakarta pada 2012 ini, para pendukung pasangan calon lebih
terfokus pada bagaimana melakukan ”kampanye hitam” untuk meruntuhkan citra
pasangan pesaingnya. Mulai dari soal suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA), soal kebakaran di DKI Jakarta, sampai ke soal berpengalaman-tidaknya
pesaingnya untuk mengelola Jakarta.
Dalam soal SARA, misalnya,
masjid-masjid di Jakarta sampai-sampai digunakan
untuk kampanye menjatuhkan citra Jokowi-Ahok dengan kalimat: ”Jangan
pilih pemimpin yang tidak seagama!” Para pendukung Jokowi-Ahok membalas
dengan enteng, ”Gitu aja kok repot, bagi
yang Muslim pilih Jokowi, bagi yang non-Muslim silakan pilih Ahok.” Ada
juga pesan-pesan singkat yang ”mengingatkan”
pemilih bahwa mertua cagub Fauzi Bowo, yaitu (almarhum) Sudjono Humardani,
adalah tokoh besar aliran kepercayaan.
Satu sisi yang menarik, jika
pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli mengedarkan klip video dengan nada ”Foke-lah kalau begitu” dengan logat
Tegal, pendukung Jokowi-Ahok mengubah syair lagu grup musik One Direction berjudul ”What Makes You Beautiful” ke bahasa
Indonesia dengan gaya lucu, yang intinya mendukung pasangan Jokowi-Ahok yang
dapat mengatasi kemacetan dan memberikan kesejahteraan kepada rakyat Jakarta.
Kampanye kedua pasangan
tidak lagi mendasarkan media cetak dan elektronik untuk memasang iklan, tetapi
lebih menggunakan media-media sosial dan Youtube
sebagai sarana kampanye gratis mereka. Lepas dari isinya yang kadang sarkastis,
ini merupakan cara kampanye baru yang mengasyikkan untuk dibaca, ditonton, dan
didengar. Politik memang menarik, walau kadang juga menjijikkan, bergantung
dari cara pandang kita sebagai orang yang independen atau pendukung pasangan
calon.
Selama ini dua pasangan
calon ini tidak putus-putusnya menggunakan kesempatan acara-acara ”bincang-bincang” di berbagai stasiun
televisi swasta untuk menjelaskan program kerja mereka mengatasi kemacetan
Jakarta, banjir yang selalu datang pada musim hujan, kebakaran pada musim
panas, kesehatan masyarakat, sampai ke soal pendidikan.
Namun, jika Pemerintah DKI
Jakarta selama ini katanya memberikan sekolah gratis sampai ke tingkat SMA,
mengapa sejak era Gubernur Sutiyoso dan Wagub Fauzi Bowo, hingga kini Sekolah
Darurat Kartini yang digagas dua ibu kembar, Rosi dan Rian, yang sejak 1996
telah memiliki 2.000 alumnus, masih saja terus digusur oleh aparat Pemprov DKI
Jakarta dan PT Kereta Api Indonesia karena tidak memiliki badan hukum dan izin
dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta?
Padahal, Sekolah Darurat
Kartini telah memberikan pendidikan semiformal kepada anak-anak kaum marjinal
di pinggiran Jakarta dan ada alumninya yang telah menjadi polisi, karyawan swasta,
wirausaha, guru, dan sebagainya. Anak-anak yang dididik juga dari tingkatan
pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, SMP, dan SMA, yang semua gratis!
Nasib yang menimpa Sekolah
Darurat Kartini adalah suatu kenyataan yang ada di ibu kota negara, Jakarta.
Bagaimana pula nasib sekolah-sekolah resmi lainnya yang juga digusur untuk
pembangunan pusat-pusat perdagangan, seperti yang pernah terjadi di Kebayoran
Baru? Itukah wajah Jakarta yang ramah kepada anak-anak didik yang membutuhkan
tempat untuk menimba ilmu?
Kita juga belum tahu apakah
rakyat Jakarta benar-benar dapat memberikan suaranya secara independen tanpa
tekanan ataupun iming-iming uang. Satu hal yang amat ditakutkan adalah jika
suara rakyat dikalahkan oleh ”perselingkuhan politik” di antara tokoh-tokoh
politik nasional dari partai-partai yang mendukung kedua pasangan yang
bersaing. Mereka ”berselingkuh” agar salah satu pasangan dikalahkan ”demi
ketenangan batin” salah satu anggota keluarga elite politik yang kebetulan
memiliki persoalan pajak atau masalah dengan bisnisnya.
Jika ini terjadi, hilanglah
kesempatan rakyat Jakarta untuk menjadikan Pilkada DKI Jakarta sebagai
barometer pilkada di seluruh Indonesia! Ingat, bukan kita orang Indonesia saja
yang memantau Pilkada DKI. Perwakilan negara-negara sahabat Indonesia juga ikut
memantaunya dari dekat. Demokrasi
mengajarkan, rakyat dan bukan elite politik yang menentukan siapa yang patut
memerintah dalam kurun waktu tertentu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar