Bubarkan
KKP?
Muhamad Karim ; Direktur Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
|
SINAR HARAPAN, 15 September 2012
Laporan hasil audit BPK tahun 2011
menyebutkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kontribusinya rendah
terhadap penerimaan negara sektor pajak. Pada 2011 ekspor perikanan cuma US$
3,34 miliar dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hanya Rp 183,56 miliar
(Kompas 04/09/2012). Laporan ini bak petir di siang bolong bagi KKP, karena
menohok kementerian ini.
Pertanyaannya, mengapa KKP jadi lahan kering
bagi penerimaan negara? Apa problem ekonomi politik yang menyertainya dari sisi
kebijakan dan pendekatan pembangunan? Bila sulit menjawabnya, KKP sama saja
menggali kuburannya sendiri. Mungkinkah ini jadi lonceng kematian KKP?
Problem Ekonomi Politik
Berdirinya KKP pada 1999 memberikan angin
segar bagi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia. KKP diharapkan
memberikan andil besar buat mendayagunakan sumber daya kelautan dan perikanan
Indonesia yang selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka hidup enggan mati tak
mau. Cita-cita besar almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), waktu pertama
kali menjadi presiden RI era Reformasi--hendak mengembalikan kejayaan Indonesia
sebagai bangsa maritim.
Apa hendak dikata, cita-cita itu kini bak
tulisan di atas prasasti. Kepemimpinan berikutnya tak mampu menerjemahkan dan
melanjutkan gagasan brilian Gus Dur hingga kini. Imbasnya, KKP berkontribusi
rendah bagi penerimaan negara dari pajak hingga PNBP. Ini merupakan sebuah
ironi bagi negara kepulauan terbesar dunia yang memiliki luas lautan 5,8 juta
km2 dan panjang pantai 81.000 km.
Secara ekonomi-politik setidaknya ada tiga
kesalahan besar sejak 2001 hingga kini yang membuat KKP tak jelas arahnya.
Pertama,
kesalahan kebijakan dalam pendekatan pembangunan selama hampir 15 tahun.
Pendekatannya lebih liberal (ortodoks) hingga neoliberal sehingga orientasinya
lebih mengenjot produksi dan ekspor komoditas perikanan.
Nyatanya, selama 15 tahun terakhir
kontribusinya amat rendah bagi penerimaan negara. Pendekatan ini mengabaikan
faktor geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, tipologi masyarakat
pesisirnya (etnografi), hingga budaya dan kesejarahannya.
Mengapa pendekatan pembangunan kelautan dan
perikanan tak bersifat heterodoks atau pluralis (majemuk), meminjam istilah
Furnival, yang mempertimbangkan aspek geografis, kesejarahan, budaya,
antropologis (etnografi dan bio-etnografi) hingga budaya?
Artinya, pendekatan pembangunan kelautan dan
perikanan antara wilayah kepulauan dan
daratan besar, umpamanya, mesti berbeda
karena ada keunikan yang menjadi faktor pembatasnya. Umpamanya, pendekatan di
Maluku, Kepulauan Riau mestinya berbeda dengan Jawa dan Kalimantan.
Demikian juga bagi wilayah pesisir yang
berbatasan dengan negara tetangga, samudra luas amat berbeda dengan perairan
pedalaman.
Gagasan besar yang lahir dengan model
pendekatan pembangunan demikian tak hanya membutuhkan keahlian semata,
melainkan juga kepemimpinan yang visioner dan berpikir di luar arus utama (out of the box).
Kedua,
inkonsistensi dalam kebijakan pembangunan. KKP di era Sarwono
Kusumaatmadja (1999-2001), masih dalam masa transisi demokrasi, sudah
meletakkan landasan pokok bagaimana visi dan arah kebijakan pembangunan
kelautan dan perikanan yang menjabarkan cita-cita besar Gus Dur tadi. Mestinya,
kepemimpinan berikutnya di KKP tak jauh panggang dari api dari kebijakan
semula.
Tatkala Rokhmin Dahuri (2001-2004) memimpin
KKP, ada terobosan kebijakan, yaitu Gerbang Mina Bahari, tetapi dukungan
politik dari kekuasaan relatif rendah. Akibatnya, kebijakan itu juga patah di
tengah jalan hingga akhir masa jabatannya pada 2004.
Mestinya pada periode Freddy Numberi
(2004-2009), kebijakan ini dilanjutkan hingga memberikan arah yang konsisten
bagi pembangunan kelautan dan perikanan, terlepas dari konsepnya yang juga
masih liberal (ortodoks). Nyatanya, era Freddy Numberi justru kebijakannya
berubah menjadi revitalisasi perikanan. Inkonsistensi amat parah dan justru
berlangsung hingga kini, hingga masa dua menteri setelahnya.
Era kepemimpinan Fadel Muhammad mengusung
kebijakan “New Blue Revolution” dengan trade mark-nya Minapolitan. Kendatipun targetnya irasional, sayang,
sebelum kebijakan itu berjalan optimal dan hasilnya kelihatan, Fadel Muhammad
malah diganti Sharif Cicip Sutardjo.
Anehnya, kepemimpinan berubah, kebijakan pun
berubah. Sharif Cicip Sutardjo malah mengusung kebijakan industrialisasi
perikanan. Lucunya, pejabat yang mengurusi kelautan dan perikanan di bawahnya
malah ikut-ikutan hanyut dengan fenomena inkonsistensi ini.
Inilah fakta aroma politik dan ambisi kekuasaan
lebih mengemuka ketimbang mengurusi kepentingan rakyat, khususnya masyarakat
pesisir. Lebih fatal lagi, ada kalangan akademikus kampus dan intelektual
bermanuver di tengah karut-marutnya pembangunan kelautan dan perikanan.
Mereka ikut mengail di air keruh dengan
mendukung inkonsistensi kebijakan ini, bak pahlawan kesiangan. Patut
dipertanyakan apakah ada udang di balik batu? Jangan-jangan ini strategi
menggunting dalam lipatan demi ambisi kekuasaan pribadi, sehingga mendorong
ketidakjelasan kebijakan KKP. Imbasnya, KKP mendapatkan predikat berkontribusi
rendah terhadap penerimaan negara.
Ketiga,
mesti diakui atau tidak, sumber daya manusia (SDM) yang mengurusi KKP tak
memiliki kapasitas yang mumpuni.
Nyatanya, selama hampir 15 tahun mereka hanya
membebek pada pimpinan tertinggi tanpa mampu memberikan dialektika pemikiran
maupun terobosan kebijakan. Problem struktural semacam ini tak akan terjadi
bila SDM KKP mampu memberikan gagasan brilian dan dialektika pemikiran demi
kesejahteraan rakyat di pesisir dan pulau kecil.
Bukankah Menteri KKP sekarang ini tak
memiliki sama sekali latar belakang kelautan dan perikanan? Lalu, mengapa
aparat birokrasi di bawahnya malah membebek saja tanpa mampu memberikan
dialektika pemikiran? Setidaknya mereka harusnya dapat mempertahankan
konsistensi dalam kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan.
Bubarkan atau Pertahankan?
Dampak problem ekonomi politik yang mengemuka
di atas adalah, pertama, tercorengnya
muka KKP akibat rendahnya kontribusi terhadap penerimaan negara kendati usianya
menginjak 15 tahun. Imbasnya, KKP kian terpuruk di mata publik.
Kedua,
KKP gagal mengelola sumber daya ikan Indonesia dan mengentaskan problem
struktural di wilayah pesisir dan laut. Setidaknya problem pencurian ikan,
degradasi ekosistem pesisir dan lautan, hingga kemiskinan nelayan masih
menghantui hingga kini.
Ironisnya, kini KKP malah mengusung kebijakan
industrialisasi perikanan yang mengedepankan peningkatan produksi dan ekspor.
Bukankah kebijakan itu kian memapankan pendekatan liberal/neoliberal yang
memperparah problem struktural di wilayah pesisir dan laut? Ketiga, secara ekonomi politik KKP gagal
mengarusutamakan kelautan dan perikanan sebagai salah satu pilar pembangunan
ekonomi nasional.
KKP selama 15 tahun terakhir terkesan masih
mencari format pendekatan pembangunan yang mesti dikembangkan. Apakah ini
akibat hegemoni ekonomi politik yang mengedepan pendekatan liberalisasi
(neoliberal) atau hegemoni kekuatan politik yang mengangkangi KKP?
Sepengetahuan penulis, sejarah lahirnya KKP diarsiteki kaum akademikus dan
intelektual kampus yang melek soal kelautan dan perikanan.
Sayangnya, selepas satu dasawarsa, KKP justru
malah jadi kuda tunggangan organ kekuatan politik. Akibatnya, cita-cita besar
Gus Dur yang melahirkan lembaga ini kian jauh panggang dari api. Masihkah KKP
mesti di pertahankan dalam struktur pemerintahan Indonesia pasca-2014 atau
tidak? Itu amat bergantung pada dinamika ekonomi politik yang berlangsung
jelang 2014?
Bila citra KKP kian terpuruk akibat ketidakjelasan
kebijakan yang berimbas pada rendahnya reputasi lembaga di mata publik, jalan
terbaik yaitu membubarkan/ meniadakannya dalam struktur kabinet pasca-Pemilu
2014, kendati keberadaannya telah diatur dalam UU Kementerian Negara No 39
Tahun 2008. Pemerintah pasca-Pemilu 2014 akan lebih efektif merampingkan
kabinet dan menghapus struktur kementerian yang hanya membebani keuangan negara
ketimbang mempertahankannya.
Bila KKP mau dipertahankan, alternatifnya
adalah menggabungkannya dengan kementerian lain. Umpamanya dengan Kementerian
Pertanian, menjadi Kementerian Pertanian, Kelautan, dan Perikanan.
Atau, dengan Kementerian Lingkungan Hidup
menjadi Kementerian Kelautan, Perikanan, dan Lingkungan Hidup. Inilah solusi
terbaik, ketimbang menambah beban keuangan negara dan memperparah problem
struktural di wilayah pesisir dan laut. ●
Lho kok pake indikator PNBP? Emang kementerian lain PNBP nya tinggi? Kenapa gak pake indikator pertumbuhan ekonomi (PDB sektor Kelautan perikanan) baik pertumbuhan sejak tahun 1999 atau kontribusnya thdp pembentukan PDB?
BalasHapusPNBP kan hanya penerimaan kementerian karena balas jasa pelayanan pemerintah (mirip seperti retribusi) yg digunakan lagi sama unit2 kementerian itu buat kegiatan rutin tahunannya yg tidak dpt diakomodasi melalui APBN. Nilai PNBP sangatlah kecil bila dibandingkan nilai tambah sektor perikanan dan kelautan dalam PDB. Jadi, analisis akan lebih menarik menggunakan data PDB, pertumbuhan, perbandingan dgn sektor lain, dan sejenisnya. Tks.