Minggu, 16 September 2012

Bubarkan KKP?


Bubarkan KKP?
Muhamad Karim ;  Direktur Pusat Kajian
Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
SINAR HARAPAN, 15 September 2012


Laporan hasil audit BPK tahun 2011 menyebutkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kontribusinya rendah terhadap penerimaan negara sektor pajak. Pada 2011 ekspor perikanan cuma US$ 3,34 miliar dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hanya Rp 183,56 miliar (Kompas 04/09/2012). Laporan ini bak petir di siang bolong bagi KKP, karena menohok kementerian ini.

Pertanyaannya, mengapa KKP jadi lahan kering bagi penerimaan negara? Apa problem ekonomi politik yang menyertainya dari sisi kebijakan dan pendekatan pembangunan? Bila sulit menjawabnya, KKP sama saja menggali kuburannya sendiri. Mungkinkah ini jadi lonceng kematian KKP?

Problem Ekonomi Politik

Berdirinya KKP pada 1999 memberikan angin segar bagi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia. KKP diharapkan memberikan andil besar buat mendayagunakan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia yang selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka hidup enggan mati tak mau. Cita-cita besar almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), waktu pertama kali menjadi presiden RI era Reformasi--hendak mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai bangsa maritim.

Apa hendak dikata, cita-cita itu kini bak tulisan di atas prasasti. Kepemimpinan berikutnya tak mampu menerjemahkan dan melanjutkan gagasan brilian Gus Dur hingga kini. Imbasnya, KKP berkontribusi rendah bagi penerimaan negara dari pajak hingga PNBP. Ini merupakan sebuah ironi bagi negara kepulauan terbesar dunia yang memiliki luas lautan 5,8 juta km2 dan panjang pantai 81.000 km.

Secara ekonomi-politik setidaknya ada tiga kesalahan besar sejak 2001 hingga kini yang membuat KKP tak jelas arahnya.

Pertama, kesalahan kebijakan dalam pendekatan pembangunan selama hampir 15 tahun. Pendekatannya lebih liberal (ortodoks) hingga neoliberal sehingga orientasinya lebih mengenjot produksi dan ekspor komoditas perikanan.

Nyatanya, selama 15 tahun terakhir kontribusinya amat rendah bagi penerimaan negara. Pendekatan ini mengabaikan faktor geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, tipologi masyarakat pesisirnya (etnografi), hingga budaya dan kesejarahannya.

Mengapa pendekatan pembangunan kelautan dan perikanan tak bersifat heterodoks atau pluralis (majemuk), meminjam istilah Furnival, yang mempertimbangkan aspek geografis, kesejarahan, budaya, antropologis (etnografi dan bio-etnografi) hingga budaya?

Artinya, pendekatan pembangunan kelautan dan perikanan antara wilayah kepulauan dan 
daratan besar, umpamanya, mesti berbeda karena ada keunikan yang menjadi faktor pembatasnya. Umpamanya, pendekatan di Maluku, Kepulauan Riau mestinya berbeda dengan Jawa dan Kalimantan.

Demikian juga bagi wilayah pesisir yang berbatasan dengan negara tetangga, samudra luas amat berbeda dengan perairan pedalaman.
Gagasan besar yang lahir dengan model pendekatan pembangunan demikian tak hanya membutuhkan keahlian semata, melainkan juga kepemimpinan yang visioner dan berpikir di luar arus utama (out of the box).

Kedua, inkonsistensi dalam kebijakan pembangunan. KKP di era Sarwono Kusumaatmadja (1999-2001), masih dalam masa transisi demokrasi, sudah meletakkan landasan pokok bagaimana visi dan arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan yang menjabarkan cita-cita besar Gus Dur tadi. Mestinya, kepemimpinan berikutnya di KKP tak jauh panggang dari api dari kebijakan semula.

Tatkala Rokhmin Dahuri (2001-2004) memimpin KKP, ada terobosan kebijakan, yaitu Gerbang Mina Bahari, tetapi dukungan politik dari kekuasaan relatif rendah. Akibatnya, kebijakan itu juga patah di tengah jalan hingga akhir masa jabatannya pada 2004.
Mestinya pada periode Freddy Numberi (2004-2009), kebijakan ini dilanjutkan hingga memberikan arah yang konsisten bagi pembangunan kelautan dan perikanan, terlepas dari konsepnya yang juga masih liberal (ortodoks). Nyatanya, era Freddy Numberi justru kebijakannya berubah menjadi revitalisasi perikanan. Inkonsistensi amat parah dan justru berlangsung hingga kini, hingga masa dua menteri setelahnya.

Era kepemimpinan Fadel Muhammad mengusung kebijakan “New Blue              Revolution” dengan trade mark-nya Minapolitan. Kendatipun targetnya irasional, sayang, sebelum kebijakan itu berjalan optimal dan hasilnya kelihatan, Fadel Muhammad malah diganti Sharif Cicip Sutardjo.

Anehnya, kepemimpinan berubah, kebijakan pun berubah. Sharif Cicip Sutardjo malah mengusung kebijakan industrialisasi perikanan. Lucunya, pejabat yang mengurusi kelautan dan perikanan di bawahnya malah ikut-ikutan hanyut dengan fenomena inkonsistensi ini.

Inilah fakta aroma politik dan ambisi kekuasaan lebih mengemuka ketimbang mengurusi kepentingan rakyat, khususnya masyarakat pesisir. Lebih fatal lagi, ada kalangan akademikus kampus dan intelektual bermanuver di tengah karut-marutnya pembangunan kelautan dan perikanan.

Mereka ikut mengail di air keruh dengan mendukung inkonsistensi kebijakan ini, bak pahlawan kesiangan. Patut dipertanyakan apakah ada udang di balik batu? Jangan-jangan ini strategi menggunting dalam lipatan demi ambisi kekuasaan pribadi, sehingga mendorong ketidakjelasan kebijakan KKP. Imbasnya, KKP mendapatkan predikat berkontribusi rendah terhadap penerimaan negara.

Ketiga, mesti diakui atau tidak, sumber daya manusia (SDM) yang mengurusi KKP tak memiliki kapasitas yang mumpuni.

Nyatanya, selama hampir 15 tahun mereka hanya membebek pada pimpinan tertinggi tanpa mampu memberikan dialektika pemikiran maupun terobosan kebijakan. Problem struktural semacam ini tak akan terjadi bila SDM KKP mampu memberikan gagasan brilian dan dialektika pemikiran demi kesejahteraan rakyat di pesisir dan pulau kecil.
Bukankah Menteri KKP sekarang ini tak memiliki sama sekali latar belakang kelautan dan perikanan? Lalu, mengapa aparat birokrasi di bawahnya malah membebek saja tanpa mampu memberikan dialektika pemikiran? Setidaknya mereka harusnya dapat mempertahankan konsistensi dalam kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan.

Bubarkan atau Pertahankan?

Dampak problem ekonomi politik yang mengemuka di atas adalah, pertama, tercorengnya muka KKP akibat rendahnya kontribusi terhadap penerimaan negara kendati usianya menginjak 15 tahun. Imbasnya, KKP kian terpuruk di mata publik.

Kedua, KKP gagal mengelola sumber daya ikan Indonesia dan mengentaskan problem struktural di wilayah pesisir dan laut. Setidaknya problem pencurian ikan, degradasi ekosistem pesisir dan lautan, hingga kemiskinan nelayan masih menghantui hingga kini.
Ironisnya, kini KKP malah mengusung kebijakan industrialisasi perikanan yang mengedepankan peningkatan produksi dan ekspor. Bukankah kebijakan itu kian memapankan pendekatan liberal/neoliberal yang memperparah problem struktural di wilayah pesisir dan laut? Ketiga, secara ekonomi politik KKP gagal mengarusutamakan kelautan dan perikanan sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi nasional.
KKP selama 15 tahun terakhir terkesan masih mencari format pendekatan pembangunan yang mesti dikembangkan. Apakah ini akibat hegemoni ekonomi politik yang mengedepan pendekatan liberalisasi (neoliberal) atau hegemoni kekuatan politik yang mengangkangi KKP? Sepengetahuan penulis, sejarah lahirnya KKP diarsiteki kaum akademikus dan intelektual kampus yang melek soal kelautan dan perikanan.

Sayangnya, selepas satu dasawarsa, KKP justru malah jadi kuda tunggangan organ kekuatan politik. Akibatnya, cita-cita besar Gus Dur yang melahirkan lembaga ini kian jauh panggang dari api. Masihkah KKP mesti di pertahankan dalam struktur pemerintahan Indonesia pasca-2014 atau tidak? Itu amat bergantung pada dinamika ekonomi politik yang berlangsung jelang 2014?

Bila citra KKP kian terpuruk akibat ketidakjelasan kebijakan yang berimbas pada rendahnya reputasi lembaga di mata publik, jalan terbaik yaitu membubarkan/ meniadakannya dalam struktur kabinet pasca-Pemilu 2014, kendati keberadaannya telah diatur dalam UU Kementerian Negara No 39 Tahun 2008. Pemerintah pasca-Pemilu 2014 akan lebih efektif merampingkan kabinet dan menghapus struktur kementerian yang hanya membebani keuangan negara ketimbang mempertahankannya.

Bila KKP mau dipertahankan, alternatifnya adalah menggabungkannya dengan kementerian lain. Umpamanya dengan Kementerian Pertanian, menjadi Kementerian Pertanian, Kelautan, dan Perikanan.

Atau, dengan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Kelautan, Perikanan, dan Lingkungan Hidup. Inilah solusi terbaik, ketimbang menambah beban keuangan negara dan memperparah problem struktural di wilayah pesisir dan laut. ●

1 komentar:

  1. Lho kok pake indikator PNBP? Emang kementerian lain PNBP nya tinggi? Kenapa gak pake indikator pertumbuhan ekonomi (PDB sektor Kelautan perikanan) baik pertumbuhan sejak tahun 1999 atau kontribusnya thdp pembentukan PDB?
    PNBP kan hanya penerimaan kementerian karena balas jasa pelayanan pemerintah (mirip seperti retribusi) yg digunakan lagi sama unit2 kementerian itu buat kegiatan rutin tahunannya yg tidak dpt diakomodasi melalui APBN. Nilai PNBP sangatlah kecil bila dibandingkan nilai tambah sektor perikanan dan kelautan dalam PDB. Jadi, analisis akan lebih menarik menggunakan data PDB, pertumbuhan, perbandingan dgn sektor lain, dan sejenisnya. Tks.

    BalasHapus