Freeport
dan Papua untuk Siapa?
Teuku Kemal Fasya ; Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
|
REPUBLIKA, 15 September 2012
Ketika
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton tiba di Indonesia pada 3
September, rasanya sulit untuk tidak melihat pesan politik yang melatarinya.
Tentu saja itu bukanlah muhibah biasa, mengingat Pemerintah AS selalu membawa
kepentingan maksimalnya ketika mengunjungi negara-negara lain.
Kedua
belah pihak (Hillary Clinton dan Menlu Marty Natalegawa) secara “kompak“
menyatakan tidak membahas tentang Freeport. Ini berbeda dengan kesan publik
(dan gerakan demonstrasi) yang melihat kedatangan itu terkait memperpanjang
napas Freeport di Indonesia hingga 2041.
Secara
semiotik, pernyataan itu bisa dilihat secara terbalik dan sangat politis bahwa kunjungan
itu sangat berhubungan dengan Freeport. Atau, Pemerintah Indonesia akan
menghadapi dilema jika sampai mengusik kepentingan bisnis Amerika, karena bisa
jadi “politik wortel“ tentang bantuan
pesawat (meskipun bekas) akan dihambat, padahal Indonesia tengah kesulitan
anggaran untuk peremajaan alat-alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Freeport
telah berada di Indonesia tak lama ketika pemerintahan Soekarno runtuh.
Sebenarnya sejak 1960 Freeport telah mengetahui potensi tambang di Papua,
tetapi Soekarno mempersulit persyaratan kontrak karena menganggap eksploitasi
tidak memihak Indonesia.
Pemerintahan
baru di bawah Soeharto dianggap mitra strategis untuk mengembangkan industri
ekstraktif sekaligus mengeksploitasi kekayaan Indonesia melalui perusahaan
Amerika dan dukungan utang dari Bank Dunia dan IMF (Perkins, 2007). Kegiatan
utama Freeport pada 1967 bertujuan mengeksplorasi biji tembaga dengan lahan
seluas 100 ribu hektare. Saat itu sebagian besar saham dimiliki oleh Freeport McMoRan Copper & Gold Corp
(80 persen) sedangkan Pemerintah Indonesia hanya memiliki saham 9,36 (persen).
Ternyata secara diam-diam Freeport memperluas areal penambangan karena
menemukan emas dan perak dengan jumlah puluhan kali lipat dibanding tembaga.
Operasi
diam-diam itu akhirnya baru diketahui Pemerintah Indonesia pada 1978. Anehnya,
pemerintah tidak memberikan penalti atas pelanggaran kontrak lahan, bahkan
melakukan persetujuan perluasan lahan tambang. Keberadaan Freeport menjadi
pintu masuk bagi eksploitasi sumber daya alam di Papua secara besar-besaran dan
tak terkendali.
Subetnis Papua
Freeport
yang demikian berkuasa dan meluas di wilayah Papua membuat dampak lingkungan,
ekologis, dan kultural yang sangat negatif bagi masyarakat Papua. Misalnya,
tujuh suku utama yang terdampak langsung kegiatan eksplorasi di wilayah
Pegunungan Mimika harus digusur ke Kwanki Lama, di wilayah dekat Ibu Kota
Mimika, Timika. Arogansi kebijakan seperti ini menimbulkan konflik
sosial-budaya yang semakin disalahpahami.
Contoh
lain, politik migrasi sejak masa pemerintahan Soeharto menyebabkan penurunan
populasi asli Papua. Jika statistik pada 1971 menunjukkan perbandingan antara
populasi asli dan nonasli Papua adalah 96 persen dan empat persen, dan pada
1990 telah melonjak menjadi 75 persen dan 25 persen, maka pada 2011 populasi
Papua dan non-Papua asli menjadi 48 persen dan 52 persen. Etnis bukan asli
Papua akhirnya menguasai wilayah dan sektor ekonomi politik-budaya Tanah Papua.
Kekecewaan
itu juga bercampur dengan tindakan represif pemerintahan Indonesia dalam
menyelesaikan gejolak yang muncul di tengah masyarakat Papua. Pendekatan
militer selalu diprioritaskan berbarengan dengan kebijakan reintegrasi Papua ke
Indonesia. Ini pula yang menyebabkan referendum rakyat Papua atau yang disebut
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dianggap sebagai kebijakan
manipulatif dan tidak berlangsung secara demokratis.
Kompleksitas
ini menunjukkan bahwa setelah 14 tahun reformasi dan hampir 50 tahun Papua
bersatu bersama Indonesia (jika dihitung hari integrasi Papua ke Indonesia pada
1 Mei 1963), belum banyak langkah maju dalam menyelesaikan kasus Papua.
Kompleksitas berlapis antara masalah marjinalisasi dan diskriminasi, salah urus
pembangunan, gagalnya memahami status dan sejarah masyarakat Papua, serta kekerasan
militer dan pelanggaran HAM, baik yang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia dan
perusahaan multinasional, menyebabkan proses demokratisasi dan perdamaian di
tanah Papua tidak pernah bersemi.
Inti yang diinginkan adalah seharusnya masalah Papua diserahkan kepada
masyarakat Papua sendiri dan setiap kerumitan dalam menyelesaikan masalah
hendaknya dikedepankan dengan jalan dialog yang santun dan setara. Jika ini
diabaikan maka setiap pendekatan ekonomi-politik yang dilakukan oleh Pemerintah
RI dan Freeport (AS) di Papua hanya memperbesar kepentingan pragmatis mereka
sendiri, tidak membahagiakan masyarakat Papua. Pendekatan ekonomi yang serakah
dan pendekatan politik yang represif sebenarnya sketsa wajah kekuasaan yang
menghancurkan banyak kebudayaan, termasuk kebudayaan Papua. ●
Salam Pak Budi Santoso.... Terima kasih peran blog Bapak yang telah mendiseminasi banyak wacana sosial-politik-budaya dari media melalui blog ini. Jadi saya sangat terbantu juga untuk mengupdate pandangan banyak penulis Indonesia melalui peran blog Bapak ini. Itu juga termasuk beberapa tulisan saya yang bapak postingkan....
BalasHapusTapi tulisan saya yang dipublish di Republika ini telah mengalami banyak pemotongan oleh redaksi, yang saya takutkan pembaa kehilangan konteks.Jika Bapak bersedia saya akan kirimkan naskah aslinya untuk dipostingkan... Salam erat selalu.
TKF
Silakan kirim ke budisan_2005@yahoo.com, insya Allah postingan dari Republika akan saya update. Salam erat kembali..
HapusTelah saya kirimkan
BalasHapus