Terorisme,
Radikalisme dan Deradikalisasi
Endang Suryadinata ; Alumnus Erasmus Universiteit
Rotterdam-Belanda,
Tinggal di Surabaya
|
SINAR HARAPAN, 15 September 2012
Terorisme memang ibarat hantu. Kadang
menghilang cukup lama, tapi tiba-tiba bisa datang dan jadi perbincangan.
Hari-hari ini media kita kembali menjadikan terorisme sebagai buah bibir,
setelah sekelompok teroris muda menyerang pos polisi di Solo pada 17 dan 18
Agustus 2012.
Pada 30 Agustus, Tim Densus 88 berhasil
menembak mati dua teroris muda, meski seorang polisi juga tewas dalam baku
tembak di jalanan Kota Solo. Disusul penemuan amunisi bom di Tambora, Jakarta,
dan konon ada satu jaringan teroris antara Solo dan Jakarta.
Kalau kita bicara terorisme di negeri ini,
sebenarnya tak bisa dilepaskan dari terorisme global, dengan Al-Qaeda sebagai
pemain utama. Seperti diketahui, Al-Qaeda pernah menyerang World Trade Center di New York, AS, pada 11 September 2001 yang
menewaskan sekitar 3.000 orang.
Meski pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden sudah
tewas dalam sebuah operasi militer AS di Kota Abbottabad, Pakistan, awal Mei
2011, namun terorisme tidak mengenal kata mati.
Demikian juga di negeri kita, meski para
gembong teroris seperti Dr Azahari dan Noordin M Top sudah tewas dalam baku
tembak dengan Densus 88, generasi baru teroris selalu muncul. Munculnya teroris
baru menjadi bukti bahwa terorisme sudah menjadi ideologi yang tidak bisa hanya
dihadapi dengan senjata.
Mungkin benar bahwa perang melawan terorisme
sebagai ”perang untuk merebut hati dan pikiran”. Lewat berbagai strateginya,
para gembong teroris baru terbukti beberapa kali menang dalam perang merebut
hati dan pikiran, sehingga selalu ada orang-orang muda yang bisa direkrut untuk
jadi teroris.
Peperangan seperti ini sulit dikalahkan
dengan senjata, karena para teroris selalu meyakini setiap aksi mereka adalah
demi membela agama, bahkan Tuhan. Jadi, di sinilah letak kesulitannya. Ketika
para teroris sudah didorong oleh sebuah motif berdasar agama maka masalah
terorisme menjadi persoalan yang rumit.
Radikalisme
Seperti diketahui, para teroris memiliki
pemahaman keagamaan yang radikal. Radikalisme itu seperti lahir lagi setelah
2001. Pascatragedi 11/9 atau serangan teroris ke AS pada 2001, berbagai negara,
termasuk Indonesia, justru direpotkan oleh munculnya jaringan terorisme global
dengan membawa-bawa ajaran Islam. Tentu mereka memiliki pandangan keislaman
yang berbeda dengan mayoritas Islam di negeri kita, yang rata-rata bersikap
moderat dan menjauhi radikalisme.
Ajaran Islam sejati yang memuliakan hidup
terpinggirkan oleh argumentasi teologis yang tampak rasional, sehingga
ujung-ujungnya kematian justru dipuja, baik kematian si pelaku bom bunuh diri
sebagai syuhada maupun kematian dari warga tak berdosa.
Padahal, Islam yang sejati mengajarkan bahwa
membunuh satu orang sudah membunuh seluruh umat manusia. Jadi, para teroris
sudah menodai agama, karena sejak lama mereka menjadikan agama sebagai pembenar
atau legitimasi bagi segala aksi mereka.
Untuk itu para tokoh agama mohon lebih aktif
turun ke bawah guna merebut hati dan pikiran umat agar jauh dari hal-hal yang
membahayakan agama dan kemanusiaan. Betapa berbahayanya agama bila sudah
dibajak atau diselewengkan para teroris. Kebenaran agama yang damai tersisih
oleh ajaran agama para teroris yang membenarkan kekerasan dan pembunuhan.
Para tokoh agama atau kita harus bisa lebih
cerdik daripada para gembong teroris sehingga orang-orang muda kita bisa
dihindarkan dari bujuk rayu radikalisme atau ajaran yang menyesatkan.
Kalau para gembong teroris mengajarkan bahwa
radikalisme yang diusungnya demi membela agama dan Tuhan, para tokoh agama
harus mengajarkan membela Tuhan dan agama tidak perlu lewat kekerasan. Ingat,
menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang 1.000 hari wafatnya jatuh pada 17
September 2012, Islam tidak perlu dibela, demikian juga Tuhan tidak perlu
dibela.
Berkaca dari Belanda
Tak berbeda jauh dengan Indonesia, negara
yang pernah dijajahnya, Belanda juga menghadapi ancaman radikalisme yang muncul
di kalangan kaum imigran asal Maroko, Somalia, atau Timur Tengah lain.
Radikalisme itu memuncak pada terbunuhnya politikus Belanda Pim Fortuijn pada
2002 dan sineas Theo van Gogh pada 2004, yang dinilai telah melecehkan Islam.
Terbunuhnya kedua sosok itu mendorong
pemerintah Belanda mencari jalan untuk mengatasi radikalisme agama. Pemerintah
Belanda menggandeng para pemikir dan perguruan tinggi guna menghadapi
radikalisme agama.
Froukje Demant merupakan peneliti radikalisme
yang terkenal. Dia menyarankan agar pemerintah Belanda yang sekuler lebih
terbuka untuk argumen-argumen religius dan kaum muslim moderat harus mengajak
sesama muslim yang radikal masuk ke mainstream Islam yang damai. Tentu itu
bukan saran yang mudah.
Dalam hal radikalisme, pemerintah Belanda
juga menghargai jasa para pemikir Islam Timur Tengah yang ditampung sebagai
akademikus migran di sejumlah kampus atau pusat riset di Belanda. Abdul Karim
Soroush yang asal Iran, misalnya, segaris dengan iklim kebebasan Belanda dan
berkontribusi dalam proses deradikalisasi kaum radikal.
Mungkin, ada baiknya para tokoh agama,
demikian juga para cendekiawan muslim di negeri kita berkumpul dan
mendiskusikan persoalan terorisme ini. Ini penting, bukan demi citra Islam yang
positif saja, tetapi jangan sampai sejarah kelak mencatat negeri kita sebagai
sarang teroris.
Kecuali itu, pemerintah Belanda terus
memantau atau melakukan supervisi atas lembaga-lembaga agama yang dianggap
rentan menumbuhkan ide-ide radikal. Dinas intelijen Belanda AIVD juga selalu
proaktif dalam melihat sesuatu yang berpotensi membahayakan keselamatan banyak
orang.
Polisi Belanda akan menyelidiki siapa pun
yang berani memuji aksi kaum radikal. Itu senada dengan yang diucapkan Ansad
Mbai, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Dia menyayangkan
sikap beberapa tokoh agama atau ustaz yang justru memuji teroris yang mati
sebagai martir.
Ansad menambahkan, percuma polisi bekerja
keras di lapangan, sementara setiap saat muncul teroris baru karena apa yang
dilakukan dianggap sebagai pahlawan atau suhada. Dengan membiarkan segala puja-puji
untuk para teroris, berarti kita yang memiliki pemahaman moderat, sesungguhnya
sudah kalah dalam peperangan merebut hati dan pikiran.
Memang yang diperlukan dalam peperangan
merebut hati dan pikiran adalah kesadaraan bahwa masalah ini tidak ringan.
Karena itu jangan lagi, kita berlindung di balik kata, yang menganggap mereka
yang memiliki pandangan radikal itu toh hanya segelintir orang, bukan
mayoritas.
Jangan lupa segelintir orang, dengan bom yang
siap mereka ledakkan, bisa menghadirkan petaka dan bahaya. Jadi, mari kita
jangan bosan menyebut bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan. Agama apa pun
akan mengutuk aksi teror. Jadi, mari kita terus mencari upaya untuk melakukan
deradikalisasi sehingga negeri ini akan bebas dari ancaman radikalisme dan
terorisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar