Belanja
Pertahanan untuk Kesejahteraan
Fahmi Al Fansi P Pane ; Tenaga Ahli DPR RI
|
REPUBLIKA,
04 September 2012
Usulan kenaikan belanja fungsi pertahanan pa da RAPBN 2013 menjadi
sebesar Rp 77,7 triliun dipersoalkan sebagian ekonom karena dianggap tidak
konsisten dengan empat pilar strategi pembangunan dan 11 prioritas nasional.
Alasan lainnya adalah dampak krisis ekonomi Eropa akan terjadi tahun depan
sehingga anggaran harus fokus ke sektor ekonomi. Menanggapi kritik tersebut,
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan, tujuan kenaikan belanja
fungsi pertahanan adalah mempercepat pemenuhan kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF).
Agaknya, kritik terhadap kenaikan belanja pertahanan disebabkan
oleh konsep ekonomi makro bahwa ada trade off antara pembelian senjata (gun) dan roti (butter). Saat anggaran
negara terbatas, pengambil keputusan harus memutuskan proporsi belanja aspek
militer dan sipil.
Namun, seperti di hampir semua ne gara, belanja pertahanan
Indonesia mustahil melebihi belanja pelayanan umum, ekonomi, dan kesejahteraan
publik. Terlebih, belanja pertahanan hanya dijalankan oleh pemerintah pusat
sedangkan belanja sektor publik lainnya juga dilakukan oleh pemerintah daerah,
baik dari transfer belanja ke daerah maupun dari pendapatan asli daerah dan
sumber pembiayaan daerah lainnya.
Untuk RAPBN 2013, anggaran be lanja pertahanan masih terlalu kecil
di banding belanja pemerintah pusat un tuk fungsi ekonomi (Rp 114,9 tri liun),
pelayanan umum Rp 733,8 triliun, pendidikan Rp 108,7 triliun, dan sebagainya.
Dari rancangan postur anggaran itu, prioritas pe merintah tetap pada
kepentingan publik dan perekonomian ketimbang urusan pertahanan dan keamanan.
Namun, perlu diakui, sebagian anggaran yang fungsi pokoknya untuk
rakyat tidak diterima rakyat secara utuh. Sebagian besar belanja justru “dinikmati”
oleh pegawai (21,2 persen dari belanja pemerintah pusat) dan habis dipakai
sebagai belanja barang (14 persen). Sementara itu, belanja modal yang bisa
menambah aset negara dan digunakan untuk menambah manfaat bagi rakyat (17
persen), termasuk pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista). Bahkan, bantuan sosial (5,2
persen) hanya separuh pembayaran bunga utang (9,9 persen).
Dari sudut ini, kritik para ekonom ada benarnya, tetapi masalahnya
bukan pada kenaikan alokasi belanja pertahanan. Biang keladinya terlalu besarnya
jumlah dan biaya pegawai, biaya penyelenggaraan organisasi peme rintahan, biaya
perjalanan dinas, pengadaan barang/jasa habis pakai, dan sebagainya Masalahnya
adalah subsidi yang mencapai 27,8 persen (Rp 316,1 T).
Sekalipun kritik terhadap kenaikan belanja pertahanan kurang
proporsional, tetapi pemerintah lebih baik merancang belanja pertahanan yang
berkorelasi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan perbaikan
kesejahteraan rakyat.
Pembelanjaan alutsista, pengadaan barang dan logistik pertahanan,
rekrutmen dan pelatihan warga untuk bela negara, dan sebagainya bukan hanya bermanfaat
untuk peningkatan rasa aman dan damai bagi bangsa dan tiap-tiap insan. Tetapi
juga, dapat menjadi salah satu stimulus perekonomian, mendongkrak efek
pengganda (multiplier effect),
menciptakan lapangan kerja, bahkan menjadi salah satu solusi mitigasi dampak
krisis ekonomi Eropa dan AS.
Sayangnya, banyak negara tidak mampu menata postur belanja
pertahanannya untuk membantu perekonomian. Buktinya, Chowdhury (1991) dalam Tiwari
dan Tiwari (2010) tidak menemukan hubungan belanja pertahanan dan
pertumbuhan ekonomi pa da mayoritas kelompok 55 ne gara terbelakang (less developed countries/LDC).
Bahkan, dalam Journal of
Cambridge Studies berjudul “Defence
Expenditure and Economi Growth: Evidence from India, Tiwari dan Tiwari”
menyimpulkan bahwa sekalipun melonjaknya pengeluaran sektor pertahanan India
meningkatkan tabungan domestik, namun Pemerintah harus mengantisipasi fluktuasi
perdagangan yang berdampak negatif terhadap belanja pertahanan dan GDP.
Pengalaman India membuktikan peningkatan belanja pertahanan sematamata, tanpa
perbaikan negara dan strategi implementasi, dapat membuat perekonomian
berkontraksi.
Untuk itu, Indonesia dapat meneladani praktik terbaik dalam sistem
APBN dan manajemen pertahanan Amerika Serikat (AS) dan negara maju lainnya
dengan sejumlah modifikasi.
Di negara-negara maju tersebut, pemenuhan mayoritas kebutuhan
sektor pertahanan dan produksi alutsista dilakukan oleh industri nasionalnya. Impor
tetap ada, seperti logam tanah langka (unsur Lantanida) dari Cina, tetapi mayoritas komponen perangkat lunak,
sistem teknologi dan instrumentasi, dan bagian vital lainnya tetap diproduksi
sendiri.
Strategi ini dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi dan mendongkrak kesejahteraan rakyat. Namun, modifikasi
harus dilakukan karena produksi dan akusisi alutsista di AS didominasi oleh
perusahaan-perusahaan swasta raksasa sementara di Indonesia peran tersebut
dilakukan oleh BUMN. Swasta lebih cocok menjadi industri pendukungnya atau
bekerja sama dengan BUMN untuk produksi alutsista
yang belum mampu diproduksi sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar