Kamis, 06 September 2012

Belanja Pertahanan untuk Kesejahteraan


Belanja Pertahanan untuk Kesejahteraan
Fahmi Al Fansi P Pane ;  Tenaga Ahli DPR RI
REPUBLIKA, 04 September 2012


Usulan kenaikan belanja fungsi pertahanan pa da RAPBN 2013 menjadi sebesar Rp 77,7 triliun dipersoalkan sebagian ekonom karena dianggap tidak konsisten dengan empat pilar strategi pembangunan dan 11 prioritas nasional. Alasan lainnya adalah dampak krisis ekonomi Eropa akan terjadi tahun depan sehingga anggaran harus fokus ke sektor ekonomi. Menanggapi kritik tersebut, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan, tujuan kenaikan belanja fungsi pertahanan adalah mempercepat pemenuhan kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF).

Agaknya, kritik terhadap kenaikan belanja pertahanan disebabkan oleh konsep ekonomi makro bahwa ada trade off antara pembelian senjata (gun) dan roti (butter). Saat anggaran negara terbatas, pengambil keputusan harus memutuskan proporsi belanja aspek militer dan sipil.

Namun, seperti di hampir semua ne gara, belanja pertahanan Indonesia mustahil melebihi belanja pelayanan umum, ekonomi, dan kesejahteraan publik. Terlebih, belanja pertahanan hanya dijalankan oleh pemerintah pusat sedangkan belanja sektor publik lainnya juga dilakukan oleh pemerintah daerah, baik dari transfer belanja ke daerah maupun dari pendapatan asli daerah dan sumber pembiayaan daerah lainnya.

Untuk RAPBN 2013, anggaran be lanja pertahanan masih terlalu kecil di banding belanja pemerintah pusat un tuk fungsi ekonomi (Rp 114,9 tri liun), pelayanan umum Rp 733,8 triliun, pendidikan Rp 108,7 triliun, dan sebagainya. Dari rancangan postur anggaran itu, prioritas pe merintah tetap pada kepentingan publik dan perekonomian ketimbang urusan pertahanan dan keamanan.

Namun, perlu diakui, sebagian anggaran yang fungsi pokoknya untuk rakyat tidak diterima rakyat secara utuh. Sebagian besar belanja justru “dinikmati” oleh pegawai (21,2 persen dari belanja pemerintah pusat) dan habis dipakai sebagai belanja barang (14 persen). Sementara itu, belanja modal yang bisa menambah aset negara dan digunakan untuk menambah manfaat bagi rakyat (17 persen), termasuk pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista). Bahkan, bantuan sosial (5,2 persen) hanya separuh pembayaran bunga utang (9,9 persen).

Dari sudut ini, kritik para ekonom ada benarnya, tetapi masalahnya bukan pada kenaikan alokasi belanja pertahanan. Biang keladinya terlalu besarnya jumlah dan biaya pegawai, biaya penyelenggaraan organisasi peme rintahan, biaya perjalanan dinas, pengadaan barang/jasa habis pakai, dan sebagainya Masalahnya adalah subsidi yang mencapai 27,8 persen (Rp 316,1 T).

Sekalipun kritik terhadap kenaikan belanja pertahanan kurang proporsional, tetapi pemerintah lebih baik merancang belanja pertahanan yang berkorelasi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan rakyat.

Pembelanjaan alutsista, pengadaan barang dan logistik pertahanan, rekrutmen dan pelatihan warga untuk bela negara, dan sebagainya bukan hanya bermanfaat untuk peningkatan rasa aman dan damai bagi bangsa dan tiap-tiap insan. Tetapi juga, dapat menjadi salah satu stimulus perekonomian, mendongkrak efek pengganda (multiplier effect), menciptakan lapangan kerja, bahkan menjadi salah satu solusi mitigasi dampak krisis ekonomi Eropa dan AS.

Sayangnya, banyak negara tidak mampu menata postur belanja pertahanannya untuk membantu perekonomian. Buktinya, Chowdhury (1991) dalam Tiwari dan Tiwari (2010) tidak menemukan hubungan belanja pertahanan dan pertumbuhan ekonomi pa da mayoritas kelompok 55 ne gara terbelakang (less developed countries/LDC).

Bahkan, dalam Journal of Cambridge Studies berjudul “Defence Expenditure and Economi Growth: Evidence from India, Tiwari dan Tiwari” menyimpulkan bahwa sekalipun melonjaknya pengeluaran sektor pertahanan India meningkatkan tabungan domestik, namun Pemerintah harus mengantisipasi fluktuasi perdagangan yang berdampak negatif terhadap belanja pertahanan dan GDP. Pengalaman India membuktikan peningkatan belanja pertahanan sematamata, tanpa perbaikan negara dan strategi implementasi, dapat membuat perekonomian berkontraksi.

Untuk itu, Indonesia dapat meneladani praktik terbaik dalam sistem APBN dan manajemen pertahanan Amerika Serikat (AS) dan negara maju lainnya dengan sejumlah modifikasi.
Di negara-negara maju tersebut, pemenuhan mayoritas kebutuhan sektor pertahanan dan produksi alutsista dilakukan oleh industri nasionalnya. Impor tetap ada, seperti logam tanah langka (unsur Lantanida) dari Cina, tetapi mayoritas komponen perangkat lunak, sistem teknologi dan instrumentasi, dan bagian vital lainnya tetap diproduksi sendiri.

Strategi ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mendongkrak kesejahteraan rakyat. Namun, modifikasi harus dilakukan karena produksi dan akusisi alutsista di AS didominasi oleh perusahaan-perusahaan swasta raksasa sementara di Indonesia peran tersebut dilakukan oleh BUMN. Swasta lebih cocok menjadi industri pendukungnya atau bekerja sama dengan BUMN untuk produksi alutsista yang belum mampu diproduksi sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar