Ahok, Tionghoa,
dan SARA
Agus Dermawan T ; Kritikus Seni, Penulis Esai dan Buku
Berbasis Sosial-Budaya
|
KORAN
TEMPO, 05 September 2012
Ketika maju sebagai kandidat Wakil Gubernur
Jakarta, Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama tak pernah berpikir bahwa ia adalah
orang Cina. Sebab, sejak awal ia merasa seratus persen Indonesia. Perasaan itu
sesungguhnya total mengkristal sejak reformasi 1998. Sebab, sejak kurun itu,
warga Tionghoa dijunjung status baru: "suku Tionghoa", yang secara
eksistensial merupakan bagian resmi dari keluarga besar Indonesia Raya. Dengan
status ini suku Tionghoa memang secara otomatis punya kewajiban agar di mana
pun dan kapan pun harus selalu Indonesia. Meski Indonesia sedang diguncang
gempa dan disaput angin topan, misalnya.
Ahok tentu hanya sebagai contoh pembuka
karena, sejak memasuki Orde Reformasi, orang-orang yang sesuku dengan Ahok
tentu telah banyak berkontribusi dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Namun lantaran pada orde ini Indonesia berjalan dengan semangat tanpa sekat,
kontribusi tersebut tidak lagi diekspos serta ditengarai sebagai karya suku
Tionghoa. Sebagaimana kita tidak perlu menghitung bahwa yang ini kontribusi
suku Bali, sementara yang itu kontribusi suku Sumatera, Jawa, atau Papua.
Orde Reformasi agaknya telah belajar dari
pengalaman masa lalu, betapa sebuah upaya mengkalkulasi kontribusi suatu ras
akhirnya malah melahirkan sentimen primordial. Dan sentimen ini--apalagi yang
dikontaminasi negativitas politik--akan melahirkan penekanan, pembatasan, dan
penyembunyian kenyataan.
Pada masa Orde Baru, sikap seperti ini kerap
dilakukan. Sebagai contoh adalah upaya pemerintah kala itu untuk menghapus kontribusi
Sin Ming Hui. Sebuah organisasi yang pernah sepenuhnya bekerja untuk Indonesia,
demi mengisi tahun-tahun awal Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus
1945. Hasil kerja perkumpulan warga Tionghoa peranakan ini oleh Orde Baru
berusaha ditenggelamkan dari sejarah, bahkan dihilangkan dari ingatan bangsa.
Berikut ini adalah sepetik cerita (noktah pengingat) tentang organisasi yang
selama berpuluh tahun berusaha dilupakan peranannya itu.
Diruntuhkan
Sin Ming Hui atau Perkumpulan Terang Baru dideklarasikan
pada 20 Januari 1946 di bilik kantor majalah Sinpo di Jalan Asemka, Jakarta
Kota. Setelah berkembang, Sin Ming Hui menyewa rumah berkamar 100 milik Khouw
Kim An di Molenvliet West (kini jalan Gajah Mada) sebagai kantornya. Mayor
Khouw Kim An adalah anggota Dewan Rakyat (Volksraad) 1921-1931 yang meninggal
dalam penjara Jepang pada Februari 1945.
Dalam dunia pendidikan, Sin Ming Hui
mendirikan SD, SMP, SMA, Sekolah Asisten Apoteker, sampai perguruan tinggi yang
sekarang dikenal sebagai Universitas Taruma Negara. Di bidang kesehatan, Sin
Ming Hui mendirikan beberapa poliklinik, juga rumah sakit yang kini dikenal
sebagai Rumah Sakit Sumber Waras. Bahkan perkumpulan ini mempunyai seksi
bantuan hukum, pelayanan bagi rakyat jelata yang tak memiliki pengetahuan
hukum.
Sin Ming Hui menghasilkan banyak nama yang
punya kontribusi besar dalam kemajuan negara dan bangsa Indonesia. Di antaranya
Meester Oei Tjoe Tat, yang akhirnya menjadi menteri. Yap Thiam Hien menjadi
pengacara legendaris. Liem Tjing Hien menjadi ahli hukum ternama, yang kini
jejaknya dilambungkan oleh istrinya, notaris Kartini Muljadi. Dr Loe Ping Kian
menjadi aktivis bidang kesehatan. Tjan Tjoen Hok alias Harry Tjan Silalahi
menjadi pengamat politik terkenal. Ouwyong Peng Koen alias P.K. Oyong menjadi
tokoh pers, dan salah satu pendiri harian Kompas.
Nama Sin Ming Hui berubah menjadi Perkumpulan
Tjandranaja, sesuai dengan Surat Berita Negara Republik Indonesia Nomor 32/19
April 1962. Meski berganti nama, aktivitas organisasi ini berjalan sebagaimana
biasanya. Namun, setelah peristiwa G30S 1965, semua kegiatan yang
bersangkut-paut dengan Tionghoa dibekukan oleh Orde Baru. Gedung Tjandranaja
disita dan ditelantarkan. Sampai akhirnya gedung indah, monumental, antik,
serta bersejarah itu reyot dan terpaksa dibongkar habis.
Orde Baru menganggap pengaburan aktivitas dan
penghapusan jejak gedung ini identik dengan terhapusnya peran warga Tionghoa.
Padahal Sin Ming Hui berjuang sama sekali bukan untuk mengibarkan potensi suku
Tionghoa, bukan untuk menumpuk jasa suku Tionghoa, dan tidak memiliki agenda
lain di luar pengabdian kepada bangsa dan negara Indonesia.
Lintang-Pukang
Penghapusan kontribusi warga Tionghoa ini
juga dilakukan di bidang kebudayaan dan kesenian. Di antaranya menimpa Yin Hua,
perkumpulan seni yang pendiriannya diinspirasi oleh Sin Ming Hui. Kata Yin
berarti Indonesia, Hua artinya Cina. Perkumpulan ini didirikan pada 1955 dan
diketuai oleh Lee Man Fong. Sanggar Yin Hua terletak di kawasan Princenpark
(kini Lokasari), Jakarta Kota. Dalam "deklarasi-nya, mereka bertekad
mencipta karya-karya terbaik untuk Indonesia Raya, tentu dengan tidak
menjunjung-junjung ketionghoaannya.
"Kami berkarya seperti orang Bali
berkreasi, seperti orang Batak berkarya, seperti orang Kalimantan bekerja. Semua
untuk menyumbang keragaman budaya Indonesia yang sudah sepuluh tahun
merdeka," kata Yap Thay Hua, wakil ketuanya, kala peresmian perkumpulan
itu, 57 tahun silam.
Pameran-pameran Yin Hua disambut antusias.
Presiden Sukarno bersama sejumlah menteri adalah tamu utamanya. Dari sini
kemudian dikenal sejumlah figur yang terus berkelindan dalam sejarah seni rupa
Indonesia. Bahkan Lee Man Fong diangkat sebagai Pelukis Istana Presiden
Sukarno, bersama Lim Wasim. Gerakan nasionalis Yin Hua ini diikuti oleh seniman
Tionghoa di berbagai daerah, seperti Lim Kwie Bing, Lim Tjoe Ing, sampai Siauw
Tik Kwie.
Tapi, seperti halnya Sin Ming Hui, setelah
peristiwa G30S 1965, Yin Hua diteror sehingga bubar. Orde Baru mengeluarkan
keputusan politik Instruksi Presiden No. 14/1967, yang melarang semua kegiatan
beraroma Cina. Tekanan ini menyebabkan para seniman Tionghoa yang nonpolitik
itu lintang-pukang. Lee Man Fong ngabur ke Singapura. Wen Peor lari ke Hong
Kong. Lim Wasim menyamar jadi tukang roti. Siauw Tik Kwie, pencipta komik
"Sie Jin Kui", menyepi seraya memperdalam filsafat Jawa Ki Ageng
Suryomentaram dan berganti nama menjadi Oto Suatika. Sedangkan Siauw Swie Tjing
rela dikabarkan mati, untuk kemudian menjelma menjadi Chris Suharso.
Sekali lagi, paparan di atas adalah sekadar
noktah pengingat betapa pada masa lalu peranan Tionghoa (secara tidak perlu)
berusaha ditenggelamkan dari sejarah. Kini suku Tionghoa sudah berumah di bawah
langit Indonesia yang bersih dari mata-mata pengkalkulasi kontribusi, serta
bebas dari teropong yang menelisik curiga: "ada apa di balik peran yang
dilakukan suku Tionghoa". Dengan demikian, atas apa yang akan dihasilkan
dalam pengabdian, siapa pun tidak perlu menyebut bahwa itu adalah jasa kalangan
Tionghoa. Itu sebabnya, orang-orang seperti Ahok alias Zhong Wan Xie alias
Basuki Tjahaja Purnama layak diberi kesempatan luas untuk melaksanakan
pengabdiannya sebagai seratus persen orang Indonesia. Dalam bidang apa pun,
dalam jabatan apa pun. Dengan begitu, ia terjauhkan dari isu SARA. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar