Kamis, 06 September 2012

Ahok, Tionghoa, dan SARA


Ahok, Tionghoa, dan SARA
Agus Dermawan T ;  Kritikus Seni, Penulis Esai dan Buku Berbasis Sosial-Budaya
KORAN TEMPO, 05 September 2012


Ketika maju sebagai kandidat Wakil Gubernur Jakarta, Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama tak pernah berpikir bahwa ia adalah orang Cina. Sebab, sejak awal ia merasa seratus persen Indonesia. Perasaan itu sesungguhnya total mengkristal sejak reformasi 1998. Sebab, sejak kurun itu, warga Tionghoa dijunjung status baru: "suku Tionghoa", yang secara eksistensial merupakan bagian resmi dari keluarga besar Indonesia Raya. Dengan status ini suku Tionghoa memang secara otomatis punya kewajiban agar di mana pun dan kapan pun harus selalu Indonesia. Meski Indonesia sedang diguncang gempa dan disaput angin topan, misalnya.

Ahok tentu hanya sebagai contoh pembuka karena, sejak memasuki Orde Reformasi, orang-orang yang sesuku dengan Ahok tentu telah banyak berkontribusi dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Namun lantaran pada orde ini Indonesia berjalan dengan semangat tanpa sekat, kontribusi tersebut tidak lagi diekspos serta ditengarai sebagai karya suku Tionghoa. Sebagaimana kita tidak perlu menghitung bahwa yang ini kontribusi suku Bali, sementara yang itu kontribusi suku Sumatera, Jawa, atau Papua.

Orde Reformasi agaknya telah belajar dari pengalaman masa lalu, betapa sebuah upaya mengkalkulasi kontribusi suatu ras akhirnya malah melahirkan sentimen primordial. Dan sentimen ini--apalagi yang dikontaminasi negativitas politik--akan melahirkan penekanan, pembatasan, dan penyembunyian kenyataan.

Pada masa Orde Baru, sikap seperti ini kerap dilakukan. Sebagai contoh adalah upaya pemerintah kala itu untuk menghapus kontribusi Sin Ming Hui. Sebuah organisasi yang pernah sepenuhnya bekerja untuk Indonesia, demi mengisi tahun-tahun awal Kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Hasil kerja perkumpulan warga Tionghoa peranakan ini oleh Orde Baru berusaha ditenggelamkan dari sejarah, bahkan dihilangkan dari ingatan bangsa. Berikut ini adalah sepetik cerita (noktah pengingat) tentang organisasi yang selama berpuluh tahun berusaha dilupakan peranannya itu.

Diruntuhkan

Sin Ming Hui atau Perkumpulan Terang Baru dideklarasikan pada 20 Januari 1946 di bilik kantor majalah Sinpo di Jalan Asemka, Jakarta Kota. Setelah berkembang, Sin Ming Hui menyewa rumah berkamar 100 milik Khouw Kim An di Molenvliet West (kini jalan Gajah Mada) sebagai kantornya. Mayor Khouw Kim An adalah anggota Dewan Rakyat (Volksraad) 1921-1931 yang meninggal dalam penjara Jepang pada Februari 1945.

Dalam dunia pendidikan, Sin Ming Hui mendirikan SD, SMP, SMA, Sekolah Asisten Apoteker, sampai perguruan tinggi yang sekarang dikenal sebagai Universitas Taruma Negara. Di bidang kesehatan, Sin Ming Hui mendirikan beberapa poliklinik, juga rumah sakit yang kini dikenal sebagai Rumah Sakit Sumber Waras. Bahkan perkumpulan ini mempunyai seksi bantuan hukum, pelayanan bagi rakyat jelata yang tak memiliki pengetahuan hukum.

Sin Ming Hui menghasilkan banyak nama yang punya kontribusi besar dalam kemajuan negara dan bangsa Indonesia. Di antaranya Meester Oei Tjoe Tat, yang akhirnya menjadi menteri. Yap Thiam Hien menjadi pengacara legendaris. Liem Tjing Hien menjadi ahli hukum ternama, yang kini jejaknya dilambungkan oleh istrinya, notaris Kartini Muljadi. Dr Loe Ping Kian menjadi aktivis bidang kesehatan. Tjan Tjoen Hok alias Harry Tjan Silalahi menjadi pengamat politik terkenal. Ouwyong Peng Koen alias P.K. Oyong menjadi tokoh pers, dan salah satu pendiri harian Kompas.

Nama Sin Ming Hui berubah menjadi Perkumpulan Tjandranaja, sesuai dengan Surat Berita Negara Republik Indonesia Nomor 32/19 April 1962. Meski berganti nama, aktivitas organisasi ini berjalan sebagaimana biasanya. Namun, setelah peristiwa G30S 1965, semua kegiatan yang bersangkut-paut dengan Tionghoa dibekukan oleh Orde Baru. Gedung Tjandranaja disita dan ditelantarkan. Sampai akhirnya gedung indah, monumental, antik, serta bersejarah itu reyot dan terpaksa dibongkar habis.

Orde Baru menganggap pengaburan aktivitas dan penghapusan jejak gedung ini identik dengan terhapusnya peran warga Tionghoa. Padahal Sin Ming Hui berjuang sama sekali bukan untuk mengibarkan potensi suku Tionghoa, bukan untuk menumpuk jasa suku Tionghoa, dan tidak memiliki agenda lain di luar pengabdian kepada bangsa dan negara Indonesia.

Lintang-Pukang

Penghapusan kontribusi warga Tionghoa ini juga dilakukan di bidang kebudayaan dan kesenian. Di antaranya menimpa Yin Hua, perkumpulan seni yang pendiriannya diinspirasi oleh Sin Ming Hui. Kata Yin berarti Indonesia, Hua artinya Cina. Perkumpulan ini didirikan pada 1955 dan diketuai oleh Lee Man Fong. Sanggar Yin Hua terletak di kawasan Princenpark (kini Lokasari), Jakarta Kota. Dalam "deklarasi-nya, mereka bertekad mencipta karya-karya terbaik untuk Indonesia Raya, tentu dengan tidak menjunjung-junjung ketionghoaannya.

"Kami berkarya seperti orang Bali berkreasi, seperti orang Batak berkarya, seperti orang Kalimantan bekerja. Semua untuk menyumbang keragaman budaya Indonesia yang sudah sepuluh tahun merdeka," kata Yap Thay Hua, wakil ketuanya, kala peresmian perkumpulan itu, 57 tahun silam.

Pameran-pameran Yin Hua disambut antusias. Presiden Sukarno bersama sejumlah menteri adalah tamu utamanya. Dari sini kemudian dikenal sejumlah figur yang terus berkelindan dalam sejarah seni rupa Indonesia. Bahkan Lee Man Fong diangkat sebagai Pelukis Istana Presiden Sukarno, bersama Lim Wasim. Gerakan nasionalis Yin Hua ini diikuti oleh seniman Tionghoa di berbagai daerah, seperti Lim Kwie Bing, Lim Tjoe Ing, sampai Siauw Tik Kwie.

Tapi, seperti halnya Sin Ming Hui, setelah peristiwa G30S 1965, Yin Hua diteror sehingga bubar. Orde Baru mengeluarkan keputusan politik Instruksi Presiden No. 14/1967, yang melarang semua kegiatan beraroma Cina. Tekanan ini menyebabkan para seniman Tionghoa yang nonpolitik itu lintang-pukang. Lee Man Fong ngabur ke Singapura. Wen Peor lari ke Hong Kong. Lim Wasim menyamar jadi tukang roti. Siauw Tik Kwie, pencipta komik "Sie Jin Kui", menyepi seraya memperdalam filsafat Jawa Ki Ageng Suryomentaram dan berganti nama menjadi Oto Suatika. Sedangkan Siauw Swie Tjing rela dikabarkan mati, untuk kemudian menjelma menjadi Chris Suharso.

Sekali lagi, paparan di atas adalah sekadar noktah pengingat betapa pada masa lalu peranan Tionghoa (secara tidak perlu) berusaha ditenggelamkan dari sejarah. Kini suku Tionghoa sudah berumah di bawah langit Indonesia yang bersih dari mata-mata pengkalkulasi kontribusi, serta bebas dari teropong yang menelisik curiga: "ada apa di balik peran yang dilakukan suku Tionghoa". Dengan demikian, atas apa yang akan dihasilkan dalam pengabdian, siapa pun tidak perlu menyebut bahwa itu adalah jasa kalangan Tionghoa. Itu sebabnya, orang-orang seperti Ahok alias Zhong Wan Xie alias Basuki Tjahaja Purnama layak diberi kesempatan luas untuk melaksanakan pengabdiannya sebagai seratus persen orang Indonesia. Dalam bidang apa pun, dalam jabatan apa pun. Dengan begitu, ia terjauhkan dari isu SARA. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar