Rabu, 05 September 2012

Apakah Agama Hadir untuk Membunuh?


Apakah Agama Hadir untuk Membunuh?
Media Zainul Bahri Fellow di Universitas zu Köln, Jerman;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ISLAMLIB.COM , 04 September 2012


Karena itu, politeisme lebih bisa menjamin kebebasan manusia. Sebab, politeisme memberi dasar kepada manusia untuk tidak memutlakkan sebuah ketransendenan sebagai yang satu-satunya, karena ada ketransendenan lain yang menarik manusia untuk menyerahkan dirinya. Kepercayaan politeis ini kiranya bisa menjamin kebebasan yang lebih plural yang dibutuhkan untuk hidup di alam demokrasi (Lihat Sindhunata dalam kata pengantar Kala Agama Jadi Bencana, Mizan, 2003). Sebab itu, konflik dan kekerasan atas nama agama biasanya lebih sering terjadi pada agama-agama monoteistik.

Violence is the dominant religion in the world today. Violence is the ethos of our times and the spirituality of the modern world.” (Walter Wink, Engaging the Powers: Discernment and Resistance in a World of Domination, 1992)

Judul artikel di atas diinspirasikan judul buku Jack Nelson-Palmeyyer, Is Religion Killing Us: Violence in the Bible and the Quran? (Harrisburgh, 2003). Pertanyaan “sinis” itu—dalam hampir satu dekade yang lalu—kembali aktual dalam ruang publik keagamaan kita hari-hari ini. Kejadian tragis di Sampang yang menyentak batin relijiusitas kita; apakah benar sosok agama, selain sebagai candu yang memabukkan, juga haus darah yang akan selalu mengacungkan pedang untuk membunuh? Jawaban obyektif dan faktual atas pertanyaan itu tidak mungkin hanya satu versi yang bisa disepakati bersama.

Mari kita tengok pandangan teologis Palmeyyer yang cukup “tajam” terhadap wajah sadis agama. Dalam penelusurannya, ayat-ayat dalam “kitab suci” al-Qur`an dan Bible (juga Bible-nya Yahudi) ternyata mengandung tradisi kekerasan (violence), secara eksplisit, bahkan mendominasi. Teks-teks “yang dinggap suci” itu banyak sekali menyuruh kaum beriman untuk melakukan kekerasan, demi dan dalam melayani Tuhan. Pangkal utama kekerasan dalam kedua kitab suci ini, katanya, karena Tuhan terlalu kuat dan berkuasa. 

Kekuatan dan kekuasan-Nya amat mutlak. Dua hal inilah yang pada gilirannya memunculkan tindak kekerasan (God is understood in the Hebrew Bible, the Christian New Testament, and the Quran to be powerfull, and because power is identified with violence…Images of an all-powerfull, violent God dominate the Quran as they do the Bible).

Orang beriman, lanjut Pallmeyer, secara mutlak mesti mengabdi dan patuh terhadap apapun keinginan Tuhan. Tuhan, dengan segala keperkasaan-Nya, selalu mengancam akan memberi siksa yang amat pedih kepada siapapun yang tidak beriman, kafir, musyrik dan mereka yang tidak bermoral. Tuhan juga, lanjut Pallmeyer, seringkali menyuruh kaum beriman untuk mengobarkan jihad dan qital: memerangi orang-orang yang tidak seiman (Yahudi dan Kristen dalam Qur`an, dan begitu sebaliknya dalam Bible).

Akhirnya Pallmeyer sampai pada kesimpulan yang cukup “ekstrem”:  “My fundamental claim is that religiously justified violence is first and foremost a problem of “sacred” text and not a problem of misinterpretation of the text.” Teks-teks yang dianggap suci itu, dengan sendirinya, memang membenarkan tindak kekerasan, dan bukan karena ia (teks) ditafsirkan secara keliru. Makanya, ia setuju dengan pandangan Walter Wink seperti dikutip di awal tulisan ini, bahwa kekerasan adalah ciri khas agama modern; menjadi etos masa kini, dan merupakan spiritualitas dunia modern.

Pandangan dengan semangat yang serupa datang dari Charles Kimball, doktor dalam bidang Perbandingan Agama Universitas Harvard dan Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, AS. Dalam karyanya, When Religion Becomes Evil (HarperCollins, New York, 2003), Kimball setuju jika agama memiliki fungsi yang amat positif bagi kemanusiaan. Katanya, sejarah telah menunjukkan bahwa cinta kasih, pengorbanan diri dan pengabdian kepada orang lain sering kali berakar begitu mendalam pada pandangan dunia keagamaan. Namun, di saat yang sama, sejarah juga dengan jelas menunjukkan bahwa agama sering kali dikaitkan secara langsung dengan contoh terburuk perilaku manusia. Jika dikatakan bahwa dalam sejarah manusia, perang, membunuh orang, dan kini semakin banyak lagi kejahatan dilakukan atas nama agama dibandingkan atas nama kekuatan institusional lainnya, maka kata Kimball, hal itu bukan isapan jempol belaka.

Agama, hari-hari ini, memang sering tampil dengan wajah hantu yang menakutkan. Menurut Kimball, ada lima hal atau tanda yang bisa membuat agama menjadi jahat, busuk dan korup. Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran doktrinnya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, ketaatan buta terhadap pemimpin agama. Ketiga, ketika agama mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke alam masa kini. Keempat, jika agama membenarkan dan membiarkan terjadinya “tujuan yang menghalalkan segala cara”. Dan kelima, kata Kimball, jika perang suci dipekikkan, itulah tanda bahwa agama sedang meluncur tak terkendali menjadi korup dan jahat.

Selanjutnya, menurut Kimball yang juga diamini oleh Nelson-Palmeyyer, wajah seram agama juga menemukan “karib”nya dalam doktrin monoteisme. Dalam agama-agama monoteistik, kata Palmeyyer dan Kimball, terkandung bibit-bibit kekerasan yang mencelakan manusia. Ciri agama monoteis adalah percaya kepada Tuhan sebagai “Yang Satu-Satu-nya”. Kepercayaan demikian menuntut ketaatan yang absolut. Karena itu, di dalam kepercayaan monoteis, kebebasan sepertinya tak mungkin bisa berkembang dengan baik dan subur. Dalam bahasa Odo Marquad: ketatan buta dan mutlak itu memperoleh makanannya dari monoteisme. Alasannya, nemo contra deum nisi deus ipse (tak ada yang bisa melawan Tuhan kecuali Tuhan sendiri). Dengan kata lain, hanya Tuhan yang bisa mengimbangi dan melawan Tuhan. Dan mekanisme seperti itu hanya mungkin ada dalam sistem politeisme.

Karena itu, politeisme lebih bisa menjamin kebebasan manusia. Sebab, politeisme memberi dasar kepada manusia untuk tidak memutlakkan sebuah ketransendenan sebagai yang satu-satunya, karena ada ketransendenan lain yang menarik manusia untuk menyerahkan dirinya. Kepercayaan politeis ini kiranya bisa menjamin kebebasan yang lebih plural yang dibutuhkan untuk hidup di alam demokrasi (Lihat Sindhunata dalam kata pengantar Kala Agama Jadi Bencana, Mizan, 2003). Sebab itu, konflik dan kekerasan atas nama agama biasanya lebih sering terjadi pada agama-agama monoteistik.

Agama Dalam Tafsir Humanis

Mungkin tidak sepenuhnya keliru jika beberapa pihak beranggapan bahwa konflik Sunni-Syiah di Sampang, dan konflik antar umat beragama di manapun adalah pertikaian kepentingan politik dan ekonomi. Sekali lagi, tidak keliru. Seperti halnya juga konflik antara Israel (Yahudi) dan Palestina (Islam), antara Hamas dan Fatah, atau antara kaum Katolik dan Protestan di Irlandia Utara. Namun, bau nyinyir fanatisme agama kiranya tercium dengan segar dan terlihat dengan jelas, bahkan menjadi fondasi atau akar yang kemudian berkembang ke arah perebutan kekuasan politik dan ekonomi. Banyak bukti dan argumen yang bisa kita temukan, baik dalam laporan-laporan jurnalistik, hasil penelitian atau referensi yang valid dan meyakinkan, dan tentu saja kenyataan empiris, membeberkan hal itu. Kekerasan terhadap Ahmadiyah dan Syiah yang terus berulang, penyerangan terhadap kelompok Islam liberal dan terhadap diskusi buku yang dianggap “sensitif” adalah contoh nyata dari konstruksi pemahaman keagamaan yang sempit dan literal, yang hanya mau “mengabdi” kepada keinginan Tuhan—istilah Palmeyyer—, sambil merelakan untuk “menyakiti” atau “membasmi” manusia.

Terus berulangnya kekerasan yang menyakiti dan bahkan membunuh manusia dengan dalih agama pada akhirnya membawa kita pada pertanyaan klasik: Apakah agama untuk manusia? Atau sebaliknya: manusia mengabdi kepada agama? Apakah agama harus menyesuaikan dengan perubahan dan perkembangan manusia, atau perubahan itu yang harus mengabdi kepada keinginan agama?

Anthony de Mello, seorang tokoh dan spiritualis Katolik asal India yang terkenal melalui karya satirnya, Burung Berkicau (2008), membuat tamsil yang menarik mengenai hal itu. Menurutnya, jika sebuah baju kebesaran atau kekecilan sehingga sulit dipakai, maka potonglah baju itu, bukan potong orangnya. Tafsirkanlah agama itu agar sesuai dengan manusia. Bahkan dengan sangat berani, de Mello menulis: “Ubahlah” kitab suci itu jika sudah tidak relevan lagi, atau masukkanlah “kata-kata bijak” dari guru-guru agung kemanusiaan ke dalam kitab suci.

Dalam beberapa potret yang buram kita tidak setuju dengan beberapa pandangan “miring” dan “ekstrem” Pallmeyer serta Kimball yang terperosok pada sikap mengeneralisir dan mereduksi ayat-ayat suci dalam Qur`an maupun Bible. Ada konteks-konteks sosial-historis tertentu yang menjadi sebab turunnya sabda Tuhan itu baik yang berupa perintah, anjuran atau larangan, yang mesti ditafsir ulang, direkonstruksi, dilihat secara jeli dan dalam agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. Namun, tentu saja pandangan-pandangan letterlijk keduanya terhadap kitab suci banyak yang sesuai dengan kondisi empiris umat beragama yang sering bertikai, membuat hal itu menjadi penguat tesis mereka secara meyakinkan. Tetapi, mesti diingat bahwa ini adalah satu interpretasi atas satu kenyataan wajah seram agama. Ada interpretasi lain dengan kenyataan-kenyataan (lain pula) yang menunjukkan wajah agama yang lebih ramah dan toleran.

“Senjata tidak membunuh orang, oranglah yang membunuh sesamanya”. Pepatah ini mengandung arti, agama bukanlah masalah, tetapi oranglah yang menjadi masalah. Analog dengan perkataan Ali Ibn Abi Thalib, “Al-Qur`an itu adalah teks yang diam, manusialah yang membunyikannya (dan memberi makna)”. Atau pendapat seorang pakar komunikasi modern, “the words can not means but the people mean” (kata-kata tidak bisa memberi makna, manusialah yang memberi makna atau menafsirkannya).
Karena Tuhan tidak bisa ditanya maksud dari setiap kata-kata sabda-Nya, maka manusialah yang menafsir, memberi makna. Dan karena manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, agung dan bermartabat, maka interpretasi dan artikulasi atas setiap teks-teks Tuhan dalam kitab suci-Nya mesti dalam konteks menyelamatkan, menghargai dan mencintai manusia, bukan malah menyakiti atau membunuhnya.

Is religion killing us? Tentu saja tidak! Tidak akan dan tidak boleh terjadi lagi. Malah agama mesti terus dapat memberi makna dan harapan yang indah bagi hidup kita, bagi masa depan kemanusiaan kita. Dan agama model itu adalah agama dalam tafsirnya yang humanis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar