Rabu, 05 September 2012

Sunni, Syiah, dan Kita


Sunni, Syiah, dan Kita
Abdul Moqsith Ghazali Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL)
ISLAMLIB.COM , 04 September 2012


....pertentangan tajam antara fikih Sunni dan Fikih Syiah pernah coba dilerai Syekh Mahmud Syaltut. Dalam kapasitasnya sebagai rektor, Syaltut pernah memperbolehkan diajarkannya kembali fikih Syiah di Universitas al-Azhar setelah absen selama sembilan ratus tahun. Di Iran, Muhammad Husein Kayif al-Ghita’ melakukan upaya intelektual untuk merukunkan Sunni-Syiah yang sering bertikai. Di Indonesia, upaya rintisan untuk mendekatan Fikih Syiah dan Fikih Sunni pernah dilakukan Gus Dur.  Namun usaha rintisan Gus Dur itu belakangan agak meredup seiring dengan makin menguatnya kecenderungan radikalisme Islam di Indonesia.

Ketegangan Sunni-Syiah kembali memanas. Tajul Muluk, pimpinan Syiah di Sampang Madura, dijebloskan ke penjara. Persoalan tak selesai sampai di situ. Beberapa hari lalu Muhammad Hasyim alias Hamamah, pengikut Syiah di Sampang, dibunuh. Puluhan rumah dibakar dan ratusan orang Syiah dievakuasi. Investigasi untuk menemukan masalah pokok yang melatari terjadinya peristiwa masih dilakukan. Ada yang berkata, penyerangan di Sampang itu tindakan kriminal murni. Namun, Komnas HAM menolak pernyataan itu. Menurut Komnas HAM, peristiwa Sampang bukan kriminal biasa. Ada sengketa ideologis antara Sunni dan Syiah di sana. Jauh sebelum peristwa penyerangan itu meledak telah muncul sejumlah pernyataan dari sebagian ulama dan tokoh Islam tentang kesesatan Syiah. Bahkan, tak kurang dari Menteri Agama RI yang berpendapat, Syiah bertentangan dengan Islam.

Pernyataan para tokoh itu diduga keras ikut mendorong kian memanasnya ketegangan Sunni-Syiah yang selama ini bagai api dalam sekam. Sementara publik Islam Indonesia sendiri banyak yang tak mengerti tentang Syiah. Apa beda antara Islam Sunni dan Islam Syiah?  Sekiranya beda, dimanakah titik bedanya? Jika Syiah dinyatakan sesat, dimanakah letak kesesatannya? Apakah kesesatan Syiah itu karena melanggar ajaran pokok (ushul) atau cabang (furu’)? Bisakah Sunni-Syiah dipertemukan bahkan didekatkan (al-taqrib bayna al-Sunnah wa al-Syi’ah)?
 
Syiah adalah sekte Islam paling tua. Pemicu awal kemunculannya adalah soal politik. Alkisah, sekelompok orang pendukung Ali ibn Abi Thalib (syi’ah Ali) tidak puas terhadap terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pengganti Nabi. Menurut mereka, pengganti Nabi harus berasal dari keluarga Nabi, sekurangnya satu dari dua, yaitu Ali ibn Abi Thalib (sepupu dan menantu Nabi) dan al-Abbas (paman Nabi). Namun, karena jumlah kelompok ”oposan” ini sangat kecil, maka gerak mereka tak sampai menggoyahkan kepemimpinan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar, kekhalifahan dilanjutkan Umar ibn Khattab lalu Utsman ibn Affan baru kemudian Ali ibn Abi Thalib.

Dalam kepemimpinannya, Ali menghadapi tantangan yang tak ringan terutama dari orang-orang yang berambisi menjadi khalifah seperti Thalhah ibn Abdullah al-Taimi, Zubair ibn Awwam, dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Persengketaan di internal umat Islam itu mencapai puncaknya dengan terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib di tangan seorang ekstremis Islam bernama Abdurrahman ibn Muljam al-Himyari al-Muradi.

Namun, sejarah kemunculan Syiah yang didasarkan pada motif politik itu ditampik kaum Syiah. Menurut mereka, Syiah lahir bukan karena suksesi politik sepeninggal Nabi tapi lebih karena keniscayaan teologi. Dikisahkan, dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’, Rasulullah berpidato di Ghadir Hum, ”Barangsiapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (mawla), maka hendaklah menganggap Ali sebagai pemimpinnya”. Bagi Syiah, pengganti Nabi itu harus bersifat keagamaan (khilafah diniyah) dan spiritual (sultanah ruhaniyah). Dengan perkataan lain, pengganti Nabi harus yang cakap secara intelektual dan matang secara spiritual.

Orang yang memenuhi dua persyaratan itu adalah orang yang dikatakan sebagai ruh Rasulullah sendiri, yaitu Ali plus Hasan dan Husain, dua anak Ali. Alaud Dawlah Simmani, salah seorang murid Najmuddin Kubra (pendiri Tarekat Kubrawiyah), berpendapat bahwa Ali ibn Abi Thalib mempunyai hak lebih besar ketimbang tiga khalifah sebelumnya, karena dalam dirinya terhimpun tiga keunggulan komparatif, yaitu kekhalifahan (khilafah), kepewarisan (wiratsah), dan kewalian (wilayah).

Seiring waktu, perdebatan dari soal pengganti Nabi itu melebar dan masuk dalam perdebatan teologis, fikih, bahkan hadits. Polemik Sunni-Syiah tak melulu perihal siapakah tokoh yang berperan pada periode awal Islam, melainkan juga diramaikan oleh debat fikih Islam. Umar ibn Khattab yang menetapkan bahwa suami bisa menceraikan istrinya dengan ”talak tiga” sekaligus dianggap kaum Syiah sebagai kesalahan tafsir atas suatu ayat al-Qur’an. Umar juga ditentang atas kebijakannya yang melarang haji tamattu’. 

Pembaharuan fikih Islam  a la Umar ibn Khattab yang dibanggakan kalangan Sunni itu justru ditentang ulama Syiah sebagai pelanggaran terhadap syariah. Polemik pun merasuk pada bidang Hadits, sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an.  Jika ulama Sunni merujuk pada Hadits Bukhari, maka ulama Syiah merujuk pada Kitab al-Kafi. Ibn Taymiyah (w. 728 H. /1328 M.) pernah menulis buku, Minjah al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi’ah al-Qadariyah (Metode Sunnah dalam Kritik terhadap Teologi Syiah Qadariyah) untuk mengcounter buku ”Minhaj al-Sunnah fi Ma’rifah al-Imamah” (Metode Sunnah dalam Memahami Imamah) karya ulama Syiah, Hasan ibn Yusuf ibn Muthahhar al-Hilli (w. 726 H./1325 M.).  

Dalam bentuk aslinya, menurut Hamid Enayat dalam Modern Islamic Political Thought, perbedaaan Sunni dan Syiah tak terletak pada pokok ajaran. Perbedaan Sunni-Syiah tak terkait dengan masalah sifat-sifat Tuhan, fungsi  Rasul, kewahyuan al-Qur’an, dan juga tak berhubungan dengan kewajiban pokok dalam Islam seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Baik Sunni maupun Syiah, sama-sama menyelenggarakan shalat. Hanya mereka berbeda dalam menentukan waktu shalat (Sekiranya Sunni shalat dalam lima waktu, maka Syiah dalam tiga waktu). Keduanya sama-sama mengeluarkan zakat, hanya mereka berbeda dalam menentukan tarif zakat. Dua-duanya sama-sama menjalankan ibadah puasa, hanya mereka berbeda dalam menentukan waktu berbuka. Mereka sama-sama melaksanakan ibadah haji, hanya mereka berbeda dalam menentukan (sebagian) rukun dan wajib haji.   

Jika dikategorikan lebih jauh, perbedaan Sunni dan Syiah terletak pada hal berikut. Pertama, baik Sunni maupun Syiah, sama-sama merujuk pada Qur’an. Hanya mereka berbeda dalam menafsirkan Qur’an. Perbedaan penafsiran mungkin terjadi akibat perbedaan metodologi  bahkan ideologi. Sama dengan perbedaan tafsir antara Sunni dan Mu’tazilah, NU dan Muhammadiyah. Perbedaan penafsiran terhadap al-Qur’an ini menyebabkan wajah Syiah tak tunggal. Ada banyak varian dalam Syiah. Dulu, pembelahan Syiah terjadi akibat pembelahan tafsir-ideologi, seperti Syiah Zaidiyah, Syiah Imamiyah, Syiah Isma’iliyyah, maka sekarang friksi Syiah terjadi akibat perbedaan marja’ (panutan) dan organisasi. 

Kedua, perbedaan di dalam memperlakukan Sahabat Nabi. Jika Sunni berpendapat, seluruh Sahabat Nabi (tanpa kecuali) adalah orang-orang adil, maka Syiah berpendapat sebaliknya. Tak seluruh Sahabat Nabi adil. Bagi Syiah, hanya Sahabat Nabi yang adil yang bisa menjadi suri tauladan, seperti Bilal ibn Rabah, Abu Dzar al-Ghifari. Walau begitu, menurut Syiah, hanya Para Imam yang tak mungkin berbuat salah (ma’shum). Ke-ma’shum-an Para Imam inilah yang ditentang kaum Sunni. Bagi Sunni, hanya Nabi yang ma’shum. Sementara yang lain, baik keturunan maupun Sahabat Nabi, tak dijamin bebas dari kesalahan. Para pemikir Sunni kontemporer berpendapat bahwa ke-ma’shum-an versi Syiah yang didasarkan pada pertalian darah (kepada Nabi) tersebut tak sesuai dengan prinsip Islam yang mengajarkan egalitarianisme. Sebab, kemulian seseorang tak ditentukan oleh darah melainkan takwa.

Ketiga, perbedaan dalam memformulasikan fikih Islam. Sementara dalam bidang fikih, orang Sunni memilih salah satu dari empat mazhab—Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali—orang Syiah merujuk pada Fikih Ja’fari. Namun, sejauh menyangkut perbedaan dalam fikih tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan, pertentangan tajam antara fikih Sunni dan Fikih Syiah pernah coba dilerai Syekh Mahmud Syaltut. Dalam kapasitasnya sebagai rektor, Syaltut pernah memperbolehkan diajarkannya kembali fikih Syiah di Universitas al-Azhar setelah absen selama sembilan ratus tahun. Di Iran, Muhammad Husein Kayif al-Ghita’ melakukan upaya intelektual untuk merukunkan Sunni-Syiah yang sering bertikai. Di Indonesia, upaya rintisan untuk mendekatan Fikih Syiah dan Fikih Sunni pernah dilakukan Gus Dur.  Namun usaha rintisan Gus Dur itu belakangan agak meredup seiring dengan makin menguatnya kecenderungan radikalisme Islam di Indonesia.

Usaha untuk mempertemukan dan mendekatkan Sunni-Syiah di berbagai belahan dunia Islam berkali-kali menemui jalan buntu. Salah satu sebabnya, ada orang-orang dari dua kelompok yang enggan bahkan menolak upaya pertemuan itu, baik karena alasan politis maupun teologis. Secara politis, ditengarai terdapat sekelompok orang yang mencari keuntungan duniawi di balik pertikaian Sunni dan Syiah. Penolakaan teologis pun terjadi akibat ketidak-mampuan masing-masing dalam membedakan antara ajaran pokok dan ajaran cabang.  Sesuatu yang sebenarnya termasuk ajaran cabang dianggap sebagai ajaran pokok oleh yang lain.

Bagi saya, dialog untuk membangun saling pengertian antara Sunni dan Syiah sangat diperlukan agar kerukunan tercapai dan korban tak terus berjatuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar