Urgensi
Perubahan UU Pokok-Pokok Agraria
Jawahir Thontowi, PROFESOR
ILMU HUKUM DAN DIREKTUR PUSAT STUDI PENGEMBANGAN HUKUM LOKAL FAKULTAS HUKUM,
UII
Sumber
: KORAN TEMPO, 16
Februari 2012
Usulan
DPR untuk merevisi UU No 5 Tahun 1960 tentang Peratur an Dasar Pokok Pokok
Agraria yang menimbulkan konflik sosial dan kekerasan ditampik Konsorsium
Pembaharuan Agraria (KPA). Pasalnya, menurut KPA, konflik dan kekerasan terjadi
bukan disebabkan UU PA. Tetapi, karena pemerintahan orde baru dan reformasi
tidak menjalankan UU PA secara benar dan bahkan diselewengkan.
Namun,
tidak dapat dipungkiri bahwa UU PA, setelah diberlakukan 52 tahun, dirasakan
semakin kurang responsif. Konflik dan kerusuhan yang berakhir dengan kekerasan
fisik juga salah satunya disebabkan karena masyarakat hukum adat (MHA) dan
petani tidak terlindungi. Urgensi perubahan UU PA merupakan keniscayaan yang
diharapkan menjawab persoalan konflik pertanahan.
Mengapa
perubahan UU PA harus dilakukan? Usulan perubahan ini mengingat Tap MPR IX/2001
tentang Pembaharuan Agraria telah menjadi dasar hukumya. Maria Soemardjono
menegaskan, gagasan perubahan UU PA, sebagai kebijakan politik nasional, tidak
lepas dari pemikiran yang berkembang pada 1992.
Proses
marjinalisasi yang dirasakan masyarakat petani dan MHA tidak dapat dicegah.
Sebagian aturan di dalamnya kurang cukup efektif. Ketidakmampuan menghadapi era
globalisasi dan pelaksanaan otonomi daerah (Arie S Hutagalung 2005:17) serta
perlunya paradigma desentralisasi, dekonsentrasi, dan medebewind dalam
pengaturan agraria tidak dapat diabaikan (Nurhasan Ismail 2000: 33).
Keberlangsungan
UU PA yang telah menyuarakan visi-misi bangsa dan negara diupayakan untuk
menciptakan warga negara yang makmur dan sejahtera. Undangundang ini hendak
mewujudkan tujuannya melalui pendistribusian tanah.
Bukan Peraturan Dasar
Sejak
era reformasi 1999, dualisme pemberlakuan hukum tanah terjadi. Dan, ini justru
menimbulkan ketidakpastian hukum akibat kebijakan pemerintah pusat dan daerah
yang kurang sejalan. Pemberlakuan UU No 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 11 yang
mengamanatkan pendirian Dinas Pertanahan di tingkat pemerintah kabupaten/kota
dan pemerintahan provinsi, menimbulkan ketidakpastian hukum. Otonomi daerah
tampaknya telah menuntut pengurusan tanah menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Sementara
itu, Badan Pertanahan Nasional Pemerintahan Pusat masih mengakui keberadaan
Kantor Badan Pertanahan Nasional pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
(BF Sihombing Hukum Tanah Indonesia, 2005: 126). Karena itu, jika Keputusan
Presiden No 15 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan BPN
(berdasarkan kepada Keputusan Presiden 95 Tahun 2000) belum dicabut,
sesungguhnya dualisme pengaturan tanah masih berlangsung.
Tergesernya
status UU PA yang bukan lagi sebagai peraturan dasar juga berpengaruh positif
terhadap melemahnya fungsi UU PA. Sebab, sejak kelahirannya, UU PA merupakan an
umbrella act, bertugas mengoordinasikan UU sektoral lainnya. Tergusurnya MHA
dan hak-hak ulayat petani yang semestinya memperoleh perlindungan, justru telah
terabaikan.
Melemahnya
fungsi UU PA juga berkaitan dengan reformasi hukum di bidang legislasi. UU
Nomor 12 Tahun 2011 (perubahan dari UU No 10 Tahun 2004) ten tang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, tidak lagi mengakui status UU PA sebagai
peraturan dasar. Semua peraturan perundang-undangan pada hakikatnya sama.
Untuk
mencegah timbulnya tumpang tindih pengaturan, dengan UU lainnya perlu dilakukan
sinkronisasi. Namun, dalam praktiknya, ego sektoral lebih mengemuka sehingga
kegunaan sinkronisasi pun tidak cukup membantu tumpang tindih tersebut.
Petani Tanpa Tanah
Adapun
urgensi perubahan UU PA mengandung beberapa alasan. Pertama, posisi petani juga
MHA tidak terlindungi sebagai akibat UU sektoral yang kontradiktif dengan UU
PA. Delapan UU sektoral telah menggusur hakhak MHA dan petani yang tidak
memiliki bukti formal. Misalnya, UU No 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas
Bumi, UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, juga UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Kondisi serupa juga terlihat dalam UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU
No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Konsideran
UU Sektoral yang hanya merujuk Pasal 33 (ayat 2 dan 3) dan tidak merujuk pasal
18B (ayat 2) sebagai salah satu penyebab utama kontradiksi tersebut. Karena
itu, sekalipun UU sektoral mengatur tentang pengakuan dan penghormatan atas HMA
dan hak-hak tradisionalnya, hal tersebut tidak bermakna apa pun.
Proses
pengakuan tersebut tidak pernah dapat direalisasikan mengingat mekanisme
pengakuan dan penghormatan diberikan belum jelas dan diatur secara terperinci.
Justru, ketika izin usaha pertambangan dikeluarkan di kabupaten, perlawanan
masyarakat kepada daerah jauh lebih rentan sebagaimana konflik pertanahan dalam
kasus di Mesuji Lampung dan Sape di Bima.
Situasi
masyarakat petani yang kebanyakan di desa-desa tidak bertanah, tidak lepas dari
UU sektoral yang telah menggerus hak-hak ulayat tanah, hutan, dan juga petani.
Di satu pihak, pengusaha memiliki dokumen resmi SIUP dari kepala daerah. Di
pihak lain, MHA dan petani umumnya tidak memiliki bukti resmi untuk digunakan
sebagai bukti penolakan. Bukti ketimpangan penguasaan tersebut telah dilaporkan
Sekjen KPA berdasarkan Badan Statistik Nasional pada 2004.
Meskipun
baru-baru ini UU Pengadaan Tanah disahkan, tampaknya tidak menolong nasib petani-petani
gurem. Banyak pandangan yang mengatakan, UU Pengadaan Tanah tidak pro dengan
masyarakat hukum adat maupun petani. Justru, petanipetani berdasi atau swasta
yang memiliki modal besar yang diutamakan.
Peluang
untuk perubahan juga didukung oleh faktor lahirnya beberapa konsep naskah
akademik dan draf perubahan UU PA. Dukungan kepada DPR untuk melakukan
perubahan UU PA, dapat menggunakan sumber kajian sebelumnya. Selain telah
memiliki naskah akademik dan draf perubahannya, DPD RI (periode 2004 -2009)
juga mendapat dukungan dari berbagai pihak, seperti Asosiasi Kepala Daerah
se-Indonesia.
Urgensi perubahan UU PA merupakan langkah
strategis yang perlu direspons secara positif oleh DPR RI agar kecenderungan
persekongkolan negara dengan pengusaha tidak menghapuskan hakhak ulayat MHA dan
petani. Untuk itu, diperlukan kajian komprehensif dan sinkronisasi agar
perubahan UU PA ke depan mampu merespons secara efektif kebutuhan global dan
desentralisasi serta mencegah UU sektoral melumpuhkan fungsi UU PA. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar