Resentralisasi Pengadilan Tipikor?
Zainal Arifin Mochtar, PENGAJAR ILMU HUKUM DI FAKULTAS HUKUM UGM
Sumber : KOMPAS, 09 November 2011
Ada sebuah anekdot lama yang menarik. Alkisah, Mullah Nasruddin Khoja didatangi oleh seseorang yang memegangi perutnya karena sakit. Orang ini semalam memakan makanan basi dan, karena itu, paginya ia benar-benar mengalami sakit yang dahsyat. Kepada Mullah, ia minta diberikan obat untuk menghentikan sakit perutnya tersebut.
Dengan santai oleh Mullah ditanyakan, ”Semalam, kau tahu jikalau itu makanan basi?” Lalu orang tersebut menjawab, ”Iya, Mullah. Makanya, tolong berikan saya obat sakit perut.”
Dengan santai Mullah kemudian memberikan sebotol obat mata kepada orang tersebut. Dengan nada tinggi, orang tersebut kemudian berkata, ”Bagaimana Mullah ini, katanya sakti dan ahli banyak hal, mengapa saya diberi obat mata, padahal perut saya yang sakit?” Sambil tersenyum, Mullah menjawab, ”Saya yakin matamu yang sakit. Kau tahu itu makanan basi, tetapi tetap kau makan. Makanya, penyebab sakitmu tentu saja adalah matamu meski gejalanya adalah kau sakit perut.”
Sebagai seorang yang digambarkan memberikan hikmah di balik ”kekonyolan”, Mullah Nasruddin Khoja sedang mengkritik tentang betapa sering kita hanya berputar-putar di sekitar ”gejala” tanpa pernah mencoba dengan bajik dan bijak menemukan ”penyebab”. Betapa banyak di antara kita yang mencoba menyelesaikan masalah dengan melihat pada gejalanya dan bukan pada penyebab utamanya. Alih-alih dapat menyelesaikan masalah, yang terjadi hanya menutup masalah tersebut secara singkat.
Paling tidak, inilah yang mungkin sedang terjadi dengan dengan ide ”kepagian” soal resentralisasi pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). Karena berpikir bahwa di sejumlah daerah terdapat putusan bebas para koruptor melalui pengadilan tipikor, serta-merta disimpulkan penyebabnya adalah pengadilan tipikor telah didesentralisasikan sehingga ”obatnya” adalah harus segera diresentralisasi: kembali di-”pusat”-kan, meski dengan mengubah undang-undang.
Konklusi Nir-Analisis
Barangkali ide tersebut adalah sebuah konklusi yang diambil tanpa analisis yang cukup. Sejujurnya, kita harus membedah secara baik beberapa faktor, yang boleh jadi menjadi penyebab, dan bukan sekadar gejala, dari terjadinya ”gagap” pengadilan tipikor menyelesaikan persoalan korupsi di daerah.
Pertama, faktor pemaksaan untuk mendirikan pengadilan tipikor di seluruh Indonesia secara cepat tanpa memperhitungkan jumlah sumber daya yang dibutuhkan. Sejak awal masyarakat sipil telah mengingatkan pengadilan tipikor tidak perlu dipaksakan kehadirannya di seluruh negeri dengan sangat cepat.
Mestinya cukup hanya membuat ”regionisasi” dengan satu pengadilan tipikor yang membawahkan beberapa provinsi. Artinya, hanya dibutuhkan lima atau enam pengadilan tipikor yang membawahkan seluruh wilayah Indonesia secara sistem regionisasi. Dengan begitu, selain mampu menjaga kualitas sumber daya manusia ”orang baik” untuk hakim ad hoc-nya, tetapi juga memperkecil jumlah dana yang dibutuhkan sehingga kualitasnya bisa lebih terjaga.
Akan tetapi, bukan berarti harus melakukan resentralisasi di Jakarta. Harus diingat, apabila peta persebaran kasus korupsi disebar, seluruh Indonesia sedang mengalami masalah. Artinya, mustahil untuk berharap semua diselesaikan di Jakarta. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah ”mendesentralisasikan”-nya dengan menjaga kualitas. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor telah merusak cita-cita besar untuk menciptakan keseimbangan antara semangat memberantas korupsi di daerah dan menjaga kualitas pengadilan tipikor.
Kedua, minimnya kualitas pengawasan di daerah. Logika undang-undang mengatakan bahwa ada dua lembaga yang bekerja untuk melakukan pengawasan, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
MA berwenang melakukan pengawasan karena, bagaimanapun, pengadilan tipikor berada dalam lingkup peradilan umum. Pada saat yang sama, KY juga dapat bekerja untuk mengawasi etika dan perilaku hakim. Sayangnya, dengan posisinya yang di daerah, praktis yang bisa bekerja melakukan pengawasan hanya MA. KY sangat terbatas daya jelajahnya untuk bisa optimal melakukan pengawasan di daerah. Padahal, semua paham kemampuan MA melakukan pengawasan sangat rendah jika tidak ditopang pengawasan ala KY.
Artinya, terjadinya kasus hakim pengadilan tipikor yang buruk dan dicurigai bermain mata di balik putusan bebas juga disebabkan minimnya pengawasan. Ini serupa dengan penyakit yang selama ini ada di balik pengadilan umum. Jawabannya tentu saja bukan resentralisasi, melainkan lebih tepat dengan regionisasi supaya KY dapat mengerjakan pengawasan dengan optimal.
Ketiga, dan ini cukup penting, adalah adanya fakta buruk soal kualitas hakim ad hoc. Lagi-lagi, mustahil dimungkiri fakta yang memperlihatkan hakim yang ada malah punya masalah keterkaitan dengan kasus korupsi. Artinya, ketika seleksi dilakukan, pasti ada sesuatu yang tidak tepat terjadi sehingga bisa menghasilkan hakim yang secara nyata memiliki masalah keterkaitan dengan kasus korupsi.
Resentralisasi Bukan Solusi
Bukan cuma ketiga hal ini, melainkan masih ada banyak catatan lain yang mungkin menjadi bagian dari penyebab pengadilan tipikor mandek untuk ikut mengambil tempat dalam jemaah pemberantasan korupsi. Sangat boleh jadi penyebabnya juga karena kualitas dakwaan yang buruk.
Maka, dalam kaitan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak boleh ”cuci tangan” dari fakta buruk pengadilan tipikor, lalu serta-merta menyalahkan pengadilan tipikor di balik jamaknya putusan bebas. Jika memang punya kemampuan mengubah UU Pengadilan Tipikor, akan lebih baik menguatkan hal-hal ini dibandingkan dengan mengubahnya hanya untuk meresentralisasi pengadilan tipikor.
Intinya, perlu sebuah penelisikan untuk mencari penyebab dari masalah dan bukan hanya memutus berdasarkan gejala yang ada. Temukan penyakit sesungguhnya yang telah menggerogoti kesehatan pengadilan tipikor yang diidealkan mampu menjadi tandem KPK dan bekerja sama dengan semua aparat penegak hukum negeri ini untuk melakukan percepatan pemberantasan korupsi. Mari temukan penyebabnya lalu selesaikan.
Akan tetapi, maaf, rasanya ide resentralisasi pengadilan tipikor adalah kesimpulan yang terlalu prematur dari sebuah konklusi yang boleh jadi minim analisis. ●
Kalau sumberdaya di daerah belum memadai sebaiknya jangan terlalu dipaksakan, karena hal tersebut bisa menjadi boomerang. Kalau yang dimaksud resentralisasi pengadilan tipikor adalah pengurangan jumlah pengadilan tipikor disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia di daerah (bukan sekadar masalah anggaran), saya kira keputusan tersebut sudah tepat. Setelah nanti sumberdaya di daerah bertambah, bisa dilakukan redesentralisasi lagi secara bertahap. Kalau hasil yang diharapkan sama dengan pengadilan tipikor pusat, sarana dan sumberdayanya juga semestinya kurang lebih sama dengan yang ada di pengadilan tipikor di pusat. Saya percaya, keputusan apapun yang akan diambil (resentralisasi atau desentralisasi) pasti melalui suatu proses analisis. Walaupun bukan mustahil bahwa analisis yang telah dilakukan mungkin saja keliru.
BalasHapus