Diplomat dan Sejarah Bangsa
Djoko Susilo, DUTA BESAR RI DI SWISS
Sumber : KORAN TEMPO, 09 November 2011
Belum lama ini, dalam sebuah diskusi dengan sejumlah pemikir, saya kaget dan tersentak ketika mendapat informasi adanya pernyataan seorang diplomat senior
Indonesia yang mengatakan bahwa peradaban Indonesia adalah sebuah kegagalan.
Bangsa Indonesia, katanya, tidak pernah mencapai peradaban tinggi seperti bangsa Romawi, Mesir, Persia,Yunani, India,Cina, dan lain-lain.
Merah muka saya mendengar pernyataan sembarangan dari kolega saya tersebut.
Setelah emosi saya agak reda, saya mencoba mempelajari perjalanan karier dan pendidikan kolega saya itu, ternyata dia sekolahnya selalu di luar negeri. Bapaknya diplomat top, jadi dia bersekolah di tempat bapaknya bertugas, dari SD sampai doktor.
Dia hampir tidak pernah mengenyam pendidikan nasional.Wajar saja kalau dia tidak
mengenal kebudayaan dan peradaban nasional bangsanya. Ironisnya, dia sendiri
saat ini salah seorang diplomat top yang harus memperkenalkan dan memperjuangkan
kepentingan nasional Indonesia di forum internasional.
Rupanya, meski kita sudah merdeka selama 66 tahun, dan Sumpah Pemuda dicetuskan sejak 83 tahun yang lalu, masih banyak di antara kita yang tidak kenal dengan dirinya sendiri. Lebih parah kalau yang tidak kenal itu adalah kalangan terpelajar dan diplomat top seperti kolega saya tersebut.Terus terang saja saya sangat
marah, tetapi sekaligus gelisah, mengetahui betapa rendahnya pemahaman sebagian
elite kita tentang sejarah peradaban bangsa Indonesia.
Dalam berbagai kesempatan jika diminta berceramah tentang Indonesia, saya menguraikan bahwa bangsa Indonesia sudah ada sejak ratusan tahun yang lampau.
Bukan baru ada pada 1945. Memang bentuk modern kita sebagai bangsa diproklamasikan pada 1945, tetapi eksistensi bangsa Indonesia yang mendiami kepulauan Nusantara ini sudah ada sejak ribuan tahun yang lampau. Jadi, pernyataan kolega saya itu sangat menyesatkan dan berbahaya. Bangsa Indonesia jelas merupakan bangsa yang mempunyai peradaban tinggi sejak zaman dahulu kala. Sejarawan Belanda, F. Brandeis, menyebutkan bahwa ratusan tahun silam bangsa Indonesia sudah mempunyai pengetahuan astronomi, matematika, fisika, atau kedokteran yang tinggi.
Pendeta Buddha asal Cina, Fa Hien, menulis dalam laporan perjalanannya yang
dilakukan pada abad VI Masehi yang menyebutkan bahwa setiap calon pelajar agama
Buddha dari Asia Timur ke Universitas Nalanda di Bihar, India, harus melakukan
studi pendahuluan dulu di Sriwijaya (Palembang) sedikitnya 6 bulan. Di bawah Raja
Bala Putera Dewa,Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kemakmurannya, sehingga
suatu massa sampai menarik Kerajaan Chola Mandhala di India untuk melakukan
invasi dan serbuan habis-habisan.
Kajian yang lebih komprehensif mengenai hubungan dagang internasional di masa
lampau menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu sudah mampu melakukan perniagaan internasional yang canggih. Bahkan peradaban tinggi di Mesir dan Persia tidak akan berkembang tanpa hubungan dagang dengan Indonesia. Salah satu buktinya ialah suplai rempah-rempah dan kapur Barus (kamper) yang sangat diperlukan untuk mengawetkan jenazah (mumi) para Firaun di Mesir dan Kisra di Persia. Kamper saat itu hanya bisa diperoleh dari pelabuhan Barus di Sumatera utara. Maka, terkenallah kapur Barus yang juga diekspor ke India, Cina, Jepang, dan lain–lain.
Kuatnya peradaban Indonesia ini bahkan diakui negara tetangga. Misalnya saja, dalam sejarah Kamboja ditulis bahwa Raja Jayavarman dan dinastinya yang mendirikan bangunan hebat Angkor Wat dan Angkor Thom berasal dari Jawa.Tidak dijelaskan dari bagian mana Pulau Jawa, tetapi jelas sejarah kuno menyebutkan adanya kaitan erat antara raja-raja di kepulauan Nusantara dan kawasan lain dunia, khususnya Asia Tenggara. Singkatnya, kita bisa menyatakan bahwa Indonesia “was the center of the world”.
Sampai abad XV, Amerika dari Kanada sampai ujung selatan Argentina belum eksis
sebagai wilayah yang dihuni oleh negara bangsa. Kalaupun terdapat kerajaan Maya dan Inca, itu merupakan kerajaan yang terisolasi dari belahan dunia lain. Afrika masih terbentuk masyarakat kesukuan, kecuali di beberapa wilayah pantai utara dan barat, seperti adanya kerajaan Ashanti dan Mali.
Australia belum “ditemukan’’, sehingga hubungan internasional pada waktu itu terbatas, Eropa,Timur Tengah, India, dan Timur Jauh. Karena perjalanan darat dari Cina ke Eropa tidak aman dan kurang lancar, umumnya para musafir seperti Ibnu Batutah, Marco Polo, I Tsing, para pedagang dan penjelajah lainnya menggunakan jalur laut. Karena itu, mau tidak mau para pengelana ini akan singgah di kepulauan Nusantara dan saat itu secara tradisional mereka akan mampir di Palembang, sebab Singapura belum dibangun oleh Raffles.
Sebagai wilayah yang menjadi persilangan budaya internasional dan menerima kunjungan dari berbagai bangsa dunia, tidak mungkin bangsa Indonesia tidak memiliki
peradaban yang tinggi. Sifat keterbukaan sejak zaman dulu itu pun terefleksikan
dalam sikap kita yang sangat toleran terhadap berbagai agama dan ideologi yang berbeda. Bangsa Indonesia menerima Hinduisme, Buddhisme,Konfusianisme, dan belakangan Islam dan Kristen dengan tangan terbuka. Karena itu, ideologi ekstremisme
pada hakikatnya bertentangan dengan karakter bangsa Indonesia yang sangat terbuka. Indonesia merupakan mozaik kebinekaan sejak zaman dahulu kala. Sifat terbuka dan toleran inilah yang menjadi kekuatan dan perekat di antara berbagai kelompok etnis, agama, dan entitas politik yang tinggal di kepulauan Nusantara ini.
Memang sekarang ada yang mulai lupa akan identitas keindonesiaan tersebut. Salah
satu penyebabnya ialah makin sedikit di antara kita yang belajar sejarah. Banyak yang lupa akan anjuran Bung Karno agar kita tidak melupakan sejarah. Karena tidak pernah belajar sejarah bangsanya,wajar kalau ketika menjadi elite pimpinan mereka lupa akan siapa dirinya. Saya yakin, jika saat ini dilakukan tes pelajaran sejarah, sebagian pejabat dan pemimpin kita akan mengalami kegagalan. Bagi saya, ini sangat memprihatinkan.
Saya berangan-angan, mestinya salah satu tes untuk promosi jabatan adalah pengetahuan sejarah bangsa. Bagi saya, jika seorang pejabat tidak mempunyai pengetahuan sejarah bangsa yang memadai, sudah tentu akan mudah luntur nasionalismenya. Kalau sudah luntur nasionalismenya, jangan tanyakan lagi soal patriotisme, akan sangat mudah pejabat yang bersangkutan mengkhianati bangsa dan negaranya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar