Mencintai Anak-Cucu
Meiwita Budiharsana, PENGAJAR JURUSAN BIOSTATISTIK DAN KEPENDUDUKAN, FKM UI
Sumber : KOMPAS, 02 November 2011
Menentukan jumlah anak adalah hak pribadi, terutama bagi perempuan yang harus menjalani proses reproduksi dan menanggung dampaknya.
Pendapat ”mau punya anak berapa, suka-suka saya” tak keliru kalau dikaitkan dengan pandangan ”semua anak sepatutnya dilahirkan karena direncanakan dan diingini”. Namun, pilihan banyak anak perlu dibuat secara bertanggung jawab atas dasar pemahaman akan akibat keputusan itu, baik di tingkat pribadi, keluarga, maupun masyarakat/negara.
Kalau kita gabung jumlah kelompok penduduk lanjut usia (lansia, di atas 60 tahun) dan kelompok penduduk usia muda (hingga 14 tahun), lalu kita hitung jumlah ini sebagai persentase terhadap jumlah kelompok penduduk usia kerja (15-59 tahun), kita akan dapatkan ukuran kependudukan yang dinamakan rasio ketergantungan usia (age dependency ratio). Ukuran ini menggambarkan besaran beban tanggungan penduduk usia kerja sebab diasumsikan penduduk lansia dan penduduk muda tidak bekerja untuk menafkahi dirinya sendiri.
Dari analisis data Indonesia Family Life Survey (IFLS) 2007/2008, dapat dihitung jumlah penduduk usia muda adalah 16 persen dari jumlah penduduk dan kelompok penduduk lansia sekitar 9 persen total penduduk. Jika keduanya dijumlahkan, jumlah penduduk yang secara teoretis ditanggung penduduk usia kerja adalah 25 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk usia kerja sekitar 75 persen (atau 100 persen total penduduk dikurangi 25 persen).
Rasio ketergantungan anak sekarang bisa dihitung dari 16/75, sama dengan 21 anak per 100 penduduk usia kerja; dan rasio ketergantungan lansia dihitung dari 9/75, sama dengan 12 lansia per 100 penduduk usia kerja. Keseluruhan, rasio ketergantungan usia dihitung dari 25/75 adalah 33 persen atau 33 orang tertanggung per 100 penduduk usia kerja pada tahun 2007.
Membandingkan kedua kelompok usia tertanggung, kita lihat rasio ketergantungan anak (22 persen) hampir dua kali lipat rasio ketergantungan lansia (12 persen). Dikhawatirkan rasio ketergantungan anak akan meningkat drastis dalam waktu relatif singkat, kemungkinan menjadi dua kali perkiraan di atas (sekitar 45 persen). Sementara rasio ketergantungan lansia tidak berubah banyak (stabil).
Beban semua pihak
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pendapat ”jumlah anak itu suka-suka saya” harus dikaji. Keputusan pribadi untuk punya banyak anak berdampak pada beban orang banyak.
Ironisnya, di era desentralisasi ini, ada kecenderungan pimpinan daerah tak dukung program KB karena ia perlu dukungan masyarakat konservatif. Bahkan, ada kelompok (partai) politik yang terang-terangan menolak KB.
Hasil analisis data IFLS 2007/2008 juga menunjukkan kecenderungan punya tiga anak atau lebih tidak berkaitan dengan rendahnya pendidikan ibu. Berarti, kecenderungan itu bergeser ke ibu dengan pendidikan menengah dan tinggi.
Piramida penduduk Indonesia pada 2005 menunjukkan Indonesia berada di tahap ketiga transisi demografi, di mana jumlah anak pernah dilahirkan dan kematian bayi dan anak sama-sama menurun. Basis piramida yang menyempit memperlihatkan pembengkakan demografis pada populasi usia kerja.
”Bonus demografi” ini sebenarnya kesempatan membangun modal sumber daya manusia dan memacu percepatan pembangunan jangka panjang jika investasi tepat guna dilakukan dalam bidang pendidikan, penciptaan lapangan kerja, dan pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan reproduksi. Periode ini juga menawarkan kesempatan untuk mematahkan siklus kemiskinan jika investasi diarahkan tepat guna.
Pertambahan penduduk usia muda merupakan tantangan besar karena saat ini lapangan kerja yang tersedia tak mampu menyerap peningkatan jumlah orang muda yang memasuki pasar kerja setiap tahun. Hal ini diperburuk dengan belum dipenuhinya kuantitas dan kualitas pendidikan secara merata.
Tiga tahun terakhir tingkat fertilitas seharusnya sudah turun menuju 2,1 kelahiran per satu perempuan. Tetapi, hari ini kecenderungan malah mencapai lebih dari 2,3. Kurangnya dukungan pada program KB telah berdampak besar pada hasil upaya 30 tahun lebih menekan pertumbuhan penduduk, terutama jika hasil resmi Sensus Penduduk 2010 mengonfirmasi hal ini.
Pertambahan penduduk yang cepat akan berkontribusi pada penurunan kapasitas negara membangun kestabilan ekonomi dan sosial (termasuk perbaikan kualitas manusia) dan memperlambat upaya restorasi alam lingkungan tempat kita bermukim. Juga mempercepat kondisi di mana Bumi tak mampu lagi mendukung keberlangsungan hidup cucu dan cicit kita.
Jadi, kalau kita sungguh mencintai anak-cucu kita, jangan serakah menghabiskan sumber daya alam dan jangan serakah punya anak banyak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar