Rabu, 02 November 2011

Segarkan Peran Kaum Muda



Segarkan Peran Kaum Muda
Umar Syadat Hasibuan, DOSEN IPDN
Sumber : KOMPAS, 02 November 2011



Delapan puluh tiga tahun peristiwa Sumpah Pemuda telah berlalu. Apa yang berubah dengan kaum muda hari ini?

Ketika Sumpah Pemuda dideklarasikan, kaum muda lebih mementingkan cita-cita kolektif kebangsaan dibandingkan kepentingan politik individu dan kelompok. Kaum muda eksis dan hadir dalam membangun fondasi nilai-nilai kebangsaan. Berbeda dengan 83 tahun silam, kaum muda saat ini kian terjebak dalam perebutan ladang kekuasaan ekonomi-politik. Bukti ini kian nyata ketika dua arus besar tampak kian kuat menyergap gerakan politik kaum muda: distorsi makna gerakan pemuda dan jebakan kooptasi kekuasaan.

Gerakan pemuda mengalami distorsi luar biasa. Pertama, pemuda sebagai entitas pergerakan pada masa era pra-kemerdekaan tampak makin tergantikan oleh mahasiswa. Pada era pra-kemerdekaan, identitas pemuda lebih dominan sebagai representasi kaum pergerakan dibandingkan identitas mahasiswa. Padahal, masa itu banyak tokoh pergerakan adalah kalangan mahasiswa, baik yang studi di Indonesia (Jakarta dan Bandung) maupun di luar negeri (Belanda).

Pada masa itu juga tak ada pemilahan antara mahasiswa dan pemuda (Anderson, 1988). Keberadaan mereka menyatu secara egaliter dengan para tokoh pergerakan lain yang tak lagi berstatus mahasiswa. Identitas sebagai gerakan pemuda lebih menonjol dibandingkan identitas mereka sebagai mahasiswa.

Kedua, gerakan pemuda masa pra-kemerdekaan dibangun atas kesadaran perjuangan untuk mewujudkan imaji negara-bangsa baru (Indonesia). Aspek kesukarelaan, kebersamaan, egalitarianisme, kolektivitas, dan dedikasi lebih menonjol. Pasca-1945 hingga kini, gerakan pemuda lebih didominasi sebagai arena untuk ”berebut jatah kekuasaan”. Karena itu, tidak heran jika gerakan pemuda era 1950-an secara instrumental dimanfaatkan oleh kekuatan parpol dan pasca-1966 tampak begitu lengket dengan kekuasaan Orde Baru. 

Ketiga, gerakan pemuda kian mengalami arus birokratisasi kekuasaan. Sejak era Orde Baru, bahkan pasca-Reformasi, birokratisasi gerakan pemuda tampak kian menguat. Akibatnya, gerakan pemuda tak lagi mencerminkan entitas dirinya yang berbasis nilai-nilai egalitarian, kesukarelaan, dan kebersamaan. Secara eksternal, birokratisasi ini kian menjamur seiring kooptasi kekuasaan Orde Baru dan pasca-Reformasi birokratisasi bahkan terjadi mulai dari pusat hingga daerah. Kita dapat melihat bagaimana gerakan pemuda kian bergantung pada kekuasaan dan terus ”menyusu” kepada pemerintah (pusat dan daerah).

Kooptasi kekuasaan

Arus kooptasi kekuasaan sudah terjadi sejak generasi kaum muda Angkatan 1966. Kendatipun kaum muda Angkatan 1966 mampu jadi kekuatan perubahan dan mampu menumbangkan rezim Orde Lama, keberadaannya ternyata tak lepas dari arus depolitisasi kekuasaan. Bahkan, pasca-1970-an, gerakan politik kaum muda mengalami arus depolitisasi luar biasa.

Diskursus kebangsaan yang lekat dalam kehidupan kaum muda kian menipis, tergeser diskursus pembangunanisme Orde Baru. Ideologi pembangunan yang dianut Orde Baru menjadikan kaum muda sebagai agen perubahan. Tak hanya itu, sejumlah aktivis muda pun jadi mesin ekonomi-politik dari kekuasaan Orde Baru. Sejumlah elite pemuda pun jadi anak emas Orde Baru, mendapatkan ruang kekuasaan politik, dan punya akses sumber daya ekonomi luar biasa.

Puncak perubahan itu terjadi ketika gerakan mahasiswa berkontribusi besar dalam menurunkan rezim Orde Baru. Sebagaimana peristiwa 1966, sejumlah nama aktivis pemuda pun populer dan berinteraksi dengan jaringan elite yang mewarisi puing-puing rezim Orde Baru. Pola lama kembali terulang: sejumlah aktivis pemuda kembali bermain dalam kontestasi kekuasaan ekonomi dan politik.

Pemilu 1999, 2004, dan 2009 menjadi ajang pentas sebagian aktivis kaum muda. Beberapa di antaranya terpilih dalam lembaga legislatif. Sebagian kecil lainnya duduk di eksekutif. Selain itu, sejumlah aktivis kaum muda pasca-Reformasi juga ramai berebut dalam lembaga extra state body yang terbentuk sejak 2002.

Pola gerakan kaum muda pasca-1966 dan pasca-1998 tampak jelas menuju pada pusaran arus yang sama, yaitu kooptasi kekuasaan dan menjadi bagian dari proses ”penguasaan”.

Butuh penyegaran

Indonesia lahir tidak lepas dari kiprah kaum muda. Namun, yang harus diingat, Indonesia juga bisa ”tenggelam” oleh tangan- tangan serakah kaum muda. Karena itu, kita membutuhkan penyegaran gerakan pemuda.

Pertama, narasi gerakan kaum muda perlu direformasi total. Adalah sangat ironis, sebagai bagian dari reformasi, kaum muda justru gagal mereformasi narasi gerakan kebangsaan yang diwariskan oleh para pendahulunya.

Di sini, kaum muda harus mampu mengembalikan kesadaran gerakannya dengan cara membangkitkan, menjaga, dan menyemaikan nilai-nilai kenegaraan dan kebangsaan dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, butuh kesadaran kolektif kaum muda untuk melawan setiap bentuk ”perampokan” ataupun ”pembiaran perampokan” sumber-sumber kekuasaan negara yang dilakukan oleh siapa pun.

Kedua, gerakan politik kaum muda harus mampu melawan berbagai bentuk kooptasi dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh kekuatan politik kartel, oligarki, dan dinasti politik. Agenda ini sebenarnya memungkinkan jika kaum muda mampu membangun solidaritas dan kesadaran kolektif secara masif, bukan sebaliknya terjebak untuk menyelamatkan kepentingan personal dan kelompoknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar