Jumat, 03 Mei 2013

Terkenang Guru


Terkenang Guru
BS Mardiatmadja ;  Rohaniwan dan Pendidik
SINAR HARAPAN, 02 Mei 2013
  

Ada beberapa pihak, yang ingin memindahkan “Hari Pendidikan”. Namun, masih lebih banyak lagi yang merasa pas dengan merayakan Hari Pendidikan tanggal 2 Mei. Memang sebenarnya merayakan Hari Pendidikan berarti merayakan proses didik, yang terutama berfokus pada proses, bagaimana para murid belajar dan dengan demikian semakin “jadi orang”.

Pembelajaran sebagai proses pemanusiaan, rupanya tetap merupakan cita-cita didik praktis semua orang yang berkecimpung di lapangan didik, walau ada juga yang lebih melihat lapangan didik sebagai lapangan politik atau lapangan ekonomi, tempat orang dapat berebut tender atau kedudukan politis atau pengabdian pada atasan.

Pendapat dari segi edukasi jelas menunjukkan fokus proses didik adalah si murid. Orang tua, guru, apalagi dinas pendidikan dan lebih jauh lagi orang Dikbud hanya memfasilitasi murid untuk menjadi semakin manusiawi.

Yang “membendakan” murid dan “mengobjekkan” murid, guru, dan sekolah adalah perusak proses didik. Salah satu pelayan didik terpenting adalah guru, yang dalam setiap tahap, terutama di lapisan pendidikan dasar dan pendidikan menengah adalah guru. Ibu atau bapak guru adalah fasilitator utama proses didik para murid.

Bapak Darmosubroto, Ibu Siti, Bruder Simplicianus, dan Bapak Nuryanto, adalah empat dari sekian banyak guru, yang membadani lukisan Kartono mengenai guru (tentu termasuk ibunda yang dengan setia hampir sampai wafatnya telah menjadi guru di suatu sekolah Melania di Yogyakarta; dan mengizinkan saya pada usia pra-sekolah ikut Pemberantasan Butahuruf di kampung kami).

Ketika pertama kali berjumpa dengan Sartono, jelas hidupnya pantas disebut sebagai “pelita dalam kegelapan” dan “embun penyejuk dalam kehausan”. Dalam arti sebenarnya beliau-beliau itulah pahlawan tanpa senjata (yang oleh pengecut-pengecut malah bisa dipakai membantai tawanan tanpa daya di penjara atau memberondong murid dengan kertas ujian yang dibiayai jauh lebih mahal daripada gaji guru seumur hidup). Macam apakah para guru utama itu?

Tentulah ciri-cirinya tidak sekedar “naik sepeda dan berpakaian lusuh atau rumahnya bambu teranyam”. Itu pun merupakan tanda “mereka tidak mata duitan, asal murid terlayani”. Guru yang digambarkan Mangkunegoro IV dalam Wedhatama bukanlah profesor atau orang yang mempunyai ijazah maupun pengangkatan dari mana pun.

Guru adalah orang yang mau “mendidik anak” (Pupuh 1, pangkur, bait 1). Artinya, orang yang mementingkan perkembangan murid, bukan nama diri. Orang seperti itulah guru, yang pantas “dijadikan paGU-tindakan” dan diangkat menjadi “tolok pembaRU-an hidup”. Hal serupa dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara di Taman Siswa, Yogyakarta maupun Moh Syafei, Kayutanam, Sumatera Barat.

Apakah mereka itu sudah ketinggalan zaman? Sama sekali tidak. Penulis Wedhatama itu berpegangan bahwa pelayanan seorang guru berkaitan dengan karakter baik, kepandaian akal budi, tajam mencermati alam semesta, paham akan manusia sesama serta mau meningkatkan kehidupan bersama, muaranya bakti pada Yang Ilahi.

Itulah sebabnya para murid dianjurkan untuk belajar terus serta tekun menguasai moralitas diri dan menjaga nafsu. Tujuannya jadi manusia yang baik. Yang harus diikuti teladannya adalah guru yang mempunyai keutamaan dan mampu menemukan rasa hati sesame, bukan yang berkata, “Silakan berpendapat, namun keputusannya ya sesuai yang saya putuskan.”

Menurut Sartono, prasasti yang akan dibangun bagi pendidik utama adalah lukisan pengabdiannya, bukan aneka proyek. Tender dan keputusan sesuai dengan kehendaknya sendiri, tanpa memedulikan penderitaan murid, penunjang didik dan orang tuanya. Mereka itulah yang akan tetap di sanubari murid dan bangsa.

Tantangan Masa Kini

Apa tantangan guru masa kini di Indonesia? Tantangan pertama dihadapi guru dalam sejumlah birokrat-birokrat Kemdikbud (ini tidak identik dengan semua karyawan Diknas), yang lebih memfokuskan perhatian pada birokrasi, manajemen, dan politik didik, serta kurang memperhitungkan interaksi didik edukatif.

Kebijakan birokratis itu menjadikan proses didik dirugikan, seperti kurikulum yang disusun tanpa mengikutsertakan mereka di lapangan, penyusunan buku ajar yang terlampau rinci, sehingga guru kehabisan nafas dan tak punya daya membangun interaksi afektif dengan murid, sosialisasi kurikulum yang otoriter demi dipaksakannya jadwal pimpinan kurikuler, dan sebagainya.

Guru juga ditantang bergandengan tangan dengan orang tua murid dan masyarakat untuk memfasilitasi murid yang memiliki kecerdasan beraneka sehingga perlu kurikulum majemuk.
Guru ditantang oleh iklim masyarakat yang lebih mementingkan ijazah daripada peningkatan kecerdasan (majemuk) murid.

Guru ditantang oleh pendewaan uang, yang menguasai transaksi sekitar buku ajar, organisasi Ujian Negara, pendewaan sertifikasi tanpa pencermatan arah studi, sehingga dalam bidang-bidang tertentu ada banjir tenaga yang perlu diatasi dengan kurikulum yang menampung tenaga kerja tertentu. Takhayul manajemen makro yang tidak memedulikan calon penganggur di antara guru yang akan tersingkir, dan sebagainya.

Secara tidak langsung, guru ditantang oleh tata pemerintahan yang tidak peduli dengan penderitaan rakyat kecil. Mencoba menyelesaikannya dengan imbauan dan pidato, tanpa tindakan jelas untuk meminta pertanggungjawaban pejabat yang salah. Lemahnya penegakan hukum yang menyangkut bidang pendidikan sampai pejabat dapat gampang mengabaikan keputusan Mahkamah Agung tentang ujian.

Kita yakin, ruh Ki Hadjar Dewantara, Moh Syafei, dan guru-guru agung kita, akan merestui dunia didik, kendati pengemudi yang mirip metromini merajai jalan didik tanpa peduli pada tujuan didik sejati. Selamat Peringatan Hari Pendidikan Nasional.

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru/Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku/Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar